Showing posts with label Buku Sastra. Show all posts
Showing posts with label Buku Sastra. Show all posts

Friday, 17 March 2017

Anak Semua Bangsa-Pramoedya Ananta Toer

anak_semua_bangsa-500x747Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya Ananta Toer

Mulai dibaca: 01 November 2016
Selesai dibaca: 11 November 2016

Judul: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Editor: Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: Juni 2015 (cetakan ke-14)
Tebal buku: 536 halaman
Format:
Paperback
ISBN: 978-979-973-124-1
Harga: Rp.112.200 (gramedia.com)

Rating: 5/5

Annelies telah berlayar. Kepergiannya laksana cangkokan muda direnggut dari batang induk. (hal. 1)

Setelah kematian Herrman Mellema, Nyai Ontosoroh hampir kehilangan seluruh aset kekayaannya termasuk rumah dan pabrik gula. Padahal sejak dulu Herrman Mellema sudah meninggalkan Nyai Ontosoroh untuk berjudi dan bermain di rumah bordil milik Ah Tjong, pabrik gula Wonokromo bisa menjadi sebesar dan sesukses pada masa itu adalah tak lain berkat kerja keras Nyai sendiri. Tak hanya aset rumah dan pabriknya, Nyai juga harus kehilangan Annelies.

“Orang-orang tua kami bilang: di langit ada sorga, di bumi ada Hanchou,dan kami menambahkan: di hati ada kepercayaan.(hal. 89)

Tanah, rumah, dan pabrik akan diwariskan kepada anak Herrman Mellema dari pernikahannya dengan Nyai Ontosoroh, yaitu Robert dan Annelies Mellema. Dan juga dari pernikahannya dengan Amelia Maurits-Mellema, istrinya yang tinggal di Belanda, anak mereka adalah Insinyur Maurits Mellema. Dan Annelies, menurut hukum Gubermen yang berlaku harus diserahkan kepada walinya di Belanda. Seakan tak cukup membuat Nyai Ontosoroh menderita dengan merampas harta benda dan kekayaan yang ia kembangkan dari nol, Gubermen juga merampas Annelies dari pelukannya, ibu kandungnya sendiri yang telah melahirkan, merawat, dan menyayanginya. Di tengah penderitaan dan kekalahannya, Nyai tetap menolak untuk diam. Selama ia masih bernafas dan koloni tidak mengakui keberadaannya, ia tetap melawan. Walaupun hanya lewat lisan.

“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” (hal. 265)

DSC_0090

Tuesday, 7 February 2017

The Old Man and the Sea-Ernest Hemingway

9780684801223_p0_v1_s1200x630The Old Man and the Sea oleh Ernest Hemingway

Mulai dibaca: 04 Januari 2017
Selesai dibaca: 18 Januari 2017

Judul asli: The Old Man and the Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Penerbit: Wilco Publishing House, India
Tahun terbit: 2014
Bahasa: Inggris
ISBN:978-818-252-877-2
Format: Hard Cover
Harga: Rp.60.000 (Big Bad Wolf Surabaya)

Rating: 3/5

He was an old man who fished alone in a skiff in the Gulf Stream and he had gone eighty-four days now without taking a fish.

Sudah delapan puluh empat hari ia melaut, dan tak satupun ikan yang bisa ia tangkap. Ia sudah tua, tapi semangatnya untuk menangkap ikan masih terus bergolak seperti ombak lautan. Tubuhnya penuh goresan luka yang sudah lama ada di situ, tapi matanya yang sebiru laut masih memancarkan semangat. Dan di hari ke delapan puluh lima, dengan semangat yang masih tinggi dan penuh optimisme, ia kembali melaut. Ia yakin, kali ini ia akan berhasil menangkap ikan. Bukan hanya sekadar ikan biasa yang bisa dengan mudah ditangkap siapapun di lautan, tapi ikan marlin yang besar yang akan ia jadikan trofi. Di hari ke delapan puluh limanya ia melaut, ternyata ia harus menghadapi petualangan yang membahayakan hidupnya selama ia berada di tengah laut. Sinar terik matahari, dehidrasi, sekumpulan ikan besar yang mengombang-ambing perahunya, dan juga sekawanan hiu. Petualangannya kali itu tak sekadar membuatnya lebih sabar dalam menunggu ikan besar yang memakan umpannya, tapi membuatnya menghadapi sekawanan hiu yang ingin memakannya.

DSC_0092-ed

Monday, 6 February 2017

Cerita Calon Arang-Pramoedya Ananta Toer

Cerita Calon ArangCerita Calon Arang oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul asli: Cerita Calon Arang

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Tahun terbit: September 2015 (cetakan kesembilan)

Terbit pertama kali oleh N.V. Nusantara (1954)

ISBN: 978-979-973-121-0

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp.50.000 (Gramedia)

Rating: 3/5

Adalah sebuah negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak. Dan rata-rata penduduk makmur. (hal. 11)

Di Negara Daha itulah Raja Erlangga memerintah. Ia memerintah dengan bijaksanan dan adil, rakyatnya hidup tentram serta damai. Tetapi di sebuah dusun di Daha, di Dusun Girah namanya, hiduplah seorang wanita dengan anaknya. Calon Arang nama wanita tersebut, dan Ratna Manggali nama anaknya. Semua orang sudah tahu dan paham seberapa dahsyat kekuatan Calon Arang, ia tak hanya berperangai buruk tapi juga seorang tukang teluh, membabat dan menghabisi musuh-musuhnya adalah perkara mudah baginya. Oleh karena itu, sekalipun Ratna Manggali adalah anak yang baik, penyayang, lagi rupawan, tidak ada seorang pemuda pun yang mau memperistrinya karena takut pada ibu Ratna Manggali. Akhirnya Ratna Manggali menjadi buah bibir orang-orang dusun karena tak kunjung dipersunting oleh seorang lelaki. Desas-desus tersebut sampai juga ke telinga ibunya, Calon Arang, marahlah ia terhadap kabar tersebut, dan ia bermaksud mencelakakan semua orang di dusun bahkan di Negara Daha juga. Bersama dengan keempat muridnya yang juga buruk rupa dan sakti, Calon Arang menyebarkan sihirnya, semua orang mati dan menderita dibuatnya. Sihir Calon Arang yang tidak memasuki ibukota Daha membuat cemas Raja Erlangga, harus ada yang bisa menghentikan Calon Arang kalau tidak semua orang bisa mati dan Daha akan tidak berpenduduk.

DSC_0109

Monday, 18 July 2016

Bekisar Merah-Ahmad Tohari

tumblr_njkf6eO9WG1sij3vyo1_400Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari

Mulai dibaca: 25 Mei 2016

Selesai dibaca: 08 Juni 2016

Judul: Bekisar Merah

Penulis: Ahmad Tohari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Desain sampul: Lambok Hutabarat

Tebal buku: 356 hal.

Bahasa: Indonesia

Format: Paper Back

ISBN:978-979-226-632-0

 

Rating: 4/5

Bekisar adalah unggas elok, hasil kawin silang antara ayam hutan dan atam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya.

Lasi, gadis desa yang amat rupawan, hidup di Karangsoga di mana mayoritas penduduknya yang laki-laki bekerja sebagai penyadap nira, termasuk suaminya. Tiap hari suaminya memanjat belasan pohon kelapa yang amat tinggi, jauh dari tanah, menantang maut, hanya untuk menyadap nira yang nantinya setelah diolah akan dijual ke tengkulak dengan harga yang sangat murah.

Mbok Wiryaji bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Dengan mata sayu dipandangnya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati Mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anak sebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saja akan percaya kelak Lasi akan tumbuh jadi gadis cantik. (hal.29)

Tetapi kehidupan pernikahan mereka akhirnya goyah setelah Lasi mengetahui bahwa suaminya telah menghamili gadis lain di desanya. Lasi kabur ke Jakarta dan bertemu dengan Bu Lanting yang merupakan seorang mucikari untuk para pejabat dan orang-orang penting. Bu Lanting pun membawa pulang Lasi, membelikan Lasi bermacam-macam benda menarik, merawat dan mendandaninya, memberinya makan yang terbaik sehingga Lasi ‘layak dijual’. Usaha Bu Lanting membuahkan hasil, Pak Handarbeni direktur sebuah perusahaan besar terpesona pada Lasi. Tak butuh waktu lama bagi Pak Han maupun Bu Lanting untuk merayu Lasi agar ia mau menikah dengan Pak Han. Pak Han sudah menyiapkan semuanya termasuk rumah megah untuk Lasi, ditambah lagi Lasi merasa berutang budi pada Bu Lanting karena telah merawatnya. Tapi, di tengah kemewahan yang Lasi dapatkan dari Pak Han, ia tak merasakan kebahagiaan sama sekali. Pernikahannya hanya main-main belaka, terbukti ketika Pak Han, tanpa persetujuannya, malah menceraikannya dan menyerahkannya pada Bambung, seseorang yang sangat berpengaruh di pemerintahan.

“Eh, kamu nggak ngerti juga? Dengar, Las. Aku juga sudah bicara dengan Mas Handarbeni. Dia sudah memutuskan melepaskan kamu dan membiarkan kamu jadi milik Pak Bambung.” (hal. 276)

Karena tak mau lagi merasakan pernikahan yang tidak serius, Lasi memutuskan untuk kabur dan menikah siri dengan cinta pertamanya, Kanjat, yang telah menjadi dosen. Tapi Lasi, masih belum memahami seberapa besar pengaruh Bambung dalam negeri ini, jangankan untuk membuat seseorang menjadi direktur sebuah perusahaan, menyeret Lasi dan menjatuhkan Kanjat tentulah hal yang mudah baginya.

P_20160630_105458

Tuesday, 10 November 2015

Entrok-Okky Madasari

7876993Entrok oleh Okky Madasari

Mulai dibaca: 05 Oktober 2015

Selesai dibaca: 09 Oktober 2015

Judul: Entrok

Penulis: Okky Madasari

Ilustrasi dan desain sampul: Restu Ramaningtyas

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: April 2010

ISBN: 978-979-225-589-8

Tebal: 282 halaman

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp 45.000, 00

Rating: 3/5

Setiap hari sejak subuh, Marni dan ibunya akan pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan dari para pedagang, pekerjaan apapun asal dapat dikerjakan oleh wanita. Tetapi biasanya ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai pengupas kulit singkong, upahnya pun ya singkong-singkong tersebut. Marni pun tak tahan lagi, ia harus mendapatkan sepeser-dua peser uang, untuk membeli sebuah entrok (Bra) bagi dadanya yang sudah mulai tumbuh. Demi membeli sebuah entrok—yang masih tergolong barang mewah baginya—Marni rela bekerja sebagai kuli. Ia membantu ibu-ibu membawakan belanjaan mereka ke angkutannya, hasilnya ia menerima beberapa keping uang. Hingga akhirnya Marni mampu membeli sebuah entrok. Setelah berhasil memiliki entrok walau hanya satu buah, Marni tidak langsung berhenti menjadi kuli, Marni tetap nguli, membantu ibu-ibu membawakan belanjaannya, tetap menerima beberapa keping uang yang akhirnya ia tabung, untuk membeli barang-barang lalu dijual kembali seperti yang dilakukan Nyai Dimah, ucap Marni kepada ibunya. Ibunya tidak langsung menyetujui, tapi Marni pun juga tidak mundur, Marni mewujudkan keinginannya untuk menjadi tengkulak, awalnya hanya berjualan sedikit sekali, tapi lama-kelamaan barang yang dijual makin banyak, hingga ia mampu membeli rumah sendiri. Tetapi, seiring dengan kekayaan dan kemakmurannya yang semakin besar, ternyata masalah yang dihadapi Marni juga semakin membesar, mulai dari aparat yang selalu minta jatah uang keamanan hingga anak tunggalnya yang menentangnya habis-habisan.

Monday, 2 November 2015

Di Kaki Bukit Cibalak-Ahmad Tohari

22454922Di Kaki Bukit Cibalak oleh Ahmad Tohari

Mulai dibaca: 16 September 2015

Selesai dibaca: 17 September 2015

Judul: Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis: Ahmad Tohari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Juni 2014

ISBN: 978-602-030-513-4

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Tebal: 176 halaman

Harga: Rp 40.000,00 (Bukupedia)

Rating: 3/5

Lurah Desa Tanggir yang baru saja terpilih dirasa Pambudi, pemuda berusia 24 tahun, tidak akan membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan Desa Tanggir. Lurah yang baru memiliki watak yang sama saja seperti lurah yang lama, sama-sama curang! Hal itu dirasakan sendiri oleh Pambudi sebagai pemuda yang bekerja di koperasi desa sebulan setelah pengangkatan lurah baru tersebut, Pak Lurah baru pun juga benar-benar hanya memakmurkan kepentingan perutnya sendiri, sama sekali tidak peduli dengan penduduk Desa Tanggir lainnya. Berawal dari kesadaran Pambudi untuk membantu wanita tua miskin yang ternyata mengidap kanker, Desa Tanggir semakin dikenal oleh masyarakat di luar desa, bahkan di luar kota, kebaikan hati Pambudi semakin dikagumi banyak orang, tapi hal tersebut malah membuat Pak Lurah beserta petinggi-petingginya geram. Di mata orang tampak sekali bahwa mereka adalah perangkat desa yang tidak peduli dengan rakyatnya! Akibatnya Pambudi semakin dibenci oleh Pak Lurah beserta antek-anteknya, hingga menyebabkan ia menyingkir ke luar kota. Tetapi, walaupun tersingkir, perlawanan Pambudi untuk menjatuhkan kepala desa curang tersebut terus berjalan.

2015-11-02-18-38-46_deco

Inilah novel pertama yang saya baca dari penulis yang baru saya kenal melalui cerpen-cerpennya. Dari cerpen-cerpennya saya mengenal penulis bahwa pakem yang beliau gunakan adalah latar mengenai orang-orang pedesaan dan orang-orang miskin yang lugu, polos, dan bodoh, bahasanya yang sangat sederhana namun lugas membuat karya-karyanya mudah dimengerti, karya-karya beliau yang telah saya baca hanya sekadar menggambarkan keadaan sekitar yang awam ditemui oleh masyarakat, tak ada pesan-pesan lain yang harus ditangkap oleh pembaca. Di buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 ini, walaupun isinya sedikit bergeser dari pakem yang biasanya penulis gunakan, ceritanya sedikit banyak tetap menggambarkan keadaan dan kondisi dari orang-orang pedesaan, hanya saja masalahnya terasa lebih kompleks, lebih serius, dan lebih dalam. Mungkin karena cerita ini hadir dalam sebuah novel dan bukan hanya sekadar cerita pendek. Tokoh utamanya, walaupun masih tokoh yang lahir, tumbuh, dan besar di desa dan merupakan wong ndeso, digambarkan lebih pintar dan cerdas.

di_kaki_bukit_cibalakCover Di Kaki Bukit Cibalak tahun 1986

Konflik dimulai ketika seorang wanita tua miskin yang tengah sakit bernama Mbok Ralem meminta tolong pada Pambudi untuk meminta pinjaman beras untuk dijual kembali sehingga ia bisa mempunyai uang untuk berobat ke kota, Pambudi kebingungan karena Mbok Ralem masih punya hutang beras yang belum dibayar, mereka pun menemui Pak Lurah untuk meminta kemurahan hati, syukur-syukur jika mereka mendapatkan bantuan langsung berupa uang tunai untuk berobat. Seperti yang sudah bisa ditebak oleh Pambudi, Pak Lurah jelas menolak. Dari situlah Pambudi menghadapi masalahnya yang cukup berat hingga membuatnya tersingkir dari tempat tinggalnya sendiri. Mengenai kebaikan hati Pambudi dan keburukan sikap Pak Lurah yang diketahui oleh masyarakat luas, hal tersebut karena kecerdikan Pambudi yang meminta bantuan kepada sebuah koran untuk meminta kemurahan hati pembacanya agar dapat menyumbangkan sebagian hartanya untuk membantu pengobatan Mbok Ralem. Rasanya sulit memercayai hal tersebut dilakukan oleh seorang pemuda dari desa yang hanya lulusan SMA, bukannya saya bermaksud rasis atau apa sih, hanya saja saya takjub aja dengan pemikiran Mas Pambudi yang—jelas—dalam kondisi yang sangat kecepit masih bisa memikirkan untuk mencari bantuan melalui media cetak. Kalau saya yang menggantikan Pambudi, mungkin saya akan menangis histeris nggak tahu harus ngapain dan paling banter malah ngemis. Okay, terdengar depresif sekali. Saya nggak mengerti gimana seorang Pambudi ini ketika masih mengenyam bangku SMA, atau seberapa sering ia membaca koran dan buku-buku pengetahuan lainnya, yang saya tangkap Pambudi adalah pemuda yang cerdas. Tak hanya luhur budinya, tapi ia mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam membantu seorang warga miskin. Dan, saya rasa, di situlah poin dari buku ini. Penulis sudah memberikan ciri khasnya dalam menghasilkan karya (menggunakan latar pedesaan dan tokoh yang ndeso), tetapi penulis juga ingin menyampaikan pesan agar pembaca menanamkan sikap luhur dan welas asih seperti Pambudi. Tak hanya itu, dari buku ini saya menangkap pesan lain juga yaitu, tak peduli bagaimana kondisi ekonomimu, ilmu ada di mana-mana, sesungguhnya pengetahuan mudah didapatkan, penulis rasanya ingin mengajak pembaca untuk lebih open-minded, lebih peduli, dan lebih banyak menangkap lebih banyak iinformasi, wawasan, ilmu, dan pengetahuan.

Okay, sesungguhnya saya agak terkejut karena ternyata saya menyelesaikan buku ini hanya dalam satu hari. Dibandingkan dengan buku sebelumnya—dari penulis yang sama—buku ini jelas lebih tebal. Tak hanya itu, alurnya pun saya rasa berjalan sangat membingungkan. Well, sebenarnya tidak juga sih, oke saya akan mencoba menjelaskan apa yang saya rasakan dari alur buku ini dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya kalau dilihat secara keseluruhan kejadian yang dituliskan di buku ini sudah bisa dibilang runut, ya, dari A menuju B sampai ke C dan berakhir ke D, sudah jelas dan memang runut, dengan tokoh utamanya adalah Pambudi. Tetapi di tengah perjalanannya Pambudi, penulis seringkali menyisipkan cerita yang lain dari tokoh yang lain, yang masih berada di sekitar lingkaran kehidupan Mas Pambudi. Nah ketika menceritakan tokoh lain sampai selesai, penulis kembali menceritakan Pambudi, walaupun sebenarnya kejadiannya bisa dikatakan runut, saya masih merasa ada detail yang hilang dari kisah Pambudi, dan itu banyak sekali saya temukan di bagian lainnya. Rasanya seperti tidak lengkap, saya terus bertanya-tanya, ‘bagaimana bisa tiba-tiba sudah sampai di sini?’, ‘ada cerita yang saya lewatkan, deh, sepertinya.’ Semacam itulah. Mungkin penulis menghindari memberikan penjelasan yang mendetail karena takut bahwa pembaca akan kebosanan dengan alur yang lambat, tapi saya rasa jika caranya mempercepat alur dengan menghilangkan detail yang—sebenarnya—dibutuhkan oleh pembaca, saya rasa pembaca pun akan menjadi bingung. Saya sebenarnya nggak suka membaca sebuah cerita yang alurnya membosankan, bukan, bukan berarti saya nggak suka dengan alur yang lambat karena ada banyak detail yang diberikan, semuanya tergantung oleh pembawaannya, kalau penulis memberikan banyak detail sehingga memperlambat alur tetapi ceritanya dibawakan dengan bagus, saya bisa menyukai alur yang lambat. Tetapi, jika penulis mempercepat alur dengan menghilangkan cerita-cerita yang seharusnya bisa dinikmati oleh pembaca, wah, si penulis memiliki andil dalam menambah kerutan di dahi pembacanya kalau begitu, karena membuat pembaca kebingungan.

Selain itu, saya juga sedikit sebal dengan ending-nya. Menggantung, memang. Menggunakan penutup yang menggantung saya rasa emang bagus, ya, semacam mempermainkan perasaan pembaca, tapi di buku ini rasanya penutupnya tidak bisa saya terima, saya benar-benar tidak bisa menebak akan sampai di mana Pambudi dengan pasangannya, dan sebagainya. Mungkin karena saya terbiasa membaca cerpen-cerpen karangan penulis, sehingga ketika membaca cerpen beliau yang sedikit diregangkan ini, saya semacam merasa bosan. Mungkin juga belum paham betul ciri khas penulis dalam menciptakan cerita-cerita. Tapi novel ini, beserta penilaian saya terhadap buku ini tidak akan menghentikan saya dalam mengenali karya-karya penulis lebih jauh dan lebih banyak.

Sunday, 11 October 2015

Senyum Karyamin-Ahmad Tohari

18250153Senyum Karyamin oleh Ahmad Tohari

Mulai dibaca: 10 September 2015

Selesai dibaca: 15 September 2015

Judul: Senyum Karyamin

Penulis: Ahmad Tohari

Penyunting: Maman S. Mahayana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Juli 2013

Tebal: 88 halaman

ISBN: 978-979-229-736-2

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp. 28.800 (Grazera)

Rating: 3/5

Karyamin adalah seorang tukang batu, setiap hari ia harus mengangkut berkilo-kilogram batu yang jauhnya berkilo-kilometer dari rumah dan istrinya demi menyambung hidupnya setiap hari. Tak hanya menghadapi beban hidup seperti memenuhi kebutuhan makanan yang harus ia hadapi, ia pun masih harus menghadapi penagih utang yang tiap datang menagih ke rumahnya seringnya hanya kembali dengan tangan hampa.

Untitled

Thursday, 25 June 2015

Bumi Manusia-Pramoedya Ananta Toer

4240990_origBumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Editor: Astuti Ananta Toer

Tahun terbit: 1980

Tebal: 536 halaman

ISBN: 9789799731232

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp 135.000

Rating: 5/5

Minke adalah seorang pemuda cerdas yang merantau ke Surabaya, ia meninggalkan keraton ayahnya agar bisa bersekolah di sekolah Belanda H.B.S. Ia tumbuh di lingkungan orang-orang Belanda, karena keluarganya yang merupakan seorang priyayi, ditambah lagi ia merupakan siswa yang pintar, ia dengan mudah diterima oleh orang Belanda di sekelilingnya dan memiliki banyak teman dari negara yang sekarang sedang menguasai tanah airnya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah megah di daerah Wonokromo, rumah yang juga terdapat perusahaan pertanian di dekatnya itu milik seorang hartawan Belanda Herman Mellema. Tetapi orang-orang lebih banyak membicarakan istrinya yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh, sang nyai lah yang memiliki andil besar dalam memajukan perusahaan itu, ia cantik lagi pintar. Dan juga Annelies, putri sang nyai dan hartawan, yang cantik jelita yang mampu membuat Minke jatuh cinta dalam sekali pandang. Tetapi, kemegahan dan kemakmuran yang dialami oleh sang nyai tidak luput dari masalah yang tak kunjung padam. Ia berjuang sekuat tenaga melawan kekuasaan bangsa Belanda, ia yang hanya seorang pribumi, tak bersekolah, dan selalu lemah di mata hukum.

Sunday, 7 June 2015

Tempurung-Oka Rusmini

8238479Tempurung oleh Oka Rusmini

Mulai dibaca: 25 Mei 2015

Selesai dibaca: 03 Juni 2015

Judul: Tempurung

Penulis: Oka Rusmini

Penerbit: Grasindo

Tahun terbit: 2010

Tebal: 460 halaman

ISBN: 9789790810631

Format: Paperback

Rating: 2/5

Ada yang aneh dari Bu Barla, tetangganya yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga warung, yang memiliki tubuh tambun dengan bintik-bintik aneh di wajahnya. Orang-orang seakan-akan selalu syirik dengan Bu Barla, hanya ia yang berani berdekatan dengan Bu Barla dan berbicara seperti layaknya seorang tetangga yang dekat. Tetangga lainnya hanya bisa bergunjing mengenai dagangan Bu Barla yang rasanya lebih mahal daripada dagangan di tempat lain, atau mengenai diri Bu Barla sendiri yang memiliki aura mistis. Bu Barla hanya tinggal sendiri, suaminya tidak tahu ke mana rimbanya. Bu Barla selalu dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu mistis, ia adalah orang pertama yang menempati kawasan itu dan satu-satunya orang yang tidak pernah diganggu oleh makhluk halus.