Showing posts with label Sastra Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Sastra Indonesia. Show all posts

Friday, 17 March 2017

Anak Semua Bangsa-Pramoedya Ananta Toer

anak_semua_bangsa-500x747Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya Ananta Toer

Mulai dibaca: 01 November 2016
Selesai dibaca: 11 November 2016

Judul: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Editor: Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: Juni 2015 (cetakan ke-14)
Tebal buku: 536 halaman
Format:
Paperback
ISBN: 978-979-973-124-1
Harga: Rp.112.200 (gramedia.com)

Rating: 5/5

Annelies telah berlayar. Kepergiannya laksana cangkokan muda direnggut dari batang induk. (hal. 1)

Setelah kematian Herrman Mellema, Nyai Ontosoroh hampir kehilangan seluruh aset kekayaannya termasuk rumah dan pabrik gula. Padahal sejak dulu Herrman Mellema sudah meninggalkan Nyai Ontosoroh untuk berjudi dan bermain di rumah bordil milik Ah Tjong, pabrik gula Wonokromo bisa menjadi sebesar dan sesukses pada masa itu adalah tak lain berkat kerja keras Nyai sendiri. Tak hanya aset rumah dan pabriknya, Nyai juga harus kehilangan Annelies.

“Orang-orang tua kami bilang: di langit ada sorga, di bumi ada Hanchou,dan kami menambahkan: di hati ada kepercayaan.(hal. 89)

Tanah, rumah, dan pabrik akan diwariskan kepada anak Herrman Mellema dari pernikahannya dengan Nyai Ontosoroh, yaitu Robert dan Annelies Mellema. Dan juga dari pernikahannya dengan Amelia Maurits-Mellema, istrinya yang tinggal di Belanda, anak mereka adalah Insinyur Maurits Mellema. Dan Annelies, menurut hukum Gubermen yang berlaku harus diserahkan kepada walinya di Belanda. Seakan tak cukup membuat Nyai Ontosoroh menderita dengan merampas harta benda dan kekayaan yang ia kembangkan dari nol, Gubermen juga merampas Annelies dari pelukannya, ibu kandungnya sendiri yang telah melahirkan, merawat, dan menyayanginya. Di tengah penderitaan dan kekalahannya, Nyai tetap menolak untuk diam. Selama ia masih bernafas dan koloni tidak mengakui keberadaannya, ia tetap melawan. Walaupun hanya lewat lisan.

“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” (hal. 265)

DSC_0090

Monday, 6 February 2017

Cerita Calon Arang-Pramoedya Ananta Toer

Cerita Calon ArangCerita Calon Arang oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul asli: Cerita Calon Arang

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Tahun terbit: September 2015 (cetakan kesembilan)

Terbit pertama kali oleh N.V. Nusantara (1954)

ISBN: 978-979-973-121-0

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp.50.000 (Gramedia)

Rating: 3/5

Adalah sebuah negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak. Dan rata-rata penduduk makmur. (hal. 11)

Di Negara Daha itulah Raja Erlangga memerintah. Ia memerintah dengan bijaksanan dan adil, rakyatnya hidup tentram serta damai. Tetapi di sebuah dusun di Daha, di Dusun Girah namanya, hiduplah seorang wanita dengan anaknya. Calon Arang nama wanita tersebut, dan Ratna Manggali nama anaknya. Semua orang sudah tahu dan paham seberapa dahsyat kekuatan Calon Arang, ia tak hanya berperangai buruk tapi juga seorang tukang teluh, membabat dan menghabisi musuh-musuhnya adalah perkara mudah baginya. Oleh karena itu, sekalipun Ratna Manggali adalah anak yang baik, penyayang, lagi rupawan, tidak ada seorang pemuda pun yang mau memperistrinya karena takut pada ibu Ratna Manggali. Akhirnya Ratna Manggali menjadi buah bibir orang-orang dusun karena tak kunjung dipersunting oleh seorang lelaki. Desas-desus tersebut sampai juga ke telinga ibunya, Calon Arang, marahlah ia terhadap kabar tersebut, dan ia bermaksud mencelakakan semua orang di dusun bahkan di Negara Daha juga. Bersama dengan keempat muridnya yang juga buruk rupa dan sakti, Calon Arang menyebarkan sihirnya, semua orang mati dan menderita dibuatnya. Sihir Calon Arang yang tidak memasuki ibukota Daha membuat cemas Raja Erlangga, harus ada yang bisa menghentikan Calon Arang kalau tidak semua orang bisa mati dan Daha akan tidak berpenduduk.

DSC_0109

Thursday, 25 June 2015

Bumi Manusia-Pramoedya Ananta Toer

4240990_origBumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Editor: Astuti Ananta Toer

Tahun terbit: 1980

Tebal: 536 halaman

ISBN: 9789799731232

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp 135.000

Rating: 5/5

Minke adalah seorang pemuda cerdas yang merantau ke Surabaya, ia meninggalkan keraton ayahnya agar bisa bersekolah di sekolah Belanda H.B.S. Ia tumbuh di lingkungan orang-orang Belanda, karena keluarganya yang merupakan seorang priyayi, ditambah lagi ia merupakan siswa yang pintar, ia dengan mudah diterima oleh orang Belanda di sekelilingnya dan memiliki banyak teman dari negara yang sekarang sedang menguasai tanah airnya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah megah di daerah Wonokromo, rumah yang juga terdapat perusahaan pertanian di dekatnya itu milik seorang hartawan Belanda Herman Mellema. Tetapi orang-orang lebih banyak membicarakan istrinya yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh, sang nyai lah yang memiliki andil besar dalam memajukan perusahaan itu, ia cantik lagi pintar. Dan juga Annelies, putri sang nyai dan hartawan, yang cantik jelita yang mampu membuat Minke jatuh cinta dalam sekali pandang. Tetapi, kemegahan dan kemakmuran yang dialami oleh sang nyai tidak luput dari masalah yang tak kunjung padam. Ia berjuang sekuat tenaga melawan kekuasaan bangsa Belanda, ia yang hanya seorang pribumi, tak bersekolah, dan selalu lemah di mata hukum.

Sunday, 7 June 2015

Tempurung-Oka Rusmini

8238479Tempurung oleh Oka Rusmini

Mulai dibaca: 25 Mei 2015

Selesai dibaca: 03 Juni 2015

Judul: Tempurung

Penulis: Oka Rusmini

Penerbit: Grasindo

Tahun terbit: 2010

Tebal: 460 halaman

ISBN: 9789790810631

Format: Paperback

Rating: 2/5

Ada yang aneh dari Bu Barla, tetangganya yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga warung, yang memiliki tubuh tambun dengan bintik-bintik aneh di wajahnya. Orang-orang seakan-akan selalu syirik dengan Bu Barla, hanya ia yang berani berdekatan dengan Bu Barla dan berbicara seperti layaknya seorang tetangga yang dekat. Tetangga lainnya hanya bisa bergunjing mengenai dagangan Bu Barla yang rasanya lebih mahal daripada dagangan di tempat lain, atau mengenai diri Bu Barla sendiri yang memiliki aura mistis. Bu Barla hanya tinggal sendiri, suaminya tidak tahu ke mana rimbanya. Bu Barla selalu dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu mistis, ia adalah orang pertama yang menempati kawasan itu dan satu-satunya orang yang tidak pernah diganggu oleh makhluk halus.

Saturday, 5 April 2014

Mata yang Enak Dipandang–Ahmad Tohari

Mirta sudah bertahun-tahun menjadi pengemis. Ditambah dengan kondisinya yang buta, dibantu dengan Tarsa sebagai penuntunnya, Mirta berkeliling-keliling kota untuk mengemis sepeser uang. Mirta dengan keadaannya yang cukup memprihatinkan, bagaikan mendapatkan kesialan tambahan karena penuntunnya, Tarsa, merupakan anak kecil yang banyak menuntut. Pendapatan Mirta tentu saja tak selalu cukup bahkan untuk membeli makan bagi Mirta sendiri, ditambah Tarsa yang selalu meminta berbagai macam hal pada Mirta. Suatu hari, Tarsa mulai menuntut agar dibelikan es limun, Mirta yang mulai kesal tak langsung mengabulkan permintaan Tarsa, akibatnya Tarsa meninggalkan Mirta di tempat terbuka di bawah terik matahari sementara ia bermin yoyo bersama komplotannya.

Itulah sepenggal dari cerpen pertama yang berjudul ‘Mata yangEnak Dipandang’ yang menjadi judul dari novel yang berisi lima belas cerpen karya Ahmad Tohari. Judul bukunya bisa jadi sedikit mengecoh, judulnya seakan-akan menceritakan mengenai sepasang mata seseorang yang sangat memikat, lalu gambar cover juga menampilkan sepasang mata yang cukup menarik, tentulah saya berpikir bahwa buku ini menceritakan tentang seseorang yang jatuh cinta kepada pemilik mata yang enak dipandang.

DSC_0387

Salah besar, ternyata. ‘Mata yang Enak Dipandang’ merupakan judul cerpen yang menceritakan seorang pengemis buta dan penuntunnya yang penuntut yang berjuang untuk melalui hidup di kota besar yang keras dan melelahkan. Dengan kondisi mereka yang memprihatinkan, mereka mencari-cara orang dengan sepasang mata yang enak dipandang yang dapat memberi beberapa peser.

Ada empat belas cerpen lainnya yang menceritakan orang semacam Mirta dan Tarsa, bukan maksudnya ada empat belas cerpen lainnya yang juga menceritakan seorang pengemis buta dengan penuntun yang banyak maunya, maksudnya ada empat belas cerpen lainnya yang menceritakan mengenai orang ‘kecil’ yang biasa kita temui sehari-hari dengan berbagai pekerjaan dengan masalah-masalah pelik yang juga sering kita temui. Cerpen-cerpen yang dapat menarik simpati, rasa iba, dan—dalam kasus saya, sih—sedikit mengubah sudut pandang mengenai orang-orang dari kelas yang lebih tidak beruntung.

Cerpen ‘Penipu yang Keempat’ misalnya, kita sering menemui penipu-penipu yang meminta uang dan berkedok seperti orang yang tertimpa musibah, anaknya sakit dan ia habis kecopetan, ia mengelola panti asuhan yang membutuhkan donasi, dsb. Bosan banget rasanya, kan, menemui orang semacam itu setiap hari. Tapi, tokoh aku dari cerpen ini, justru sangat suka meladeni penipu-penipu macam itu, ia rela memberi beberapa lembar untuk penipu, baginya akting menipu mereka sangat meyakinkan dan merupakan suatu kesenangan sendiri baginya.

Buku ini ditutup dengan cerpen yang cukup mengharukan, yang mengisahakan Yuning yang telah bersuami dan memiliki kehidupan sendiri tetapi kedua orang tuanya malah ingin agar Yuning tetap tinggal dengan mereka. Cerpen yang tepat untuk menutup buku. Benar-benar menyentuh, dan sedikit memberi pelajaran mengenai sikap dalam memilih.

Cerpen-cerpen ini memang bertujuan untuk menggambarkan keadaan orang ‘kecil’ yang kondisinya kebanyakan belum dipahami dengan baik oleh orang-orang awam. Nggak ada maksud tertentu yang harus ditebak oleh pembaca, karena alur yang ada dalam tiap cerpen emang seperti mengalir dengan mulus gitu aja, gaya penulisannya pun sesederhana tokoh yang ada dalam cerpen, ceritanya sendiri juga mudah sekali ditangkap. Yang perlu pembaca lakukan hanya duduk santai, menikmati cerita tanpa harus berpikir.

Walaupun begitu, beberapa cerpen kesannya menggantung, bukan menggantung sih, lebih tepat kalau dikatakan belum selesai. Beberapa cerpen dibuat seakan-akan nggak ada solusinya dan seperti ada halaman yang hilang. Tapi, walaupun beberapa cerpen seakan nggak ada penyelesaiannya, pembaca tentu akan langsung dibawa ke cerpen selanjutnya yang banyak mengandung simpati dan rasa iba.

Pengambilan lima belas cerpen, yang memiliki tema, topik, dan tokoh utama yang hampir sama, saya rasa terlalu banyak. Sehingga, dengan topik, tema, dan tokoh yang hampir sama pada kelima belas cerpen yang ditampilkan dalam buku, saya sedikit merasa bosan ketika berada di tengah-tengah buku.

Meskipun begitu, apresiasi terhadap pengarang yang jeli mengambil tokoh yang sederhana sekali, mengangkat masalah yang tak hanya ditemui oleh orang-orang tertentu tapi juga semuanya dan dapat memancing simpati dan rasa iba terhadap tokoh yang diceritakan.

Saturday, 30 November 2013

Perang-Putu Wijaya

Sudah ditakdirkan oleh dewa-dewi di kayangan bahwa Perang Baratayuda atau yang bisa saja disebut sebagai Perang Saudara antara Pandawa dan Korawa harus terjadi. Dewa-dewi kayangan sendiri yang memutuskan. Tak hanya itu, mereka juga telah memutuskan bahwa Pandawa dari Amarta yang akan menjadi pemenang di pertarungan mengalahkan saudara-saudaranya sendiri, Korawa dari Astina. Walaupun perang ditakdirkan masih lama meletus, tetapi gonjang-ganjing, ribut-ribut persiapan perang sudah santer dilakukan oleh kedua belah pihak.

Di tengah keributan masalah Perang Baratayuda, masalah-masalah tetap sepele maupun masalah-masalah yang pelik tetap terjadi di Amarta dan Astina. Para raksasa tetap merusak hutan dan melahap isi bumi yang nampak oleh mereka, gempa bumi meluluh-lantakkan daratan Amarta dan terpaksa membangun kembali negara mereka yang telah hancur.

Sementara itu juga, Panakawan, abdi dalam dari Pandawa, juga bergumul dengan masalah-masalahnya sendiri. Semar harus sabar dan tegas menghadapi ketiga anaknya, Petruk, Bagong, Gareng yang nakalnya bukan main. Setiap hari Semar selalu memberi wejangan mengenai hidup dan semuanya yang berlangsung di dalamnya kepada anak-anaknya dalam berbagai kesempatan, tapi memang dasar anak-anak nakal Petruk, Bagong, atupun Gareng tetap saja acuh dengan nasihat bapaknya.

Seperti kebanyakan sastrawan yang dimiliki oleh Negara Indonesia, novel yang ditulis oleh Putu Wijaya ini berisi sindiran-sindiran dan—kurang lebih—teguran tentang hidupnya manusia. Settingnya di daerah-daerah Amarta dan Astina yang—kalo secara maksa, sih—kurang lebih mencerminkan mengenai Negara Indonesia, Pandawa yang kurang lebih menggambarkan pemerintah-pemerintah Negara Indonesia, perilaku manusia, apa yang selalu dipikirkan manusia, apa yang selalu diinginkan manusia, dan termasuk pesimisme masyarakat Indonesia terhadap bangsa dan negaranya sendiri.

Kalau dalam teater, buku ini dibagi jadi dua babak. Babak pertama kebanyakan bercerita mengenai Amarta, Astina, Perang Baratayuda, Pandawa, dan semuanya di kerajaan. Kalo menurut kacamata saya sih, Amarta ini persis banget sama Indonesia. Amarta ini—sepenangkapan saya, sih—bentuknya kerajaan dengan pemimpinnya adalah Pandawa dan Yudistira—si sulung dari Pandawa—adalah pemimpinnya. Yudistira digambarkan sebagai pemimpin yang lembut, tegas, selalu mendengarkan suara rakyatnya, pokoknya tipikal pemimpin yang diinginkan rakyatnya—well, sebenarnya beda sekali sih dengan pemimpin Negara Indonesia pada waktu itu. Walaupun memiliki pemimpin yang baik, toh Amarta tetap diserang oleh berbagai masalah ataupun hal negatif. Nah, masalah-masalah yang menimpa di Amarta ini, saya kira, juga persis sama dengan masalah yang menimpa Indonesia, walaupun cuma analoginya, sih, tapi bener-bener nggambarin masalah-masalah di Indonesia. Sebagai contohnya adalah gempa yang meratakan tanah Amarta, semua rakyat susah, tetapi Pandawa malah sibuk membangun istana Abimanyu yang notabene masih bayi. Nah, sama kayak Indonesia yang sempat ditimpa musibah tetapi petingginya malah sibuk dengan urusan lain. Well, saya sebenernya nggak tahu sih, pas waktunya—tahun 1990 an—ada kejadian kayak gitu atau nggak, bisa saja penulis hendak menyampaikan bahwa jangan sampai suatu Negara memiliki pemimpin seperti itu, yang hanya memikirkan golongannya sendiri, kepentingan rakyatnya malah dinomor-sekian-kan. Contoh lain adalah raksasa-raksasa yang nggak kapok menghabiskan isi hutan. Raksasa-raksasa itu juga dari Amarta, pihak Pandawa pun juga sudah menghajar raksasa-raksasa tersebut, tapi rasanya raksasa tersebut juga tak kapok-kapok. Nah, kalo menurut saya, raksasa-raksasa ini juga menganalogikan rakyat-rakyat Indonesia yang menjarah hasil sumber daya alam Indonesia secara semena-mena dan ilegal. Sudah dihukum, tapi tetap nggak kapok-kapok, tetep aja diulangi. Sama seperti raksasa-raksasa yang menghabiskan hasil hutan untuk mengenyangkan perut mereka, orang-orang yang menjarah sumber daya alam secara tidak tahu aturan juga melakukan itu untuk menyambung hidup. Jadi, Amarta ini bisa dibilang sebagai analogi dari Negara Indonesia.

DSC_0042

Hubungannya dengan Astina juga menggambarkan Indonesia dengan pihak lain. Kalo dilihat dari segi latar belakangnya Korawa yang dulunya bersaudara dengan Pandawa, trus ujung-ujungnya mereka berperang, bisa aja digambarkan dengan perang saudara, perang antar suku, dan perang dengan wilayah lainnya yang notabene masih dalam satu negara. Nah, kalo dilihat dari fokus yang berbeda, yaitu Amarta dan Astina sebagai negara yang berbeda, kedua negara tersebut rakyatnya saling menghujat, rakyat Amarta saling menghujat negara Astina, rakyat di Astina juga gitu, rakyat seakan-akan sudah didoktrin untuk saling membenci. Di negara sendiri juga gitu, anggapan bahwa Negara A itu busuk nggak karu-karuan kayaknya sudah melekat dari lahir.

Belum lagi kelakuan Panakawan yang seringnya juga mencerminkan manusia-manusia pada umumnya, cerita tentang Panakawan seringnya sih menuturkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasanya berkecamuk (seilah, bahasanya) di otak manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu biasanya diwakilkan oleh Petruk, Gareng, dan Bagong. Nah, si bapak, Semar biasanya juga akan memberikan jawaban yang kece banget menurut saya. Seringnya jawabannya Semar yang bikin pembacanya merespon ‘wah, iya ya, bener juga’. Kalo menurut saya, sih, jawaban ataupun cerita yang disebarkan Semar bikin pembacanya buat introspeksi, mengingat-ingat, dan berkaca. Juga mengingatkan manusia untuk lebih sadar lingkungan, sadar sesama, dan sadar keadaan.

Babak kedua dari buku ini, cerita tentang Panakawan lebih mendominasi, cerita tentang Perang Baratayuda maupun Pandawa jadi lebih sedikit banget. Cerita tiap bab kadang nggak nyambung dengan bab sebelumnya, kadang juga malah menceritakan wayang yang secara umum (ada dalangnya, dalangnya gimana, penontonnya gimana, pertunjukan wayangnya di mana, dalam rangka apa, dsb). Jadi, babak kedua ini bisa dibilang nggak ada sambungannya juga dengan babak pertama, agak sedikit bikin bingung sih sebenernya, karena nggak ada fokus tertentu di babak ini. Isi babak kedua lebih menceritakan tentang kehidupan manusia lebih banyak. Cerita yang paling ngena mungkin cerita di bab 16, yang mengisahkan tentang anak-anak raksasa yang bosan dengan lakonnya yang selalu kalah. Kalo dianalogikan dengan manusia, ada pelajaran di situ mengenai latar belakang dan asal-usul manusia, bahwa mungkin nggak seharusnya manusia meninggalkan asal-usul dan hakikatnya. Belajar untuk lebih maju dan lebih pintar, boleh, boleh banget, tapi nggak seharusnya lupa bahkan meninggalkan hakikatnya. Kalo emang ditakdirkan jadi raksasa, ya jadi raksasa aja, jangan jadi manusia. Dan cerita mengenai Bagong yang tiap kali bercermin malah melihat raksasa. Ceritanya, Petruk digambarkan seolah-olah ia adalah seorang pemimpin, ia memiliki apapun, minta apapun tinggal minta dilayani. Dan itu gambaran yang tepat sekali terhadap pemimpin-pemimpin yang seharusnya dapat mewakili rakyatnya.

Walaupun mengangkat wayang sebagai tokoh utama, dan menyisipkan tentang Perang Baratayuda, saya rasa titik utama dari buku ini bukan wayangnya ataupun perangnya yang digembar-gemborkan, buku ini lebih memberikan cerita yang penuh dengan makna implisit yang seharusnya terbaca jelas oleh para pembaca. Ada pesan yang tersirat banget dibalik kisah-kisahnya yang sedikit kocak tapi juga menampar. Overall, buku ini mengajak pembacanya untuk berkaca lagi, mengoreksi diri, dan peduli dengan lingkungannya. Selalu ada masalah dalam hidup, tapi selalu ada solusi untuk tiap masalah. Bagus! Bagus banget, walaupun saya masih nggak ngerti implisit yang terkandung kalo tiap-tiap bab tadi disatukan. Tapi saya rasa, implisitnya tetap akan jelas kalau dibaca per bab aja.