Just One Year oleh Gayle Forman
Mulai
dibaca: 01 Juni 2017
Selesai dibaca: 08 Juni
2017
Judul:
Just One Year
Penulis: Gayle Forman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2016
Bahasa: Indonesia
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Penyunting: Barokah Ruziati
Tebal buku: 328 halaman
Format: Paperback
ISBN: 978-602-030-734-3
Harga: Rp.55.250 (Gramedia.com)
Rating: 3/5
Mimpi ini selalu kualami: aku berada dalam pesawat, tinggi di atas awan. (hal. 11)
Willem terbangun di sebuah rumah sakit di Paris dengan beberapa jahitan di kepalanya. Ia bahkan tidak ingat bagaimana ia bisa mendapatkan luka di kepalanya tersebut. Ia bahkan tidak ingat mengapa ia sampai bisa berada di Paris. Pelan-pelan ia bisa mengingat bahwa ia sedang bersama dengan seseorang. Seorang gadis yang ia temui ketika ia menampilkan salah satu drama Shakespeare. Willem ingat bertemu kembali dengan gadis itu dan mengajaknya ke Paris di mana ia meninggalkan gadis itu di sebuah rumah. Dan kini ia tidak ingat sudah berapa lama ia meninggalkan gadis itu, gadis itu pun telah pergi.
Kami berduaberada di Paris. Aku merasakan tangan lembut gadis itu di sisi tubuhku, selagi dia kubonceng di sepeda. Aku merasakan tangannya yang tidak terlalu lembut pada sisi tubuhku, selagi kami berpelukan erat. Tadi malam. Di ruangan putih. (hal. 18)
Yang ia ingat hanyalah gadis tersebut berasal dari Amerika, ia bahkan tidak tahu nama gadis itu, Willem hanya memanggilnya ‘Lulu’ karena ia mirip dengan aktris kesukaannya. Ditinggalkan oleh seorang gadis yang baru ia kenal, yang langsung membuatnya tertarik tak hanya membuatnya menyesal, ia juga merasa bersalah. Willem harus menemukan gadis itu dan menjelaskan padanya ke mana ia pergi saat itu dan mengapa ia tak kembali. Tapi yang Willem miliki hanyalah bayangan wajah gadis tersebut yang mirip dengan aktris kesukaannya, dan bagaimana caranya ia menemukan ‘Lulu’-nya jika yang ia miliki hanyalah bayangan wajah ‘Lulu’ saja?
Kecelakaan—begitulah caraku menemukan Lulu. Kecelakaan—begitu pula caraku kehilangannya. (hal. 29)
Willem tidak menyerah tentu saja, hanya berbekal ucapan yang dikatakan ‘Lulu’, Willem menjelajah ke negara yang jauh dari rumahnya. Dan yang Willem tak sadari, ia tak hanya berusaha menemui ‘Lulu’, ia menemukan jati dirinya dan apa yang sesungguhnya ia cita-citakan.
Saya harus menunggu cukup lama, lho, untuk mendapatkan lanjutan dari ‘Just One Day’ yang saya baca—kira-kira—empat tahun yang lalu. Tahun lalu buku ini akhirnya diterbitkan dan buku sebelumnya pun juga ikut ganti cover supaya sesuai dengan cover buku ini. Dan saya suka banget pergantian tersebut, karena kalau kedua buku tersebut dijejerin, akan membentuk gambar seorang gadis dan seorang laki-laki yang sedang ngobrol.
“Kadang-kadang takdir atau kehidupan atau apalah sebutanmu, menunjukkan pintu yang terbuka dan kau tinggal melangkah memasukinya. Tapi kadang-kadang pintu itu terkunci dan kau harus mencari anak kuncinya dulu, atau membongkarnya, atau mendobraknya sekalian. Dan kadang-kadang kehidupan bahkan tidak menunjukkan pintu, kau sendiri yang harus membuatnya.” (hal.137)
Berbeda dengan cover buku ‘Just One Day’ sebelumnya (saya membeli buku yang ini) yang gambarnya ada dua cangkir diatas sebuah meja dengan latar belakang Menara Eiffel yang menurut saya tidak terlalu menggambarkan isi buku tersebut. Cover buku yang baru setidaknya memberi informasi pada pembaca mengenai sudut pandang siapakah yang digunakan dalam memberi cerita. Jadi cover ‘Just One Day’ yang baru adalah gambar seorang cewek yang sedang berbicara, dan cover buku ini adalah seorang cowok yang terlihat menanggapi ucapan si cewek. Okay, cool, we got the story now.
Jadi sedikit cerita mengenai buku sebelumnya, ‘Just One Day’. Alkisah, seorang gadis sedang bertamasya ke luar negeri bersama teman-teman sekolahnya, ia bertemu seorang cowok dalam pementasan drama yang diadakan di jalanan. Singkat cerita, mereka bertualang dan mendarat di Paris. Si gadis dan si cowok mencari suatu tempat yang aman untuk beristirahat, lalu kemudian si cowok tersebut pergi meninggalkan si gadis hanya sejenak, tapi ternyata si cowok tidak kembali. Dan si gadis pun ditinggalkan dengan beranggapan bahwa si cowok tersebut hanya mempermainkannya saja, dan ia pun melanjutkan hidupnya dengan terpaksa dan sedikit nggak ikhlas.
“Kumohon,” aku memulai. Aku sudah hendak menulis lagi: Kumohon beri kabar. Kumohon biarkan aku menjelaskan. Kumohon beritahu siapa dirimu. (hal. 33)
Nah, itu ulasan sedikit mengenai buku ‘Just One Day’ yang disampaikan melalui sudut pandang si gadis, yang sebenarnya bernama asli Allyson, atau Lulu menurut Willem. Sekarang kita beralih ke buku lanjutannya, ‘Just One Year’ yang dibawakan melalui sudut pandang si cowok, aka Willem. Mungkin dengan penutup seperti yang diberikan di buku sebelumnya, pembaca mungkin berpikir bahwa buku ini benar-benar cerita terusan dari ‘Just One Day’. Nope. Jika kamu berpikir begitu, maka kita memiliki hipotesis awal yang sama.
Ada perbedaan antara kehilangan sesuatu yang pernah dimiliki dan kehilangan sesuatu yang baru belakangan kita sadari pernah kita miliki. Yang pertama sungguh disayangkan. Yang kedua adalah kehilangan yang sesungguhnya. (hal. 95)
Tapi ternyata setelah membaca buku ini sampai halaman terakhir, saya menyimpulkan bahwa hipotesis awal ditolak! Buku ini bukan cerita terusan dari ‘Just One Day’, menurut saya buku ini murni cerita yang lain lagi dari sisi Willem setelah ia bertemu dan berpisah dengan Allyson. Di buku ini Willem menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya, dan mengapa ia meninggalkan Allyson. Setidaknya pembaca bisa lega karena Willem ternyata tidak seburuk apa yang Allyson bayangkan di buku sebelumnya.
Ke sinikah kami akan pergi? Apakah kami akan duduk di kafe, kaki bertautan, kepala berdekatan, seperti pasangan di sebelah sana itu di bawah payung? (hal. 126)
Dan sama seperti Allyson, Willem pun melanjutkan hidupnya dengan tidak rela karena ia berhutang penjelasan kepada ‘Lulu’-nya.
Willem lahir di Belanda dari pasangan keturunan Israel. Ia merupakan pemuda dengan paras yang cukup menarik sehingga wajar saja bila ia sering berganti-ganti pacar. Tapi ia seakan menemukan seorang gadis yang lebih menarik baginya. Dan Willem seakan memiliki perasaan terikat pada Allyson karena hutangnya itu, dan menurut saya hal itulah yang menyebabkan Willem nggak benar-benar bisa melepaskan Allyson begitu saja.
Sampai aku menciumnya. Kemudian aku merasakannya, dalam dan menyelubungi seperti air di sekelilingku sekarang. Lolos dari bahaya. Aku tidak yakin bahaya apa yang dimaksudkannya. Aku hanya tahu bahwa mencium Lulu terasa melegakan, seolah-olah aku baru mendarat di suatu tempat setelah perjalanan panjang. (hal. 120)
Nah, sebagai pembaca buku pertamanya, saya pun sedikit kesel dan bertanya-tanya, masa Willem nggak ada usaha apapun sih buat bertemu dengan ‘Lulu’-nya? Tenang. Mungkin karena merasa punya tanggungan, Willem pun tetap berusaha mencari si ‘Lulu’ yang berujung pada dirinya yang menemukan apa yang sesungguhnya ia inginkan untuk hidupnya. Well, kalau menurut saya Willem bukannya nggak serius dalam usahanya menemukan Allyson, mengingat ia rela untuk pergi ke negara yang ada di benua lain merupakan usaha seseorang yang paling besar, dan bagaimanapun juga negara yang ia kunjungi itu masih terlalu luas, bahkan kota yang dikunjungi Willem berdasarkan ucapan Allyson mengenai tempat liburannya juga masih terlalu luas, wajar aja sih kalau akhirnya Willem jadi lelah dan frustrasi.
Bernyali adalah melakukan hal berbahaya tanpa berpikir. Berani adalah melangkah menuju bahaya, tapi tahu persis risiko apa yang akan dihadapi. (hal. 135)
Untungnya hal yang membuatnya teralihkan dari usaha menemukan Allyson merupakan salah satu hal yang ia senangi, yaitu terlibat dalam seni peran, dan sepertinya memang itulah yang ia cita-citakan, dan selanjutnya kita dibawa ke kisah Willem yang semakin meniatkan dirinya untuk mendalami seni peran.
Oke, sebenarnya nggak ada masalah dengan alurnya, yah. Alurnya sudah terus maju aja secara mulus, dengan beberapa kilas balik mengenai Willem dan orang tuanya yang kisahnya manis dan penuh liku-liku dan petualangan, yah tapi namanya sebuah sekuel dan buku pertamanya pun penutupnya kayak gitu, pembaca pasti lebih menginginkan cerita mengenai Willem yang mati-matian menemukan ‘Lulu’-nya.
“Karena kita tidak pernah bisa menemukan sesuatu yang kita cari. Kita bakal menemukannya saat tidak sedang mencari.” (hal. 136)
Bagi saya, cerita yang dibawakan Willem sedikit membosankan. Atau setidaknya sampai di bagian ia pergi ke negara lain untuk mengejar Allyson. Setelah itu, perjalanan Willem untuk mendalami apa yang ia inginkan, menurut saya, merupakan petualangan yang mengasyikkan, bahkan sedikit memberikan motivasi bagi saya.
Nah, sebelum dwilogi ‘Just One Day’ saya pun membaca dwilogi lainnya dari penulis, yaitu ‘If I Stay’. Dwilogi ‘Just One Day’ ini kira-kira sebelas-duabelas lah dengan dwilogi ‘If I Stay’. Mengenai inti cerita di mana seorang cewek yang akhirnya berpisah dengan seorang cowok, lalu sudut pandang yang digunakan untuk masing-masing buku, dan apa yang saya rasakan ketika membaca serial ‘If I Stay’ juga sama dengan apa yang saya rasakan ketika membaca serial ‘Just One Day’. Ceritanya oke, manis, roman a la anak remaja yang lugu dan kadang impulsif, dan penutupnya pun bikin saya senang walaupun sebenarnya nggak memuaskan.
Aku menyelesaikan sejarah yang berlangsung sebelum
kami, dan dengan melakukan itu, aku memulai sejarah baru kami sendiri.
Kebahagiaan ganda: aku paham sekarang. (hal. 320)
Oh iya, bocoran satu lagi, nih. Kalau kamu masih nggak puas setelah membaca buku ini, seperti saya, tenang, penulis ternyata sudah menerbitkan sebuah novella yang merupakan sedikit kisah lanjutan dari buku ini. Judulnya ‘Just One Night’, dan karena halamannya sedikit, mungkin sekuel ini hanya tersedia dalam bentuk buku elektronik yang saya beli lewat salah satu layanan penyedia buku elektronik. Dan walaupun halamannya sangat sedikit, tapi novella ini benar-benar bikin saya puas, lega, dan seperti menemukan jawaban yang hakiki atas serial sebelumnya.
It isn’t a first kiss. It isn’t even
their first kiss. But it feels like one.
Not
because it is fumbling or awkward. Not because she doesn’t know where to put her
hand, or he doesn’t know where to put his nose. None of those. They slot
together like puzzle pieces. As Allyson and Willem kiss for the first time in a
year, both are thinking the same thing: This feels new. (penggalan novella
‘Just One Night’, hal. 1)
menarik sekali untuk dibaca
ReplyDeletesurat al baqarah