Thursday 2 June 2016

Go Set a Watchman-Harper Lee

81SX8d6vpzLGo Set a Watchman oleh Harper Lee

Mulai dibaca: 11 Mei 2016

Selesai dibaca: 24 Mei 2016

Judul: Go Set a Watchman

Penulis: Harper Lee

Penerbit: Penerbit Qanita

Bahasa: Indonesia

Penerjemah: Berliani Mantili & Esti Budihabsari

Tahun terbit: September 2015

Format: Paperback

ISBN: 978-602-163-788-3

Harga: Rp. 74,000 (bukupedia)

Rating: 2/5

“Aku paling suka bagian yang menyebutkan bahwa para Negro, terberkatilah hati mereka, memang pantas menjadi inferior di hadapan ras kulit putih karena tengkorak mereka lebih tebal, sehingga jangkauan otak mereka lebih rendah—entah apa artinya itu—jadi kita semua harus memperlakukan mereka dengan sangat baik agar mereka tidak melakukan apa pun untuk menyakiti diri mereka sendiri dan tetap berada di tempat mereka.” –Jean Louis Finch- (hal. 109)

Scout bukan lagi gadis kecil tomboi yang gemar memakai baju monyet, berkelahi, memanjat pohon, dan menantang tiap anak laki-laki yang mengganggunya, sekarang ia adalah Miss Jean Louis Finch yang hidup di New York yang sangat dinamis. Tetapi untuk sementara waktu, Jean Louis meninggalkan New York untuk pulang ke Maycomb menemui Atticus Finch yang sudah jauh menua dan melemah. Walaupun tidak tampak sedang menangani kasus berat, Atticus masih menjalankan tugasnya sebagai pengacara yang selalu membela hal yang benar tanpa mendiskriminasikan siapapun. Namun, sejak kasus besar yang ditangani oleh Atticus, yang disaksikan oleh Scout, yang menyinggung tentang diskriminasi ras, bukan berarti aksi diskriminasi ras tidak berhenti sampai di situ. Bertahun-tahun semenjak Scout melihat aksi ayahnya membela ras kulit hitam, setelah beberapa lama hidup di lingkungan yang sangat dinamis dengan toleransi yang cukup baik, Scout kembali menghadapi isu diskriminasi ras di kampung halamannya, tapi kali ini tidak ada ayahnya yang berdiri membela ras kulit hitam.

P_20160602_0724171

Setengah abad setelah ‘To Kill a Mockingbird’ pertama kali diterbitkan, novel lanjutannya terbit pada tahun 2015 dengan judul ‘Go Set a Watchman’. Kabarnya, novel ini seharusnya menjadi novel yang pertama diterbitkan sebelum ‘To Kill a Mockingbird’. Kabarnya lagi, penulis sampai pernah membuang naskah ‘Go Set a Watchman’.

Sebenarnya saya sudah membaca resensi-resensi yang ditulis oleh yang sudah membaca novel ini. So far, di situs goodreads nilai rata-rata untuk buku ini adalah, 3.32 dari 5.00. yang menurut saya berarti buku ini biasa saja. Rata-rata memberikan 3 bintang. Tapi yang merasa bahwa ceritanya bagus juga lumayan banyak. Tetapi, yang memberi 2 bahkan 1 bintang saja pun, ya tidak sedikit. Rata-rata resensi yang saya baca adalah bahwa mereka sebenarnya bingung mengapa buku ini diterbitkan, atau merasa sedikit kecewa—mungkin—karena tidak ada konflik yang dalam di buku ini. Ada yang mengatakan bahwa cerita dalam buku ini tidak sebanding dengan publikasi dan pemasarannya yang terlalu gencar dan lebay. Saya, sayangnya, adalah orang yang menyetujui pendapat tersebut.

Saya sendiri sebenarnya bingung, mengapa pula saya membeli buku ini di hari penerbitnya membuka sesi ‘Pre-Order’, mungkin karena diskonnya cukup besar, maklum saya hanya gadis yang mudah tertarik oleh tulisan diskon. Maksud saya, kenapa saya harus terburu-buru, sih, waktu membeli buku ini. Saya akui, publikasi dan strategi pemasaran yang dilakukan oleh penerbit emang sangat gencar dan gigih. Mereka menceritakan latar belakang ditulisnya buku ini, kisah dibalik penulisan buku ini, Jean Loise ‘Scout’ Finch yang sudah dewasa, pokoknya heboh sampai bisa membujuk orang-orang.

Oke, jadi saya akan mulai dengan cerita kilas balik Jean Louis ‘Scout’ Finch, yang sebenarnya berjalan dengan datar-datar saja. Maksud saya, rasanya nggak ada lagi cerita yang memengaruhi Scout. Satu-satunya pengalaman Scout yang memengaruhi dirinya dan orang yang membaca kisahnya adalah ketika ayahnya yang mau merepotkan dirinya sendiri demi membela seseorang yang berasal dari ras kulit hitam. Ayahnya mengajarkan Scout bahwa aksi rasisme maupun men-diskriminasi-kan seseorang berdasarkan golongan atau agama atau suku ataupun warna kulit merupakan tindakan terkejam yang pernah dilakukan oleh seseorang, tidak peduli siapapun jika ia melakukan tindakan rasisme, ia sama saja dengan sampah. Aksi ayahnya dalam membela kliennya memengaruhi Scout, Scout pun akhirnya belajar untuk tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit. Begitu pula dengan kita yang membaca kisah Scout dalam buku ‘To Kill a Mockingbird’ tersebut, kita tentu juga menyadari bahwa aksi rasisme bisa berbuntut panjang. Oke, kembali ke buku yang baru selesai saya baca ini. Dalam buku ini, cerita masa kecil Scout hanya berputar di sekitar kegiatan yang dilakukan Scout ketika masih bocah. Kenakalan yang dilakukannya bersama kakak dan tetangganya, kelakuannya yang selalu merepotkan ayah dan pengasuhnya, menstruasi pertamanya, pengalaman pubertasnya, informasi pertama yang ia dapatkan mengenai aktivitas seksual dan kehamilan. Dan itu semua diceritakan oleh Scout yang telah dewasa, jadi ceritanya hanya sekadar Scout yang sudah dewasa yang sedang throwing back to the day she was a silly little girl. Dan jelas nggak ada pengaruhnya buat pembaca selain untuk menikmati cerita masa kecil Scout. Dan sejujurnya, saya tidak menikmati. Scout kecil mungkin lucu dan konyol, ia tomboi, dan jelas sangat berbeda dengan gadis cilik lainnya yang menjauhi perkelahian. Cerita masa kecil Scout mungkin yang membentuk Scout menjadi seperti sekarang, tapi tentu saja cerita tak tersebut tak membekas di benak pembaca, termasuk saya.

Isu rasisme masih dibahas dalam buku ini. Tapi tidak sejauh dan sedalam di buku sebelumnya, walaupun begitu tetap saja menimbulkan konflik antara Scout dan ayahnya. Tidak ada pengadilan ataupun proses hukum yang terjadi dalam novel ini, hanya ada semacam proses diskusi mengenai seseorang dari ras kulit hitam. Scout mengenal ayahnya sebagai pengacara terbaik di Maycomb, yang selalu membela hal yang benar tanpa membeda-bedakan kliennya berdasarkan warna kulit atau apapun, dalam buku ini Scout menghadapi ayahnya yang seakan berbalik menyudutkan manusia kulit hitam. Di sinilah konflik terjadi.

Dari konflik tersebut, yang saya dapatkan adalah bahwa Jean Louis yang dewasa adalah seorang wanita yang keras kepala. Ia cenderung tidak bisa mendengarkan penjelasan apapun ketika suasana hatinya sedang keruh dan kepalanya dipenuhi amarah. Ia susah sekali mendinginkan hatinya. Dalam buku ini, menurut pandangan Scout, ayahnya adalah seseorang yang tidak berpendirian teguh. Waktu kecil ayahnya mau mati-matian membela seorang negro yang difitnah, sekarang ia melihat seakan ayahnya telah menyebrang ke sisi yang lain. Sementara ayahnya tetap hadir sebagai sosok yang kalem dan tenang, sekeras apapun gadisnya mengumpat dan membentaknya. Walaupun begitu, itu semua masih pandangan Scout, sebenarnya saya pun belum bisa menangkap dengan jelas kepada siapa sebenarnya Atticus berpihak.

Melalui Jean Louis saya bisa mengetahui bahwa penulis memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu rasisme. Mungkin penulis melalui Jean Louis Finch, rasisme merupakan sebuah hal yang tidak akan pernah bisa hilang. Akan selalu ada seseorang yang mendiskriminasikan orang lain, berdasarkan hal apapun sesuka mereka. Akan selalu ada seseorang yang menganggap bahwa dirinya lebih baik daripada orang lain hanya karena mereka berbeda suku darinya. Seperti itu.

Oke, jadi buku ini masih mengangkat isu rasisme, tapi tidak dalam, dan sebenarnya saya masih kebingungan mengenai tujuan dari buku ini. Isu rasisme dalam buku ini menurut saya dibahas secara biasa-biasa saja. Seperti membuka topik diskusi.Dan saya pun bingung sebenarnya buku ini akan mengarah ke mana, tujuannya apa, dan sebagainya.

Jadi saran saya, bagi yang sudah baca buku ‘To Kill a Mockingbird’ buku ini sebenarnya nggak perlu dibaca juga. Karena memang nggak nyambung dengan buku sebelumnya tersebut. Tetapi, kalau pembaca penasaran dengan cerita-cerita Miss Jean Louis ‘Scout’ Finch, boleh mencoba membaca buku ini. Sepertinya apa yang dikatakan oleh penerbit benar, bahwa sebenarnya buku inilah yang lahir terlebih dahulu. Bagi yang belum baca ‘To Kill a Mockingbird’, mungkin kalau urutan membacanya dimulai dari buku ini lalu ke ‘To Kill a Mockingbird’ mungkin rasanya akan berbeda. Selamat mencoba.

No comments:

Post a Comment