Sunday 11 October 2015

Senyum Karyamin-Ahmad Tohari

18250153Senyum Karyamin oleh Ahmad Tohari

Mulai dibaca: 10 September 2015

Selesai dibaca: 15 September 2015

Judul: Senyum Karyamin

Penulis: Ahmad Tohari

Penyunting: Maman S. Mahayana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Juli 2013

Tebal: 88 halaman

ISBN: 978-979-229-736-2

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp. 28.800 (Grazera)

Rating: 3/5

Karyamin adalah seorang tukang batu, setiap hari ia harus mengangkut berkilo-kilogram batu yang jauhnya berkilo-kilometer dari rumah dan istrinya demi menyambung hidupnya setiap hari. Tak hanya menghadapi beban hidup seperti memenuhi kebutuhan makanan yang harus ia hadapi, ia pun masih harus menghadapi penagih utang yang tiap datang menagih ke rumahnya seringnya hanya kembali dengan tangan hampa.

Untitled

Setelah lama tidak membaca karya penulis, akhirnya saya membaca buku yang lagi-lagi berisi kumpulan cerpen yang sebelumnya telah diterbitkan di media-media cetak ternama di Indonesia. Berisi 13 cerita pendek, buku ini masih memiliki tema yang sama dengan buku penulis yang sebelumnya saya baca, ‘Mata yang Enak Dipandang’, yaitu berlatar kehidupan orang-orang pedesaan yang kebanyakan hidupnya teramat kekurangan dan kekeringan. Perbedaannya mungkin ada pada format penyusunan buku, buku ‘Senyum Karyamin’ lebih tipis karena ukuran huruf yang digunakan pun lebih kecil dibandingkan dengan buku ‘Mata yang Enak Dipandang’. Funny, menurut saya, karena butuh waktu lima hari untuk saya menyelesaikan buku ini, tapi hanya butuh waktu sehari untuk menyelesaikan buku yang dua kali lebih tebal dari buku ini. Saya sibuk, itu saja. Titik. Nah, karena saya tidak terlalu mampu memberikan ulasan singkat dari sebuah cerpen, maka saya akan langsung memberikan pendapat dan penilaian saya dari beberapa cerpen yang ada dalam buku, yang menarik menurut pandangan saya.

Saya mulai dari cerpen yang judulnya diangkat menjadi judul buku ini, ‘Senyum Karyamin’. Cerita yang dimuat pada Harian Kompas pada tanggal 26 Juli 1987 ini menceritakan kehidupan seorang kuli batu yang menurut saya sangat mengenaskan, bayangkan saja ia harus mengangkut berkilo-kilogram batu sungai lalu menyerahkan kepada sebuah pangkalan material yang tempatnya mengharuskan para pengangkut untuk berjalan menanjak berkilo-kilometer hanya untuk diberikan upah yang hanya cukup mengganjal perut mereka dengan sekali makan setiap hari. Cerita ini lebih menonjolkan kehidupan para kuli, kehidupan mereka yang mengenaskan tapi secara nggak langsung jiwa mereka yang juga nggak mau menyerah begitu saja kepada kejamnya hidup. Di akhir cerita, ketika seorang penagih hutang datang ke rumah Karyamin sambil membentak-bentak, Karyamin malah tertawa terbahak-bahak seakan menunjukkan bahwa ia sudah tidak peduli lagi dengan si penagih. Cara Karyamin tertawa juga seakan menunjukkan bahwa ia pasrah dengan keadaannya, seakan tahu bahwa ia sudah tidak punya apa-apa, dan ia menyerah, dan cara yang ditunjukkan justru semakin membuat saya iba. Saya rasa, dari Karyamin saya mendapat sebuah karakter dari orang-orang seperti Karyamin, yang hidupnya memprihatinkan dan harus berjuang ekstra keras untuk memperpanjang napasnya, mereka adalah orang-orang yang kuat, teramat kuat, demi menjaga kehidupan mereka dan keluarga mereka, rasanya apapun akan mereka jalani, sekeras dan seberat apapun, tapi ada kalanya mereka hanya bisa memasrahkan nasib mereka kepada semesta.

senyumkaryamin_15686cover pertama buku kumcer ‘Senyum Karyamin’, terbit tahun 1989

Cerpen berikutnya yang menurut saya juga menarik adalah cerpen berjudul ‘Si Minem Beranak Bayi’. Cerpen yang dimuat di harian Kompas ini muncul pada tanggal 26 September 1982, menceritakan mengenai kecemasan seorang suami yang istrinya yang tiba-tiba melahirkan sebelum waktunya. Hal menarik lagi-lagi saya dapatkan di penutup cerita, yaitu ketika ayah dari pihak istri mengatakan “Anak-anakku memang laris.”. Dikisahkan bahwa sang istri menikah di usianya yang keempat belas tahun, di usia itu pula lah ia melahirkan, ketika usia kandungannya belum genap tujuh bulan. Dan ternyata, adiknya pun juga akan segera menikah. Ketika mendapat kabar mengenai kelahiran cucu pertama mereka, orang tua si istri tidak menunjukkan kecemasan atau ketakutan, keheranan iya, tapi sang ayah malah menanggapi berita tersebut dengan kalimat “Anak-anakku memang laris.” Lagi-lagi sebuah penutup yang membuat saya tertegun. Saya menyadari bahwa orang yang hidup di daerah terpencil membuat mereka susah mendapatkan ilmu dan pengetahuan, hal tersebut membuat mereka tertinggal dengan orang-orang kota, hal tersebut membuat mereka lebih nggak tahu apa-apa dan juga lugu. Bagi mereka, orang-orang daerah terpencil, yang masih percaya dengan ajaran dan ucapan turun-temurun dari jaman nenek moyang, ketika mereka memiliki anak perempuan, mereka harus cepat-cepat menikahkan anak mereka demi meningkatkan derajat mereka sendiri, tak peduli usia anak mereka, apa dampaknya bagi kesehatan, dan sebagainya, yang penting anak gadis mereka segera menikah, ikut suaminya, menjadi tanggungan suaminya, dan berkuranglah beban mereka. Satu hal lagi yang membuat saya iba, betapa lugunya mereka, betapa dangkal wawasan mereka mengenai hal terpenting seperti kesehatan sekalipun.

Dalam cerpen berjudul ‘Tinggal Matanya Berkedip-kedip’, penulis kembali menunjukkan sisi lugu orang-orang ndeso, yang memberikan akibat buruk bagi mereka sendiri. Cerpen yang diterbitkan pada tanggal 10 April 1983 ini menceritakan mengenai seekor kerbau yang menjadi andalan sebuah keluarga dalam mencari rejeki. Tapi, suatu hari si kerbau menunjukkan gejala tidak baik, ia terlihat lamban, layu, dan lemas. Karena tak mengerti, keluarga ini pun memanggil seseorang yang dianggap sebagai mandor para kerbau, dengannya kerbau manapun akan patuh, tak ada yang tak tunduk pada si mandor. Ketika melihat gelagat si kerbau yang lemas dan seperti sedang sakit, bukannya mengobati atau merawat si kerbau sakit, si mandor malah memasang tali kekang dan berbagai alat yang kiranya bisa menarik si kerbau agar dapat kembali berdiri dan bekerja, tapi akhirnya si mandor dan keluarga pemilik kerbau hanya mendapatkan seekor kerbau yang tergolek tak berdaya dengan darah mengucur di beberapa tempat. Lagi-lagi cerita yang menunjukkan betapa kurangnya pendidikan orang-orang pedesaan, mereka lupa bahwa hewan pun makhluk hidup, bisa merasakan sakit dan lelah. Mereka mengira bahwa kerbau itu seperti mesin, berbadan besar dan tenaganya mampu digunakan sesering mungkin. Mereka hanya ingin hidup mereka lancar, bisa makan setiap hari, apapun mereka lakukan agar hidup mereka terjaga, termasuk mengorbankan salah satu hal terpenting. Mereka lupa, jika mereka terus memaksa si kerbau untuk bekerja, suatu hari si kerbau akan sakit, kemungkinan terburuknya adalah si kerbau mati, tak ada lagi yang mampu membajak sawah mereka, dan merembet ke akibat buruk lainnya.

Secara singkat, memang buku ini memuat cerpen-cerpen yang temanya mirip dengan cerpen-cerpen yang dimuat di buku berjudul ‘Mata yang Enak Dipandang’, ceritanya mengenai orang-orang miskin, orang-orang ndeso yang lugu dan kurang pendidikan. Alasan saya untuk menyukai penulis masih sama, saya suka dengan gaya bercerita penulis yang sangat sederhana, apa adanya, dan tidak berlebihan. Penulis tidak menggunakan kata-kata yang indah seperti penulis kebanyakan, penulis menggunakan bahasa yang sangat biasa, yang gampang banget ditangkep pembaca, sehingga pembaca bisa lebih fokus mengagumi jalan cerita yang diberikan oleh penulis. Jadi, itu, yang dijual oleh penulis adalah ceritanya, bukan bahasanya yang mendayu-dayu, atau kata-katanya yang indah, apalagi kalimat yang puitis. Penulis hanya ingin bercerita mengenai kehidupan orang-orang pedalaman, dengan bahasa yang mudah dimengerti, mudah saja bagi penulis membuat saya iba dengan para tokoh dan memaklumi keluguan dan kebodohan mereka. Seperti yang tertulis dalam Kata Penutup yang ditulis oleh sastrawan yang tak asing lagi bagi pembaca, yaitu Bapak Sapardi Djoko Damono, penulis memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca, penulis tidak hanya memberikan cerita-cerita yang menghibur tetapi juga memberikan sebuah contoh-contoh masalah yang tersebar di kehidupan bermasyarakat yang sangat perlu kita pahami, nggak melulu membuat kita untuk lebih peka dan iba terhadap orang pedesaan yang miskin, tapi juga membuat kita lebih memahami betapa seringnya hidup tidak berpihak pada mereka, betapa seringnya mereka diperlakukan tidak adil dan malah semakin memiskinkan mereka yang memang sudah tidak punya apa-apa. Melalui cerpen-cerpen ini, penulis seakan-akan mewartakan cerita yang lebih mendalam mengenai orang-orang pedesaan, penulis sepertinya juga ingin menceritakan bahwa sebenarnya orang-orang pedesaan itu kuat tapi ia ingin agar para pembaca terketuk pintu hatinya ketika membaca paling tidak salah satu cerpen mengenai kehidupan orang miskin yang ada dalam buku ini.

Cerpen-cerpen yang ada di buku ini tak melulu memberikan cerita mengenai keluguan, kebodohan, dan kenelangsaan orang miskin, ada juga cerita yang menurut saya cukup membuat saya mengingat-ingat hal pasti yang akan datang pada tiap manusia, kematian, seperti yang diceritakan dalam cerpen berjudul ‘Rumah yang Terang’, saya kira cerita ini akan memberikan sebuah kisah mengenai sebuah rumah yang akhirnya diisi dengan kebahagiaan, entah kebahagiaannya dalam bentuk apaan, tapi ternyata malah cerita yang sama sekali lain dari perkiraan. Dan walaupun sifat cerita ini nggak memberikan pesan, hanya menceritakan sebuah pemikiran dari seseorang, tetap saja ada sesuatu yang benar-benar menancap di pikiran saya dan rasanya memang patut saya renungkan. Di cerpen yang berjudul ‘Rumah yang Terang’ ini penulis menceritakan betapa senangnya masyarakat desa ketika listrik akhirnya memasuki kawasan mereka, orang-orang mulai meninggalkan lampu petromak untuk beralih ke lampu listrik, semuanya melakukakan hal tersebut kecuali satu rumah yang bersikukuh tetap menggunakan penerangan tanpa listrik. Cerpen ini seakan mengingatkan para pembaca mengenai ajal yang selalu siap menjemput kita, kita sering terlalu fokus mengejar hal-hal duniawi, terlalu larut dalam kesenangan yang ada di dunia, hal tersebut, sedihnya, sering membuat kita lupa mengenai kehidupan setelah kematian. Kita tidak memikirkan bagaimana nantinya kehidupan kita setelah ajal menjemput, kita melupakan amal yang seharusnya rajin kita tabung semasa hidup di dunia. Ini salah satu hal yang saya sukai dengan orang pedesaan, mereka hidup sangat sederhana, mereka bekerja agar hidup mereka tetap tersambung, agar mereka terus bisa beribadah kepada Tuhan untuk mendapatkan tempat terbaik kelak. Apapun yang mereka dapatkan, mereka syukuri, mereka tidak terlalu bernafsu mengejar kekayaan, asalkan mereka tetap bisa makan, maka tak ada lagi yang perlu dicapai, semangat beribadah mereka lah yang saya kagumi dari orang-orang macam ini.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka ayahku amat khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di alam kubur.” (Cerpen: Rumah yang Terang, hal. 46)

P_20151010_175248_HDR

Amat menyayangkan penggunaan ukuran huruf yang rasanya sangat kecil, nggak seperti formaat yang biasanya digunakan oleh penerbit. Bikin mata lelah dan mudah capek.

No comments:

Post a Comment