Tuesday 9 June 2015

Mereka Bilang, Saya Monyet!-Djenar Maesa Ayu

16152308Mereka Bilang, Saya Monyet!

Mulai dibaca: 03 Juni 2015

Selesai dibaca: 06 Juni 2015

Judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!

Penulis: Djenar Maesa Ayu

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: Februari 2013

Tebal: 135 halaman

ISBN: 9789792289916

Format: Paperback

Harga: 36.000 (bukupedia.com)

Rating: 3/5

Mereka mengaku bahwa mereka adalah manusia. Tetapi, mengapa mereka berkaki empat? Mengapa mereka berkepala ular, atau banteng, atau keledai. Dan mereka semua berbuntut. Buntut mereka pun tidak sama dengan wujud kepala mereka. Manusia yang mengaku berjenis kelamin lelaki itu misalnya, kepalanya adalah kepala buaya, tetapi ia memiliki ekor kalajengking. Beberapa manusia tersebut malah berbulu. Berbulu serigala atau harimau, bahkan yang berbulu landak juga ada. Dan ketika ditanya mengapa mereka bisa disebut manusia, mereka mengaku karena mereka memiliki perasaan dan akal pikiran. Tetapi ketika ia, yang berkaki dua, bermuka seperti manusia sebenarnya, dan tidak berekor mengaku bahwa ia juga memiliki perasaan dan berakal, mereka malah mengatakan bahwa dirinyalah yang binatang. Mereka semua malah menyebutnya monyet!

DSC_0006

Sebelum membaca buku ini, buku karangan penulis yang terakhir saya baca, ya cuma satu, yang berjudul ‘Nayla’. Dan saya suka dengan buku itu, dengan Nayla. Menurut saya ceritanya oke banget. Saya suka dengan gaya penceritaan yang digunakan, jujur, kasar, tapi ya memang seperti itulah cara berkomunikasi yang sesungguhnya yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Yang paling membuat saya menyukai buku ini adalah topik ceritanya. Walaupun hubungan ibu dan anak yang ada di dalam buku tersebut sedikit mengerikan, seenggaknya menyadarkan saya bahwa ibu yang tega memberi perlakuan keji ke anaknya sendiri itu memang ada. Lalu cerita cintanya juga sedikit berbeda, suka banget ketika penulis memberikan cerita Nayla yang malah suka berhubungan intim dengan teman sesama wanitanya. Beda banget. Imajinatif. Kejam. Tapi asli. Ya emang begitu keadaan orang Indonesia jaman sekarang.

Walaupun ceritanya memang sesuai dengan keadaan yang terjadi di sekitar saya, penulis tetap menggunakan gaya yang imajinatif. Penulis menggambarkan suatu keadaan dengan beragam hal. Dan itu yang bikin saya suka dengan buku yang berisi sebelas cerita pendek yang sebelumnya telah dimuat di berbagai media cetak.

Sebagai pembuka, pembaca disuguhkan dengan cerita pendek berjudul ‘Mereka Bilang, Saya Monyet!’. Jadi, sebenarnya saya agak susah menangkap maksud penulis yang menggambarkan manusia sebagai sosok yang berkepala binatang, berekor, dan berkaki empat. Semua manusia digambarkan seperti itu kecuali satu orang. Jadi, apa sih yang ingin disampaikan oleh penulis dengan menggambarkan manusia dengan perwujudan seperti itu? Kalau menurut saya, manusia yang berkepala binatang, berekor dan berkaki empat menggambarkan watak manusia jaman sekarang yang—sedihnya—munafik (I feel bad to say that word). Manusia yang berkepala binatang itu merupakan gambaran dari orang-orang yang ‘palsu’, mereka berpakaian rapi, bersikap layaknya orang terhormat, padahal sifat mereka yang sebenarnya seburuk binatang. Contohnya adalah lelaki berkepala buaya berekor kalajengking yang ditemui oleh tokoh manusia sungguhan sedang berasyik-masyuk dengan wanita berkepala ular di toilet. Si lelaki digambarkan sebagai manusia berkepala buaya karena kelakuannya yang cabul, menyesuaikan dengan anggapan orang-orang bahwa lelaki playboy adalah lelaki buaya. Sedangkan si wanita digambarkan sebagai manusia berkepala ular, karena setelah tertangkap basah si wanita berkepala ular malah bermesraan dengan lelaki berkepala buaya lainnya, nah digambarkan berkepala ular karena mungkin ia selalu memutar balikkan fakta, ia merupakan penipu ulung, penghasut, apapun agar keinginannya tercapai. Lalu, bagaiman dengan satu-satunya orang yang digambarkan sebagai manusia yang sebenarnya, berkepala seperti manusia, berkaki dua, tidak berekor, berperasaan, dan berakal pula.Menurut saya, penulis ingin menyampaikan bahwa manusia yang sesungguhnya adalah manusia yang berani jujur dalam setiap tindakan dan ucapannya, dan itu digambarkan dengan si manusia beneran yang dengan berani mengentakkan kaki, bergoyang, bahkan menyanyikan lagu yang kencang. Dan walaupun beberapa penontonnya nampak menikmati aksinya, tapi mereka tidak ingin mengakui, which is semakin menggambarkan betapa munafiknya para manusia berkepala binatang itu. Judulnya saja sebenarnya sudah saya sukai, menggunakan tanda seru (!) di akhir kalimat seakan menunjukkan bahwa tokoh manusia nggak terima dikatakan sebagai seekor monyet, ia bahkan lebih nggak mengerti mana yang lebih monyet, apakah benar dia yang berjingkrak-jingkrak sesuka hatinya, ataukah orang-orang yang berdandan necis tapi suka menipu sana-sini.

Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala Serigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum.

Di depan umum ia hanyalah wanita berkepala anjing dan berbuntut babi yang kerap menyembunyikan buntutnya di kedua belah paha singanya. Di depan umum ia hanya penggemar orange juice dan tidak merokok seperti saya. Tapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac dan menyerepet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah.(Mereka Bilang, Saya Monyet! Hal. 7)

Beberapa ceritanya berkaitan dengan anak-anak yang memiliki orang tua yang nggak bener. Seperti di cerpen ‘Lintah’, ‘Melukis Jendela’, dan ‘Namanya,...’. Di cerpen ‘Lintah’ dan ‘Melukis Jendela’, penulis lagi-lagi menggunakan gaya bercerita yang imajinatif tapi yang nggak terlalu berbelit-belit sehingga pembaca lebih mudah menangkap maksud dari isi cerita. Di cerpen ‘Namanya,...’ kita kehilangan cerita imajinatif yang digunakan penulis di cerpen lainnya, pembaca hanya perlu membaca cerita sampai selesai untuk mengerti jalan cerita dan memahaminya. Kesamaan dari ketiga cerpen tersebut yaitu, ketiganya diceritakan melalui sudut pandang seorang anak yang memiliki orang tua yang nggak bener, yang memiliki kekasih bagaikan seekor lintah, atau yang memiliki kekasih lagi sampai anaknya terlupakan, atau malah yang ibunya menjadi seorang pelacur demi menopang hidupnya dan anaknya. Semuanya diceritakan melalui sudut pandang si anak, dan mereka semua seakan-akan berusaha memberitahu pembaca betapa menderitanya mereka dengan perlakuan melenceng orang tua mereka. Dalam cerpen ‘Lintah’, si anak menunjukkan betapa bencinya ia dengan si lintah hingga si anak malah membenci ibunya karena ibunya terlalu mencintai si lintah. Si anak jijik dengan lintah yang selalu mengisap darah ibunya dan si anak lebih membenci lintah ketika si lintah berubah menjadi ular-ular kecil dan mulai menggerayangi tubuhnya. Sedangkan di cerita ‘Melukis Jendela’, tokoh Mayra menceritakan bahwa ayahnya yang memiliki kekasih baru mulai melupakan Mayra. Mayra mulai melukis jendela agar bisa merasa terbebas dari kondisinya yang mulai dilupakan ayahnya.

Beberapa cerpen yang menggunakan bahasa yang imajinatif, susah saya tangkap maksudnya, seperti dalam cerpen berjudul ‘Asmoro’, ada tokoh yang bernama Adjani yang terus berlari lalu ada tokoh Asmoro yang tidak bisa berhenti mengetik, tapi sepertinya kedua tokoh tersebut saling mengenal. Kalau tidak membaca sekapur sirih yang dituliskan oleh bapak puisi, tentu sampai sekarang saya masih merasa jengah dengan cerita tersebut. Beberapa cerita yang menggunakan bahasa yang imajinatif, yang nggak menggunakan perumpamaan apapun, menurut saya juga ada yang sangat menarik, seperti dalam cerita ‘SMS’, dan ‘Waktu Nayla’. Saya suka dengan cerita ‘SMS’, suka banget dengan plot twist nya.

Yang bikin saya jatuh hati dengan tulisan penulis adalah bahwa penulis menceritakan sebuah fiksi yang berdasarkan realita yang ada. Jadi apa yang terjadi di lingkungan sekitar, kondisi yang sebenarnya, seburuk apapun itu, sekejam apapun itu, penulis berani menceritakannya. Berbeda dengan penulis kebanyakan yang menceritakan roman yang indah-indah dengan percakapan yang hiperbola, saya takut ketika masyarakat terlalu sering dicekoki oleh hal yang indah-indah, masyarakat akan menganggap bahwa semua hal adalah hal yang mudah untuk dilalui, bahwa mereka nantinya akan menjumpai hal indah dalam waktu yang singkat dengan jalan yang mudah. Masyarakat perlu membaca lebih banyak cerita yang benar-benar menunjukkan keadaan lingkungan yang sebenarnya, dengan harapan bahwa masyarakat mengerti bahwa untuk bertahan hidup di era sekarang itu susah dan mereka bisa menjadi lebih optimis.

Buku ini membuat saya menilai bahwa penulis adalah orang yang lugas. Dan kasar. Tapi setidaknya ia jujur. Apa yang sering orang-orang katakan, sekasar apapun kata-kata itu, penulis nggak segan untuk menuangkannya dalam percakapan di ceritanya.

Dalam berbahasa, Djenar menunjukkan kepiawaianya yang kuat pada kelugasan berucap. Bahasanya kuat dan padat. Itulah kecenderungannya. Ia tidak menyia-nyiakan kata-kata untuk segera secara jitu menyampaikan ihwal atau peristiwa. (Sekapur Sirih Sekadar Djenar. Hal. 132)

Oke, cukup sekian omong kosong saya yang kedengaran sangat sok tahu.

No comments:

Post a Comment