Thursday 25 June 2015

Bumi Manusia-Pramoedya Ananta Toer

4240990_origBumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Editor: Astuti Ananta Toer

Tahun terbit: 1980

Tebal: 536 halaman

ISBN: 9789799731232

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp 135.000

Rating: 5/5

Minke adalah seorang pemuda cerdas yang merantau ke Surabaya, ia meninggalkan keraton ayahnya agar bisa bersekolah di sekolah Belanda H.B.S. Ia tumbuh di lingkungan orang-orang Belanda, karena keluarganya yang merupakan seorang priyayi, ditambah lagi ia merupakan siswa yang pintar, ia dengan mudah diterima oleh orang Belanda di sekelilingnya dan memiliki banyak teman dari negara yang sekarang sedang menguasai tanah airnya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah megah di daerah Wonokromo, rumah yang juga terdapat perusahaan pertanian di dekatnya itu milik seorang hartawan Belanda Herman Mellema. Tetapi orang-orang lebih banyak membicarakan istrinya yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh, sang nyai lah yang memiliki andil besar dalam memajukan perusahaan itu, ia cantik lagi pintar. Dan juga Annelies, putri sang nyai dan hartawan, yang cantik jelita yang mampu membuat Minke jatuh cinta dalam sekali pandang. Tetapi, kemegahan dan kemakmuran yang dialami oleh sang nyai tidak luput dari masalah yang tak kunjung padam. Ia berjuang sekuat tenaga melawan kekuasaan bangsa Belanda, ia yang hanya seorang pribumi, tak bersekolah, dan selalu lemah di mata hukum.

DSC_0013

Kalau yang di sebelah kusir itu tokoh Minke, kenapa ia mirip sekali dengan Budi Utomo, yah. Dan kenapa wanita berkonde itu mirip R.A. Kartini? Apa itu Nyai Ontosoroh?

Alhamdulillah, yah, saya—akhirnya—diberikan kesempatan buat membaca buku ini setelah banyak banget orang yang bilang bahwa karya penulis besar kita yang satu ini sangat brilian dan menyentuh. Buku yang ini sepertinya sukses membuat orang mengagumi sosok sang penulis, walaupun orang-orang hanya membaca karyanya yang satu ini. Berhubung saya belum pernah membaca karya dari penulis ini (oke, saya merasa hina) jadilah saya penasaran dengan cerita penulis ini. Waktu ngerti ada orang baik yang bersedia meminjamkan buku, saya jadinya senenga banget, iwalaupun enggak memiliki buku ini, walaupun cuma membaca milik orang lain.

Hal pertama yang saya sukai dari cerita ini adalah latarnya yang mengambil tempat di Surabaya. Apalagi gambarannya Soerabaja Tempo Doeloe banget, saya suka dengan cerita mengenai tempat atau wilayah yang kuno-kuno, Wonokromo yang sekarang menjadi tempat sentra pedagang kaki lima, dengan stasiun kereta api dan tempat pangkalan angkot, sekarang selalu rame nggak jarang juga selalu macet, digambarkan dulunya adalah sebuah perusahaan pertanian. Wonokromo adalah wilayah letak perusahaan pertanian milik Nyai Ontosoroh dan di sana pula rumah megahnya berdiri megah dan selalu dikagumi orang-orang. Saya jadi membayangkan Wonokromo yang sekarang ramainya selalu bikin jengkel dulunya adalah sebuah wilayah dengan ladang-ladang, tempat menanam palawija dan padi, tempat peternakan, wilayah yang benar-benar tertutup oleh tanah subur yang empuk dengan pohon dan tanaman di sana-sini, hanya dilalui kuda atau paling banter bendi atau andong. Dan saya suka sekali dengan penggambaran itu.

Ada beberapa hal lagi yang membuat saya jatuh hati pada buku ini, saya suka dengan ceritanya, tokoh utamanya, pesan yang saya tangkap, dan tentu saja filosofi dari buku ini.

Setahu saya, buku ini ditulis ketika penulis diasingkan ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Ia diasingkan hanya karena berkomunikasi dengan masyarakat Tionghoa Indonesia, sehingga pemerintah mengira bahwa penulis adalah seseorang yang pro-komunis. Nah, di saat masa pengasingan di Pulau Buru inilah, penulis menghasilkan Tetralogi Pulau Buru padahal ia telah dilarang untuk menulis. Tetralogi Pulau Buru sendiri awalnya diceritakan secara lisan, baru pada tahun 1975 buku ini hadir dalam bentuk tulisan. Jadi, apa yang saya sukai dari lahirnya buku ini? Tentu saja karena kenyataan bahwa penulis masih bisa menghasilkan sebuah karya yang brilian—apalagi memenangkan banyak penghargaan—ketika ia diperlakukan secara tidak adil. Kenyataan bahwa ia diasingkan tanpa proses pengadilan karena tuduhan yang tidak kuat dan dilarang untuk menulis satu karya pun, rasanya tak membuat penulis putus asa dalam menghasilkan sebuah masterpiece. Di tengah masa penahanannya, beliau justru memberikan kepada Indonesia bahkan dunia sebuah karya yang sangat menyentuh.

Mungkin kisah si Minke ini sesungguhnya merupakan sebuah refleksi diri dari penulis sendiri. Walaupun sedikit memaksa, rasanya saya bisa melihat ada keterkaitan antara penulis dengan tokoh Minke. Keduanya, sama-sama diperlakukan dengan tidak adil, hak-haknya dirampas, harta mereka yang paling berharga diambil, dan keduanya sama-sama berjuang untuk melawan ketak-adilan itu. Penulis diasingkan karena ia dituduh sebagai komunis, sedang Minke dengan segala sifat pribuminya kerap dipandang sebelah mata. Penulis dilarang untuk menulis, kebebasannya dalam menghasilkan sebuah karya diambil, sedangkan Minke harus rela kehilangan istrinya. Minke terus berjuang melawan dan menentang hukum Belanda yang dirasanya tak adil, sedang penulis melawan dengan terus menghasilkan karya. Barangkali, dengan menulis, penulis bisa merasa bebas, bisa menggambarkan suasana, sosok, dan percakapan yang diinginkannya. Barangkali, penulis menganggap bahwa menulis itu membebaskan.

“Cerita, Nyo,  selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biar pun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita ini dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kira katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” (hal. 164-165)

Ceritanya, di samping menonjolkan sisi humanis rakyat pribumi yang tertindas, rupanya juga sangat romatis dan manis, juga melankolis. Minke dan Nyai Ontosoroh saya rasa sudah mampu merepresentasikan sisi humanis seorang pribumi. Hubungan keduanya dengan orang tua masing-masing. Sifat pendendam yang ditimbun, tak bisa dilupakan tapi tak juga memaafkan. Sifat pribumi Hindia Belanda yang gigih, ulet, dan pantang menyerah sekalipun mengerti bahwa mereka sudah kalah. Hubungan antara Minke dan Annelies memang romantis, tapi rasanya masih kalah romantis dengan pasangan lainnya, seperti misalnya hubungan Minke dengan ibunya, bukan, bukan romantis yang seperti itu, tapi rasanya ada cinta dan ikatan yang sangat kuat di antara mereka berdua. Minke yang merupakan anak bungsu mendapatkan kasih sayang lebih dari ibunya, ditambah lagi hubungan Minke dan ayahnya bisa dibilang sangat tidak baik. Hubungan antara Jean Marais (sahabat Minke dari Perancis) dengan anaknya juga memiliki kisah cinta ayah-anak yang manis menurut saya, hanya saja ada cerita menyedihkan dibalik hubungan tersebut.

Gara-gara cerita cinta Minke dengan Annelies, saya beranggapan bahwa walaupun novel ini dibuat pada tahun 1970-an dan berlatar tahun 1880-an, cerita ini memiliki kisah yang sangat modern, walaupun saya melihatnya hanya melalui cerita tentang Minke dan Annelies yang sudah melakukan hubungan intim, sih. Jadi, begini, menurut saya pasangan yang tengah dimabuk cinta tentulah memiliki perasaan yang menggebu-gebu, saya rasa saya nggak akan kaget kalo menemukan pasangan yang sedang dimabuk cinta banget-banget itu langsung ML, lumrah sih, apalagi di jaman sekarang. Dan saya rasa, fenomena wajar itu lah yang jarang saya temukan di novel-novel roman jaman sekarang, apalagi yang ditulis oleh penulis Indonesia. Nah, justru di novel tua inilah, dengan latar belakang yang lebih tua lagi, saya menemukan kelumrahan itu.

Ketimbang tokoh Minke, menurut saya Nyai Ontosoroh lah sosok yang menurut saya lebih gigih dalam berjuang. Kalau saya lihat, sih, tokoh Minke dalam buku ini hanya bersifat sebagai pengantar atau narator, sedangkan sifat pribumi yang ulet dan gigih dan pantang menyerah, menurut saya, dihadirkan penulis melalui sosok sang Nyai. Sejak ‘dijual’ oleh orang tuanya kepada seorang hartawan, Nyai berjuang mati-matian—seringnya hanya sendirian—untuk menopang hidupnya dan keluarganya. Nyai berjuang melawan buta hurufnya, Nyai pula yang bekerja tanpa kenal lelah dalam mengembangkan perusahaan pertanian milik suaminya, ketika hukum Belanda berusaha merampas semua milik Nyai yang berharga termasuk putri kesayangannya, lagi-lagi Nyai lah yang berjuang keras melawan mereka.Seandainya Nyai Ontosoroh adalah sosok nyata, saya rasa tiap tahunnya kita akan memperingati hari ulang tahunnya. Kita akan mengingat kembali bagaimana gigihnya seorang pribumi, seorang wanita asli Sidoarjo yang tidak kenal takut dan pantang menyerah, seorang pejuang juga pendidik juga pengusaha, yang akan melawan apapun yang menghalangi jalan menuju kebahagiannya.

“Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah.” (hal. 499)

Saya rasa, hal utama yang ingin disampaikan oleh penulis melalui buku yang pernah dilarang oleh Jaksa Agung pada tahun 1980 ini adalah, bahwa menjadi seorang pribumi—apalagi ketika negara dikuasai oleh negara lain—itu sangat sulit, tapi Minke, juga Nyai Ontosoroh, tidak peduli, mereka tetap berjuang melawan Belanda. Walaupun tidak dengan jalan perang, mereka berjuang melawan hukum, hanya dibantu oleh publikasi yang dipasang di berbagai media, hasilnya mereka mendapat banyak simpati dan dukungan, juga bantuan, tidak hanya dari sesama pribumi tapi beberapa orang Belanda, mereka mengkritik keras pihak Belanda yang menghukum Nyai, tapi tetap saja mereka kalah, tentu saja. Tapi, mereka tetap berjuang, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

“Kita kalah, Ma,” bisikku

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (hal. 534-535)

Sekarang hidup pribumi lebih mudah, jauh lebih mudah, apakah itu alasan untuk bersantai? Untuk tidak lagi berjuang?

Saya menyadari ada banyak kesalahan pengejaan yang ada di buku ini. Dan sejujurnya, saya nggak terlalu mengurusi hal itu, seringnya sih kesalahan penulisan seperti itu mengganggu saya ketika membaca. Berhubung saya terlalu fokus pada cerita Minke, saya terlalu terpesona dengan karya penulis yang brilian, saya jadi mengesampingkan kesalahan penulisan itu. Saya sadar, bahwa seorang maestro besar pun juga tidak luput dari kesalahan. Seorang sastrawan tidak harus benar-benar mengikuti aturan penulisan Bahasa Indonesia agar karyanya dapat dikatakan baik, asalkan ia mampu menghasilkan karya yang menggugah bahkan yang bersifat menggugat sekalipun, karyanya pasti tak lekang oleh zaman.

No comments:

Post a Comment