Tuesday 16 December 2014

The Lord of The Ring: The Two Towers-J.R.R. Tolkien

Rombongan pembawa cincin tetap meneruskan perjalanan. Berangkat dari Rivendell, melalui Tambang Moria, menuju Gunung Maut di Mordor demi menghancurkan cincin kegelapan. Di Moria mereka harus kehilangan Gandalf si Penyihir. Setelah melalui Lorien, negeri para peri, dan tiba di Rauros rombongan tersebut masih harus berhadapan dengan Orc-Orc yang memburu si pembawa cincin, hingga akhirnya rombongan tersebut terpecah lagi. Boromir tewas karena menghadapi begitu banyak Orc sendirian, Frodo dan Sam memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Mordor sendirian, Merry dan Pippin malah dibawa Orc-Orc yang kabur, sementara Aragorn, Gimli, dan Legolas meneruskan perjalanan ke Rohan ke tempat di mana perang besar akan segera pecah. Dalam keadaan terpencar-pencar anggota rombongan tersebut menemukan banyak sekali petualangan. Aragorn, Gimli, dan Legolas menghadapi perang di Helm’s Deep melawan Pasukan Saruman dari Isengard. Merry dan Pippin yang ditawan oleh pasukan Orc malah tersesat di Hutan Fangorn dan bertemu dengan makhluk kuno yang hanya mereka dengar melalui sajak dan lagu. Dan Frodo malah dikuntit oleh sesuatu.

DSC_0090

Fyuuh, butuh waktu lumayan lama juga untuk menyelesaikan buku ini, dan butuh waktu lama juga untuk akhirnya memutuskan membaca buku ini. Bukunya (yang versi terjemahan) ukurannya agak berbeda dengan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit yang menerbitkan serial ini. Ukuran buku ini lebih besar dari buku lainnya, dan tulisannya (dibandingkan dengan buku lainnya)—sumpah—rapat sekali kayaknya sih nggak ada spasinya dan ukuran tulisannya juga sepertinya lebih kecil. Jadi dengan tebal buku yang 400 sekian halaman,yang termasuk tebal yang standar menurut saya, buku ini termasuk buku yang melelahkan untuk dibaca. Sepertinya saya akan lebih terima kalo buku ini tebalnya seribu halaman asalkan tulisannya nggak rapat-rapat dan ukuran tulisannya lebih besar.

Oke, mari kita bahas ceritanya. But wait, rasanya nggak enak deh kalau saya bahas buku tapi nggak nyinggung dikit filmnya yang entahlah udah dapat berapa penghargaan. Kolosal banget nggak sih, filmnya? Dan ya saya suka banget sama triloginya. Ceritanya epik banget, kolosal, sangat heroik, dan masalah persahabatannya itulah yang bikin terharu. Di film, Gimli dan Legolas rasanya selalu bersaing, tapi mereka tetap saling melindungi, menyayangi, dan menyemangati. Dan bagian perangnya? Epik banget nggak, sih? Rasanya lamaaa banget dan nggak selesai-selesai, tapi justru saya bisa lihat drama dan perjuangan dari tiap-tiap tokoh yang terlibat. Dan sungguh itu epik banget menurut saya. Dan jelas pemeran tokoh Gollum, Andy Serkis, yang aktingnya niat banget, sumpah saya kagum sama Andy Serkis lewat perannya yang ini. Dan ya, semuanya nggak lepas dari yang namanya special effect. Tapi tetep aja sih, filmnya keren banget.

Nah, kalau versi filmnya lebih memancarkan kesan yang kolosal, yang epik, yang sangat menunjukkan perjuangan dan sisi heroik para tokoh, menurut saya versi bukunya memiliki kesan yang sangat berbeda bagi saya. Menurut saya, buku ini lebih memancarkan kesan ‘dongeng’nya, kesan yang menunjukkan bahwa cerita ini adalah sebuah legenda. Membaca buku ini rasanya seperti mendengarkan seseorang—yang sudah uzur, tentunya—membacakan dongeng untuk tidur. Dan saya rasanya bener-bener kayak anak kecil yang harus mendengarkan dongeng itu baik-baik, dan nggak mau kelewatan sepenggal kata pun. Saya nggak bosan dengan buku ini, sebaliknya saya suka banget sama buku ini, ceritanya berjalan oh-so smooth tapi tetap punya karakter yang kuat sekali.

Oke, jadi versi film lebih mengutamakan kesan heroik dan versi bukunya lebih menonjolkan kesan heroik dari segi cerita dan karakter tiap tokoh. Contohnya yang kelihatan banget sih adalah di adegan perang. Kalo di film, adegan perang yang ditampilkan rasanya lamaaa sekali dan nggak selesai-selasai, ujung-ujungnya adalah penonton diberikan sebuah adegan kejutan. Sedangkan di buku, bagian perang rasanya diceritakan dalam satu alinea saja sudah selesai, efek kejutnya pun sangat lembut. Saya suka sekali dengan ceritanya yang sistematis dan runut banget, penulis memberikan deskripsi yang teramat detil mengenai latar dan suasana cerita, tapi tetep nggak bikin saya bosan. Karena rasanya sembari bercerita mengenai detailnya, ceritanya terus jalan, terus mengalir, rasanya si tokoh terus berjalan. Percakapan antar tokoh pun juga berlangsung sangat menarik, kadang-kadang malah sangat emosional dan bisa banget menarik simpati pembaca, terutama kalau sudah waktunya karakter Gollum yang berbicara, rasanya saya ikut iba ketika Frodo mengatakan bahwa ia adalah makhluk malang dan gaya bicara si Gollum yang kasar—menunjukkan ia nggak punya kehidupan sosial—dan juga kadang sangat merendah.

Film yang diangkat dari buku pasti lah berbeda banget. Begitu juga film yang diangkat dari buku ini. Rasanya ada banyak banget hal yang dihilangkan dan dibelokkan, tapi entahlah, kayaknya si sutradara cukup cerdik dalam menggarap filmnya sehingga saya sih terima-terima aja dengan hasil akhir filmnya itu.

Well, rasanya saya siap aja deh untuk membaca seri pamungkas dari trilogi ini.

No comments:

Post a Comment