Monday 29 September 2014

Hannibal-Thomas Harris

Delapan tahun sejak Dr. Hannibal Lecter dinyatakan hilang, fotonya disebar tidak hanya di Amerika Serikat tapi di seluruh negara di dunia sebagai buronan yang paling berbahaya. Delapan tahun setelah membunuh lima orang penjaga panjara di Memphis, tempat terakhir Dr. Lecter ditahan, ia akhirnya bebas berkeliaran dan menikmati udara luar yang sudah lama tidak ia rasakan.

Clarice Starling, agen khusus FBI, kembali ditugaskan untuk melacak dan menangkap si pembunuh berantai. Setelah terjungkal akibat penyergapan gagal terhadap pengedar narkoba, dan membunuh pemimpin para pengedar tersebut, untuk membersihkan nama baiknya Starling pun menerima misi yang dapat dianggap sulit dan berbahaya tersebut. Starling tidak sendirian, ia bekerja sama dengan seorang pengusaha ternak yang mengalami cacat fisik super parah akibat perbuatan Dr. Lecter. Pengusaha ternak tersebut juga menyediakan hadiah berupa uang dalam jumlah yang sangat besar kepada siapapun yang dapat menangkap dan membawa Dr. Lecter dalam keadaan hidup kepada si pengusaha. Baru-baru ini, si pengusaha mendapatkan kiriman berupa foto rontgen sebuah bahu milik seseorang yang diduga milik Dr. Hannibal Lecter.

Sementara itu di Florence, Palazzo Capponi mendapatkan kurator baru, Dr. Fell. Kurator sebelumnya menghilang secara misterius, dan Dr. Fell dianggap sebagai kurator yang sangat kompeten, bahasa italia nya sangat lancar dan ia memiliki keahlian yang luar biasa hebat dalam menerjemahkan naskah sastra yang sudah sangat tua. Dr. Fell memiliki lima jari dan sebuah luka yang memanjang dari pangkal jari di tangan kirinya, sangat berbeda dengan Dr. Lecter yang memiliki enam jari di tangan kirinya, atau mungkinkah Dr. Fell adalah Dr. Lecter yang telah mengoperasi tangan kirinya dan mengganti namanya. Setidaknya, begitulah anggapan seorang polisi korup dari keturunan Pazzi. Commendatore Pazzi, seorang polisi yang korup, menyadari fakta tersebut dan mengetahui bahwa ia bisa saja mendapatkan hadiah yang melimpah ruah dengan menjual Dr. Lecter ke pengusaha ternak cacat tersebut.

Ketiga orang, dengan kepentingannya masing-masing, itu pun berlomba untuk menangkap Dr. Lecter. Tetapi selalu ada nyawa yang melayang dalam usaha menghentikan si dokter gila itu, dan hanya satu orang beruntung yang dapat bertahan cukup lama.

Ada untungnya juga membeli serial dalam bentuk box set nya langsung, jadi kapanpun mau lanjut baca tinggal mengambil seri berikutnya, tanpa harus penasaran ataupun kebingungan (masalah harga bukunya, mungkin). Oke, jadi nggak lama setelah saya menyelesaikan buku kedua dari serial Hannibal Lecter, saya lanjutkan ke buku ketiganya. Buku keduanya bisa dibilang kece abis, semua adegan action, pengejaran, dan aksi detektifnya benar-benar bikin—apa ya, kata yang benar untuk menggambarkannya—kagum—mungkin. Nah, karena nggak tahan dan penasaran dengan aksi-aksi Dr. Hannibal yang kabur, saya pun lanjut ke buku selanjutnya.

Kisahnya dibuka dengan aksi penyergapan yang benar-benar gagal. Gagal dalam arti penyergapan yang dilakukan oleh Starling maupun dalam arti penceritaan nya. Menurut saya gagal, karena saya sih nggak lihat kaitan dan kepentingannya bab penyergapan ini dengan cerita utamanya. Rasanya kisah penyergapan ini—apalagi yang gagal—benar-benar nggak pas buat dijadikan pembuka, karena setelah itu masalah penyergapan itu nggak dibahas sama sekali. Lalu kisah pengantar dilanjutkan dengan adegan yang berbau politik, hukum, dan hal-hal tentang penegakan hukum lainnya. Secara keseluruhan, kisah pembukanya benar-benar gagal, membosankan, dan bikin ngantuk. Rasanya saya butuh waktu sedikit lebih lama untuk melewati kisah pengantarnya.

Alurnya mulai meningkat menjadi lebih menegangkan ketika sampai di Bab Florence. Di bab ini mulai muncul keterlibatannya si dokter kanibal ini. Kalau dibandingkan dengan adegan pembunuhan yang terjadi di buku kedua, rasanya kisah di buku kedua nggak ada apa-apanya. Adegan pembunuhan yang terjadi di buku ketiga benar-benar brutal dan sadis, baik itu yang dilakukan oleh Dr. Lecter ataupun oleh tokoh lain atau karena sebab lainnya.

Nah, mari kita bahas tabiat si tokoh utama. Pembunuhan yang dilakukan oleh si tokoh utama, si dokter gila, ini sebenarnya hanya memakan dua korban. Satu korban tidak diceritakan dengan jelas detil pembunuhannya, nah saya kagum dengan tokoh naas yang kisah pembunuhannya diceritakan dengan rinci. Pembunuhan yang dilakukan oleh Dr. Lecter terhadap si tokoh naas ini rasanya benar-benar mulus, rapi seperti benar-benar direncanakan dengan matang, rasanya seperti Dr. Lecter mengatur segalanya dan benar-benar mengarahkan si tokoh naas ke dalam perangkapnya. Jenius. Banget. Di buku ini juga, rasanya saya lebih memahami sifat melenceng Dr. Lecter, karena di buku ini dibahas cukup banyak mengenai sejarah dan latar belakang Dr. Lecter.

Dr. Lecter mungkin orang yang berbahaya, pembunuh yang sadis, dan mentalnya benar-benar melenceng jauh, tapi bagi saya Dr. Lecter merupakan pria yang sungguh menawan. Ia memiliki cita rasa yang sangat berkelas, dan ia benar-benar jenius. Sikapnya yang tenang dan dingin jadi nilai tambah, dan menurut saya kalo mengesampingkan wajah dan perilaku brutalnya, ia bisa jadi digilai oleh wanita manapun. Dr. Lecter sangat keceeeeee!!!

Orang yang kebiasaan baca novel brutal macam ini mungkin nggak akan bisa menyelesaikan novel ini, karena adegan brutal akan muncul mulai dari bab dua sampai selesai. Tapi tenanglah, justru adegan brutal itu lah yang membuat saya menggemari novel ini, dan justru adegan brutal itu yang membuat cerita ini lebih seru, yang membuat saya tidak mau berhenti membaca. Saya belum sempat lihat filmnya, tapi dari membaca buku ini rasanya perkara mudah memvisualisasikan setiap adegan, ya termasuk adegan paling keji dalam buku. Kalo di remake, mungkin J-Law cocok menjadi Clarice Starling.

DSC_0001

Sebenarnnya aura horor yang jadi nuansa utama dari buku ini sudah terlihat dari cover bukunya. Gambarnya aja sebuah menara yang dipotret ketika bulan purnama, dan kalau pembaca jeli ada orang berkemeja dan berdasi yang tergantung di salah satu jendela menara tersebut. Well, benar-benar peringatan buat orang yang nggak suka buku horor macam gini.

Kalau saja bukan karena kesalahan kecil—tapi banyak ditemukan—mungkin saya akan menilai buku ini sebagai buku yang sempurna. Kesalahannya lagi-lagi terletak pada terjemahan, rasanya ada kata-kata yang tidak pas sekali ketika dibaca. Kesalahan pengetikan seperti menghilangkan satu huruf dalam suatu kata, atau terbalik-balik susunan hurufnya, banyak ditemukan dalam buku ini. Sangat mengganggu dan membuat tidak nyaman.

Oke, walaupun ceritanya tidak menggantung, masih ada seri terakhir yang harus dibaca oleh penggemar berat Dr. Lecter.

No comments:

Post a Comment