Tuesday 1 July 2014

The Girl Who Played with Fire–Stieg Larsson

Satu tahun setelah menyelesaikan kasus di Hedestad, Lisbeth Salander memutuskan untuk menggunakan uang curiannya bepergian ke luar negeri. Selama setahun penuh, Lisbeth menghabiskan waktunya singgah ke negara manapun yang ia inginkan, tanpa memberi kabar pada siapapun, pada bos pemilik Milton Security tempatnya bekerja, bahkan pada rekan kerjanya di Hedestad, Mikael Blomkvist. Lisbeth benar-benar ingin menggunakan satu tahun untuk dirinya sendiri dan tanpa gangguan dari pihak manapun.

Sedangkan Blomkvist, setelah menyelesaikan kasus Hedestad bersama Lisbeth dan menggemparkan Swedia dengan mengungkap kebusukan Wenerström, kembali bekerja di Millenium dan menerbitkan majalah setiap bulannya. Dan lagi-lagi seseorang meminta pertolongan, bukan hanya kepada Blomkvist tapi kepada pihak Millenium. Seorang wartawan bernama Dag Svensson hendak menerbitkan bukunya yang mengungkapkan perdagangan wanita secara ilegal di Swedia. Dag mengaku bahwa terdapat banyak pihak dari Swedia yang terlibat dalam perdagangan wanita tersebut, sehingga Dag mengklaim bahwa bukunya dapat membuat gempar Swedia seperti yang dilakukan Blomkvist terhadap Wenerström. Kepada Millenium, Dag meminta agar bukunya dicetak dan diterbitkan oleh Millenium. Erika, pemimpin Millenium, menganggap bahwa topik yang diangkat oleh Dag sangat menarik dan dapat dijadikan sebagai topik untuk majalah mereka edisi mendatang.

Di tengah proses penyelesaian buku, Millenium malah dikejutkan dengan berita tewasnya Dag dan kekasihnya di apartemen mereka. Mereka tewas ditembak dan satu-satunya petunjuk yang dapat digunakan adalah pistol yang berada di lantai basement yang diduga digunakan oleh pelaku. Pistol tersebut segera diketahui pemiliknya, yaitu Nils Bjurman, anggota klub penembak sekaligus pengacara dan wali Lisbeth Salander. Pihak kepolisian Swedia yang segera mendatangi apartemen Bjurman malah menemukannya tewas ditembak di kamarnya. Diduga dilakukan dengan pistol yang sama dan oleh pelaku yang sama. Dan dari pistol yang ditemukan polisi pula ditemukan sidik jari seseorang, sidik jari Lisbeth Salander. Polisi akhirnya memburu Lisbeth, tetapi Lisbeth tak kunjung ditemukan. Sementara itu, Blomkvist malah menduga bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah pihak yang akan diungkapkan dalam buku Dag. Blomkvist yang tidak percaya jika Lisbeth pembunuhnya melakukan investigasi sendiri berdasarkan nama-nama yang disebutkan Dag dalam buku yang akan diterbitkan.

Wow!! Lagi-lagi kisah detektif yang epik banget dari Blomkvist dan aksi-aksi heboh yang bikin decak kagum oleh Lisbeth Salander. Lagi-lagi saya harus terkesima dengan kisah yang diangkat dalam buku ini, pertama kali mendengar tentang ‘Perdagangan wanita secara ilegal’ dan ‘pelacuran di bawah umur’ sejujurnya saya langsung tertarik, apalagi bahwa kasus tersebut melibatkan banyak pihak bahkan polisi, pejabat, dan aparat lainnya. Kisah klasik, sebenarnya. Lalu dari topik perdagangan wanita ini mulai merembet ke hal lainnya semacam pembunuhan, lalu kucing-kucingan, dan bagian yang paling seru adalah gimana semua tokoh yang ada di buku ini sebenernya saling berkaitan, dan bener-bener menyerupai mata rantai.

Sebenernya kalo secara garis besar sih, saya bisa menarik kesimpulan bahwa inti dari buku kedua ini sama dengan inti buku pertama, yaitu menemukan seseorang. Kalo di buku pertama kasusnya adalah menemukan orang yang hilangnya benar-benar secara misterius. Proses yang dilakukan dalam menemukan si orang hilang tersebut bisa dibilang sangat rumit, dan benar-benar butuh riset yang mendalam. Di buku kedua, sebenarnya pelaku yang dicari dan hendak ditemukan ini sudah diketahui, tokoh detektif hanya perlu menghampiri si pelaku di tempat persembunyiannya. Proses yang bikin cerita ini jadi panjang adalah menemukan kaitan antar tokoh dalam buku. Nah, bagi saya proses menemukan pelaku, motif, petunjuk, dan kaitan antar tokoh inilah yang bikin buku ini jadi lebih seru. Dari penemuan kunci-kunci itu juga sekaligus mendalami karakteristik tiap tokoh-tokoh kunci.

Oke, saya bilang begitu karena beberapa deskripsi yang menjelaskan mengenai set, motif, dan tokoh itu rasanya benar-benar dalam dan benar-benar bikin pembaca sangat emosional. And it’s true! Bukannya bermaksud lebay atau apa, sih, tapi ketika saya mengenai adegan pembunuhan mau nggak mau saya membayangkan betapa buruknya wajah korban ketika terbunuh, dan beneran saya jadi ikut ngeri. Semua detail yang diberikan oleh penulis benar-benar menggambarkan semuanya dengan jelas, dan nggak bikin bingung pembaca. Dari segi tokoh memang buku kedua memiliki lebih banyak tokoh daripada buku pertama, dan pembaca sebaiknya tidak perlu repot-repot menghafal semua tokoh, pembaca hanya perlu membaca terus hingga ceritanya tuntas. Dan tentang emosi yang ditimbulkan oleh cerita bener-bener saya rasakan ketika klimaks yang letaknya hampir di belakang banget. Klimaks dalam buku saya rasa benar-benar bikin tercengang, takjub, dan benar-benar nggak diduga, deh, jadi rasanya nggak masalah juga kalo harus baca berlembar-lembar dulu buat menemukan klimaks ini.

DSC_0499

Oke, jadi dari buku ini tiba-tiba pengen banget bahas salah seorang tokoh yang jelas jadi sorotan utama dari buku ini, the one and only, Lisbeth Salander. Semenjak saya baca buku ini, kalau ditanya ‘kalau kamu adalah karakter fiksi, kamu pengennya jadi apa?’ saya jadi ngerti kudu jawab apa. Walaupun di buku pertama udah digambarkan dengan jelas mengenai sosok Lisbeth, di buku kedua ini rasanya pembaca benar-benar diajak untuk lebih mendalami sosok Lisbeth secara emosional, psikolog, dan semuanya, deh. Jadi kenapa saya pengen menjadi sosok Lisbeth? Jelas lah semua itu timbul dari rasa iri, betapa pengennya saya hidup sebebas Lisbeth, betapa pengennya saya bisa mengendalikan seseorang yang kurang ajar, betapa pengennya saya menjadi seliar Lisbeth dan tidak memedulikan apa kata orang lain, dan ya bahkan iri dengan kehidupan dan orientasi seksualnya. Lisbeth bisa dibilang sebagai cewek yang bahagia—kalo dilihat dari hal-hal yang udah saya jelaskan—sekaligus cewek yang suram—dilihat dari betapa antisosialnya dia dan caranya berpenampilan. Lisbeth, walaupun dinilai sebagai cewek yang tidak kompeten, merupakan gadis yang istimewa, seorang hacker, memiliki ingatan fotografis, tangguh, masalah pertahanan diri tidak perlu diragukan, dan secara keseluruhan dia benar-benar keren! Rasanya benar-benar gemes ketika membaca Lisbeth diserang oleh banyak orang, lalu rasa kagum sekaligus iri itu timbul lagi ketika membaca bahwa Lisbeth menghajar orang-orang jahat itu.

Walaupun sorotan utamanya adalah Lisbeth, tetapi perhatian saya tetap tidak teralihkan dari kasus yang diangkat oleh buku ini. Diakhiri dengan kisah yang heroik dan sangat menggantung, pembaca benar-benar dipaksa untuk terus mengikuti kisah Lisbeth dan Blomkvist sampai seeri terakhir. Dan saya udah nggak sabar banget buat baca lanjutannya!!

No comments:

Post a Comment