Monday 12 May 2014

The Fault In Our Stars-John Green

Di usianya yang keenam belas, Hazel Grace harus berjuang mempertahankan hidupnya karena kanker tiroid yang telah menyebar ke paru-parunya. Di usianya yang ketiga belas, ia terpaksa meninggalkan sekolahnya untuk perawatan semenjak ia didiagnosis kanker tiroid stadium empat, beruntung Phalanxifor—semacam obat yang diciptakan untuk menekan pertumbuhan sel kanker tetapi malah gagal pada penderita kanker, tetapi malah bekerja khusus untuk Hazel saja—dapat menunjang hidupnya. Dengan bantuan phalanxifor dan selang-selang yang membeliti tubuhnya yang menyuplai oksigen untuk paru-parunya, Hazel tetap bertahan hidup selama enam belas tahun.

Sebagai penderita kanker, ibunya menyuruhnya bergabung dalam komunitas pendukung penderita kanker yang dihimpun oleh suatu gereja. Di sanalah Hazel bertemu dengan Isaac yang memiliki kanker di matanya, sehingga kedua matanya harus diambil. Lalu Patrick dengan kanker di testikelnya, yang menyebabkan testikelnya juga diangkat. Lalu Augustus Waters, cowok tinggi yang setahun lebih tua daripada Hazel, penderita osteosarkoma yang sudah kehilangan sebelah kakinya, dan dibantu dengan kaki palsu untuk beraktivitas.

Hazel jatuh cinta dengan Augustus—atau Gus, begitulah ia biasa dipanggil—karena ia tampan, dan begitu mengenalnya lebih jauh lagi, Gus memberikan Hazel lelucon-lelucon juga pemikiran-pemikiran yang sangat jujur tanpa rasa takut untuk menyinggung oran lain. Dan Gus jatuh cinta pada Hazel juga karena pemikirannya yang membuat Hazel seksi di mata Gus. Mereka saling jatuh cinta, saling berbagi buku yang mereka senangi, hingga merencanakan untuk pergi ke Belanda menemui pengarang favorit Hazel. Bersama Gus, Hazel pun mengalami saat-saat dan pengalaman baru yang tak terlupakan. Tapi, kesenangan yang dirasakan mereka terpaksa harus dikalahkan oleh kenyataan yang sudah menjadi bagian dari tubuh mereka masing-masing. Kanker yang bertahan di dalam tubuh mereka berdua memaksa keduanya agar mulai belajar merelakan satu sama lain.

Berbeda dari buku-buku kebanyakan yang tokoh utamanya penderita kanker, yang menceritakan perjuangan ekstra berat penderita tersebut untuk bertahan hidup dengan dibebani oleh kanker, buku ini lebih seperti buku-buku kebanyakan yang menceritakan mengenai rutinitas sehari-hari seorang gadis yang sedang puber, yang sedang menikmati indahnya jatuh cinta untuk pertama kali. Membaca buku ini sama seperti membaca diary seorang gadis biasa, yang sehat wal afiat, hanya saja gadis ini dililiti oleh selang-selang yang menghubungkan tabung oksigen dengan hidungnya. Ya, jadi buku ini nggak menunjukkan betapa beratnya perjuangan yang dilakukan oleh Hazel untuk bertahan hidup. Sebaliknya, buku ini seakan-akan hanya menceritakan aktivitas sehari-hari seorang gadis bernama Hazel yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan saya terkejut mendapati diri saya menyukai cerita Hazel dan Gus ini. 

Oke, mungkin sebenarnya dari situ lah pesan yang hendak disampaikan oleh penulis, bahwa penderita kanker umumnya sama aja dengan orang-orang sehat lainnya. Bahwa penderita kanker pun bisa melakukan rutinitas yang juga dilakukan oleh orang sehat lainnya, mereka sebenarnya nggak butuh belas kasihan orang lain, dan mereka pun bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang yang lebih sehat. Orang kanker pun bisa dengan bebas untuk merasakan jatuh cinta, dan mereka pun merasakan hal tersebut sama indahnya, sama alay-nya dengan orang yang nggak menderita kanker. Jadi Hazel, atau penulis melalui Hazel, ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa penderita kanker pun bisa beraktivitas sebaik orang pada umumnya, mereka nggak butuh belas kasihan yang justru lebih bikin emosi penderita.

DSC_0479

Jadi, diliat dari cover nya saya pikir novel ini sangat kekanakan. Well, setelah baca beberapa halaman, ceritanya kan tentang cewek berusia enam belas tahun yang akhirnya jatuh cinta, nih, saya rasa ceritanya pun bisa dibilang sangat kanak-kanak, oke bukan kanak-kanak balita atau bayi, tapi lebih seperti anak SMA. Melalui dialog antar tokoh, cerita ini bisa dibilang sangat lucu dan renyah banget. Ringan. Dan bener-bener kekanakan, kalau saya bilang. Bukan berarti saya nggak suka ceritanya, sebaliknya, saya malah suka dengan cerita yang disajikan. Menurut saya, ceritanya sangat sederhana, alurnya pun sederhana, konfliknya nggak banyak-banyak, jadi pembaca nggak perlu kebingungan dengan konflik yang banyak, apalagi bingung dengan yang namanya flashback, karena nggak ada flashback sama sekali dalam cerita ini dan kalaupun ada mungkin pembaca bisa langsung get along dengan cerita lanjutannya karena flashbacknya nggak seberapa penting, saya aja sampai lupa.

Jadi begitulah, ceritanya kekanakan, maksudnya sederhana sekali, tapi dalam hal mencampur adukkan emosi, saya rasa penulis ini juaranya deh. Walaupun menyajikan cerita yang sangat ringan dan sederhana, cerita ini juga mampu banget untuk membuat pembaca merasa tersentuh. Jadi, saya rasa pembaca tidak akan menangis karena merasa iba, tetapi malah tersentuh oleh kemanisan cinta yang terjadi pada kedua tokoh. Tetapi bagaimanapun juga perpisahan tetap hal menyedihkan, sih.

No comments:

Post a Comment