Saturday 5 April 2014

Mata yang Enak Dipandang–Ahmad Tohari

Mirta sudah bertahun-tahun menjadi pengemis. Ditambah dengan kondisinya yang buta, dibantu dengan Tarsa sebagai penuntunnya, Mirta berkeliling-keliling kota untuk mengemis sepeser uang. Mirta dengan keadaannya yang cukup memprihatinkan, bagaikan mendapatkan kesialan tambahan karena penuntunnya, Tarsa, merupakan anak kecil yang banyak menuntut. Pendapatan Mirta tentu saja tak selalu cukup bahkan untuk membeli makan bagi Mirta sendiri, ditambah Tarsa yang selalu meminta berbagai macam hal pada Mirta. Suatu hari, Tarsa mulai menuntut agar dibelikan es limun, Mirta yang mulai kesal tak langsung mengabulkan permintaan Tarsa, akibatnya Tarsa meninggalkan Mirta di tempat terbuka di bawah terik matahari sementara ia bermin yoyo bersama komplotannya.

Itulah sepenggal dari cerpen pertama yang berjudul ‘Mata yangEnak Dipandang’ yang menjadi judul dari novel yang berisi lima belas cerpen karya Ahmad Tohari. Judul bukunya bisa jadi sedikit mengecoh, judulnya seakan-akan menceritakan mengenai sepasang mata seseorang yang sangat memikat, lalu gambar cover juga menampilkan sepasang mata yang cukup menarik, tentulah saya berpikir bahwa buku ini menceritakan tentang seseorang yang jatuh cinta kepada pemilik mata yang enak dipandang.

DSC_0387

Salah besar, ternyata. ‘Mata yang Enak Dipandang’ merupakan judul cerpen yang menceritakan seorang pengemis buta dan penuntunnya yang penuntut yang berjuang untuk melalui hidup di kota besar yang keras dan melelahkan. Dengan kondisi mereka yang memprihatinkan, mereka mencari-cara orang dengan sepasang mata yang enak dipandang yang dapat memberi beberapa peser.

Ada empat belas cerpen lainnya yang menceritakan orang semacam Mirta dan Tarsa, bukan maksudnya ada empat belas cerpen lainnya yang juga menceritakan seorang pengemis buta dengan penuntun yang banyak maunya, maksudnya ada empat belas cerpen lainnya yang menceritakan mengenai orang ‘kecil’ yang biasa kita temui sehari-hari dengan berbagai pekerjaan dengan masalah-masalah pelik yang juga sering kita temui. Cerpen-cerpen yang dapat menarik simpati, rasa iba, dan—dalam kasus saya, sih—sedikit mengubah sudut pandang mengenai orang-orang dari kelas yang lebih tidak beruntung.

Cerpen ‘Penipu yang Keempat’ misalnya, kita sering menemui penipu-penipu yang meminta uang dan berkedok seperti orang yang tertimpa musibah, anaknya sakit dan ia habis kecopetan, ia mengelola panti asuhan yang membutuhkan donasi, dsb. Bosan banget rasanya, kan, menemui orang semacam itu setiap hari. Tapi, tokoh aku dari cerpen ini, justru sangat suka meladeni penipu-penipu macam itu, ia rela memberi beberapa lembar untuk penipu, baginya akting menipu mereka sangat meyakinkan dan merupakan suatu kesenangan sendiri baginya.

Buku ini ditutup dengan cerpen yang cukup mengharukan, yang mengisahakan Yuning yang telah bersuami dan memiliki kehidupan sendiri tetapi kedua orang tuanya malah ingin agar Yuning tetap tinggal dengan mereka. Cerpen yang tepat untuk menutup buku. Benar-benar menyentuh, dan sedikit memberi pelajaran mengenai sikap dalam memilih.

Cerpen-cerpen ini memang bertujuan untuk menggambarkan keadaan orang ‘kecil’ yang kondisinya kebanyakan belum dipahami dengan baik oleh orang-orang awam. Nggak ada maksud tertentu yang harus ditebak oleh pembaca, karena alur yang ada dalam tiap cerpen emang seperti mengalir dengan mulus gitu aja, gaya penulisannya pun sesederhana tokoh yang ada dalam cerpen, ceritanya sendiri juga mudah sekali ditangkap. Yang perlu pembaca lakukan hanya duduk santai, menikmati cerita tanpa harus berpikir.

Walaupun begitu, beberapa cerpen kesannya menggantung, bukan menggantung sih, lebih tepat kalau dikatakan belum selesai. Beberapa cerpen dibuat seakan-akan nggak ada solusinya dan seperti ada halaman yang hilang. Tapi, walaupun beberapa cerpen seakan nggak ada penyelesaiannya, pembaca tentu akan langsung dibawa ke cerpen selanjutnya yang banyak mengandung simpati dan rasa iba.

Pengambilan lima belas cerpen, yang memiliki tema, topik, dan tokoh utama yang hampir sama, saya rasa terlalu banyak. Sehingga, dengan topik, tema, dan tokoh yang hampir sama pada kelima belas cerpen yang ditampilkan dalam buku, saya sedikit merasa bosan ketika berada di tengah-tengah buku.

Meskipun begitu, apresiasi terhadap pengarang yang jeli mengambil tokoh yang sederhana sekali, mengangkat masalah yang tak hanya ditemui oleh orang-orang tertentu tapi juga semuanya dan dapat memancing simpati dan rasa iba terhadap tokoh yang diceritakan.

No comments:

Post a Comment