Tuesday 1 April 2014

A Thousand Splendid Suns-Khaled Hosseini

Selama lima belas tahun, Mariam seakan didoktrin oleh Nana, ibunya, bahwa menjadi seorang harami adalah hal yang memalukan, orang-orang akan langsung mengetahui bahwa Mariam adalah anak haram, ayahnya tidak menginginkan keberadaannya, dan orang-orang akan langsung mengucilkannya karena ia adalah seorang anak haram. Selama bertahun-tahun Mariam hidup di desa terpencil bersama ibunya.

Walaupun begitu, Jamal, ayahnya selalu memiliki waktu untuk mengunjungi mereka berdua. Setiap Hari Kamis, ayahnya akan melewati semak-semak yang tinggi, melintasi sungai setinggi lutut untuk mengunjungi Mariam dan membawakannya berbagai hadiah yang dibawa dari kota. Hari Kamis menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Mariam, ia akan menunggu di pintu rumahnya mulai pagi hanya untuk melihat ayahnya mengunjungi gubuk reyotnya, dan dengan gembira menghambur ke pelukan ayahnya dan mendengarkan cerita tentang Kota Kabul, kota yang menjadi tempat tinggal ayahnya, rumahnya yang seperti istana, dan bioskop yang dimiliki ayahnya. Hingga suatu hari, Mariam tidak tahan lagi, ayahnya tidak kunjung mengajaknya ke Kabul untuk melihat-lihat, padahal setiap Hari Kamis selalu ada cerita baru yang dibagi kepada Mariam. Mariam pun memutuskan untuk pergi ke Kota Kabul sendirian, menghiraukan peringatan ibuhnya bahwa orang-orang akan langsung mengetahui bahwa ia seorang harami, orang-orang akan mencemooh Mariam, termasuk menghiraukan peringatan bahwa ‘Jin’ akan membawa ibunya pergi jika Mariam memutuskan untuk mengunjungi ayahnya.

Mariam pun menghiraukan semua itu, mengerti bahwa peringatan ibunya hanyalah gertakan, dan ia dapat meminta maaf pada ibunya nanti. Mariam pun berhasil sampai ke Kota Kabul, dan berhasil menemukan rumah ayahnya. Tetapi bukan sambutan hangat dan menyenangkan yang ia dapatkan, Mariam malah diabaikan dan dibiarkan tidur di teras rumah selama semalam. Dengan perasaan kecewa, Mariam pun kembali ke gubuk reyotnya, meminta maaf pada ibunya. Malang bagi Mariam, ia malah menemui ibunya dalam keadaan tergantung di sebatang pohon dengan tali yang melilit leher dan kursi kecil yang terguling di dekat kakinya. Ayahnya terpaksa merawat Mariam, dan Mariam dengan perasaan bersalah sekaligus enggan juga terpaksa mengikuti ayahnya. Hidup bersama ayahnya, yang dulunya merupakan impiannya, ternyata tidak menyenangkan, Mariam harus mendengar ayahnya bertengkar dengan ketiga istrinya. Beberapa hari setelah tinggal dengan ayahnya, Mariam pun dinikahkan dengan seorang kerabat ayahnya yang memiliki toko sepatu di Deh-Mazang. Ayahnya ternyata takut jika aibnya terbongkar, takut jika publik tahu bahwa ia memiliki anak selain dari ketiga istri yang telah resmi dinikahinya, untuk itu ayahnya memaksa agar Maryam menikah sehingga ia bisa pindah ke rumah suaminya.

Mariam pun akhirnya menikah dengan Rasheed yang usianya terpaut tiga puluh tahunan darinya. Mariam masih berusia lima belas tahun, dan ia harus menanggung beban sebagai seorang istri. Ia sering diperlakukan dengan tidak baik, ditambah lagi dengan seringnya keguguran yang ia alami, malah membuat perlakuan Rasheed padanya semakin tidak menyenangkan. Setelah pernikahannya dengan Rasheed menginjak usia yang ke dua puluh, dan Afghanistan sedang dalam kondisi perang, Rasheed memutuskan untuk menikah lagi dengan gadis belia, Laila. Laila telah kehilangan rumah beserta kedua orang tuanya karena serangan bom, Rasheed-lah yang menemukan dan menyelamatkan Laila dari reruntuhan rumahnya sendiri.

Pernikahan Rasheed dengan Laila memberikan beberapa perubahan, termasuk perubahan dalam sikap Rasheed yang kasar. Tetapi hanya sampai beberapa saat, setelah Laila melahirkan Aziza, anak perempuan yang tidak diharapkan oleh Rasheed, lalu perang di Afghanistan yang tak kunjung usai, dan perekonomian keluarga yang tak kunjung stabil, hidup Mariam semakin menyedihkan.

Buku kedua setelah ‘The Kite Runner’, latar tempat masih tetap di Afghanistan, ditambah suasana perang yang digambarkan dengan epik dan benar-benar terasa menyedihkan. Berkisah tentang perempuan Afghanistan, Mariam, yang sejak kecil terus merasakan kesedihan dan penderitaan, hidup terus menuntutnya untuk tetap berjuang melalui segala ujian yang diberikan padanya. Melalui kekuatan doa yang selalu ia panjatkan, kehadiran Aziza yang sedikit mengubah warna dalam hidupnya, Mariam terus bertahan hidup demi dapat merasakan kebahagiaan.

Yang sudah baca novel pertama karya Pak Khaled Hosseini mungkin akan terus teringat mengenai persahabatan Amir dengan Hassan yang cukup bikin sebal karena keegoisan Amir, lalu cerita ketika Hassan dan Amir yang telah dewasa dan hidup terpisah, bagian yang sangat mengharukan ketika akhirnya Amir mengetahui bahwa Hassan dibunuh oleh Taliban. Ditambah dengan keterlibatan Taliban dalam hidup Hassan, novel ‘Kite Runner’ sukses deh bikin saya miris-miris.

DSC_0386

Nah, kalo di buku pertama, Taliban dilibatkan secara individu atau personal, di buku kedua Taliban dilibatkan secara berpasukan. Situasi perang yang digambarkan dalam buku ini benar-benar mencekam, bahkan lebih bisa bikin hati miris dibandingkan dengan buku pertama. Penulis sepertinya emang niat banget menunjukkan bahwa Afghanistan adalah sebuah medan perjuangan. Dari kedua buku yang sudah ditulis sama Pak Khaled ini, ada beberapa persamaan yang bisa ditemukan dari buku ‘The Kite Runner’ dan ‘A Thousand Splendid Suns’, keduanya sama-sama bikin sedih dan terharu, nah yang bikin sedih dan terharu itu penyebabnya pun sama, dari konflik dan masalah tokoh utama dan karena situasi yang digambarkan, yaitu Taliban dan perang.

Kalo dibandingkan berdasarkan frekuensi saya nangis, sepertinya saya lebih sering tersentuh ketika membaca buku kedua, buku yang menceritakan mengenai kisah Mariam. Saya terharu sekali dengan perjuangan Mariam yang sangat berat, harus menikah di usia belia, tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, hidupnya seakan-akan terpusat pada ‘hari ini saya harus tetap hidup’. Dari bab pertengahan sampai akhir cerita, bisa dibilang kisah yang disajikan sungguh mengharukan. Ditambah dengan keadaan perang yang digambarkan dengan sangat serius, sukses membuat pembaca menjadi seperti warga Afghanistan yang hanya bisa berlindung di dalam rumah mengamati suasana sekitar yang masih kacau melalui jendela rumah yang terlapisi debu tebal.

Agak spoiler nih ya, di sampul belakang buku, di paragraf terakhir dari sinopsisnya ada kalimat, ‘Namun dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya’, oke jadi saya masih bertanya-tanya, kalau kata-kata ‘seribu mentari surga’ mengibaratkan tentang kebahagiaan kayaknya saya kudu baca lagi buku ini, karena saya sama sekali nggak melihat adanya kebahagiaan di hidup Mariam. Apakah karena kehadiran Aziza? Atau karena Mariam akhirnya bisa terbebas dari siksaan Rasheed walaupun harus dibayar mahal dengan nyawanya? Apapun itu, saya benar-benar nggak melihat kebahagiaan untuk Mariam. Akhir kisah Mariam pun juga nggak bisa dibilang menyenangkan, saya malah terharu sekali dan nangis terus membaca kejujuran, kebesaran hati, dan ketegaran Mariam.

Mungkin ada baiknya kita meniru sikap Mariam, hidup seringnya nggak berjalan sesuai yang kita inginkan, tapi toh kita harus tetap berjuang. Demi melihat setitik kebahagiaan. Mariam yang dengan kekuatan doanya, kejujuran, keikhlasan, ketabahan, dan semua sifatnya yang menunjukkan bahwa ia seperti wanita yang mampu menghadapi semuanya sekalipun ia tidak sekolah merupakan sosok wanita yang memberikan contoh bahwa apapun yang akan terjadi, apapun yang akan diberikan oleh hidup untuk kita, kita harus siap dan terus berjuang.

No comments:

Post a Comment