Friday 24 January 2014

The Ocean at the End of the Lane–Neil Gaiman

Dari dulu ia memang tidak memiliki teman dekat. Hobinya hanya membaca buku, tenggelam dalam setiap untaian kata yang tercetak, dan membangkitkan imajinasinya sesuai alur yang ditetapkan. Pada ulang tahunnya yang ketujuh, tidak ada satu temannya yang yang datang. Berbeda dengan adik perempuannya yang selalu mengajak sahabatnya bermain di taman belakang rumah mereka.

Umurnya tujuh tahun ketika hidupnya tidak lagi sama, ketika peristiwa yang ia kira hanya ada dalam buku-buku fantasi yang selalu ia baca terjadi. Dimulai dengan menurunnya kondisi ekonomi keluarganya, ia terpaksa harus pindah ke kamar tidur adiknya dan tidur berdua dengannya. Kamarnya yang lama akhirnya disewakan. Lalu datanglah seorang lelaki kurus jangkung dengan kulit kecoklatan, ia bekerja sebagai penambang opal di Australia, dan penambang tersebut akhirnya menempati kamarnya yang lama. Beberapa hari kemudian, seorang tetangga mengatakan telah menemukan mobil ayahnya di ujung jalan. Ketika diperiksa, ternyata penambang itulah yang telah membawa mobil ayahnya. Penambang tersebut ditemukan di dalam mobil dengan kaca mobil semuanya tertutup, dan kulit penambang tersebut sudah kemerahan. Penambang itu keracunan monoksida, dan diduga penambang tersebut membunuh dirinya sendiri. Dari situlah ia lalu berkenalan dengan seorang anak perempuan yang lebih tinggi darinya, Lettie Hempstock. Lettie tinggal di perkebunan milik keluarganya sendiri yang sudah ada sejak bertahun-tahun, dan perkebunan tersebut ada di ujung jalan dekat dengan tempat penambang tersebut bunuh diri.

Lettie mengajaknya ke perkebunan milik Hempstock, di mana Lettie tinggal bersama ibunya, Ginnie Hempstock, dan neneknya yang ia sebut dengan Mrs. Hempstock Tua. Ginnie merupakan ibu yang pandai memasak, semua makanan yang dibuat oleh Ginnie sangat ia sukai walaupun sebelumnya ia tidak pernah memakan makanan tersebut. Lettie menunjukkan padanya bahwa Keluarga Hempstock memiliki samudra yang berada di belakang perkebunan keluarga mereka, samudra yang tampak hanya seperti kolam biasa yang dimiliki oleh keluarga lainnya di pekarangan belakang rumah. Tapi Lettie bersikeras bahwa itu merupakan samudra.

Semenjak penambang tersebut ditemukan bunuh diri, peristiwa aneh ternyata tidak hanya menimpanya. Pagi hari setelah penambang tersebut ditemukan bunuh diri, ia terbangun karena tersedak oleh sekeping koin. Tetapi bukan hanya dirinya yang mendapatkan koin, adik perempuannya juga merasa telah dilempari beberapa uang koin, tetangganya menemukan setumpuk uang di rumahnya. Ia tidak tahu penyebabnya, ia pun menanyakan pada Lettie Hempstock. Lettie mengatakan bahwa ada makhluk jahat yang telah kembali ke dunia tempat mereka tinggal. Makhluk jahat itu ingin membuat habitat baru yang lebih menyenangkan dari habitat lamanya, maka dari itu makhluk jahat itu membuat orang-orang senang dengan memberikan apa yang mereka sukai. Bersama Lettie, mereka berdua berusaha untuk mengusir mkhluk jahat itu kembali ke habitat lamanya.

Tetapi, setelah mencoba mengusir makhluk jahat itu, bukannya malah pergi makhluk jahat itu malah lebih bisa berkeliaran bebas di bumi. Malam itu, ketika ia merasakan ada yang sakit di telapak kakinya, ia menarik keluar cacing yang masuk ke kakinya melalui lubang jahitan. Cacing itu ternyata makhluk jahat yang telah diusir olehnya dan Lettie, dan cacing itu menggunakannya untuk menguasai bumi, habitatnya yang baru.

Sejujurnya, saudara-saudara, saya mencoba menulis resensi untuk buku ini, dan lalu mengalami kebingungan untuk memulai. Kalo biasanya, saya baca buku, habis beberapa bab saya langsung tahu apa yang akan saya tulis untuk me-review buku tersebut. Ternyata ada perkecualian untuk buku ini. Bahkan ketika udah baca sampai bab yang agak jauh, saya masih bingung kudu nulis apa buat resensi. Bingung karena takut ngerusak cerita yang ada di buku, dan terkesima karena ceritanya yang—sungguh—begitu ajaib. Well, kisah penambang opal yang ditemukan bunuh diri, tentulah jadi awal mula petualangan yang seru ini, lalu lanjutannya? Saking bingungnya, saya sampai mikir buat nggak bikin resensi tentang buku ini. Tapi, nggak, itu nggak boleh. Orang-orang harus tahu kalau buku ini bagus, dan orang-orang memang harus baca buku ini.

Judulnya, ajaibnya, langsung bikin saya jatuh cinta (coba aja ucapkan judulnya dalam hati, bukankah judulnya bener-bener punya sesuatu yang magis?). Ketika tahu ada buku yang judulnya kayak gini bakalan terbit di toko buku lokal, saya langsung tahu kalo saya suka sama judulnya. Dan, sayang sekali baru baca sekarang. Penilaian saya tentang judul ini juga sama dengan cerita yang ada di dalam buku. Judul yang dipilih serta sampul depan buku yang menurut saya lumayan dramatis, menurut saya jadi pengaruh kuat buat saya memutuskan untuk membeli buku ini. Well, Thank God, I don’t get any dissapoinment. It comes out that my expectation about this book truly appropriate with what I got (well, sometimes you really can judge a book by its cover, and its name).

Untuk ukuran buku yang setebal 200an halaman ini, ada banyak petualangan yang magical di dalamnya. Alurnya mudah sekali dibaca, ada banyak hal-hal baru yang bahkan sepertinya nggak pernah ada dalam imajinasi anak-anak sebelumnya. Ada dua hal utama yang bikin saya suka banget sama buku ini. Yang pertama tentu saja dari ceritanya, begitu fiksi sekaligus begitu nyata, terlihat dari tokoh Ursula Monkton yang merupakan perwujudan dari makhluk jahat yang diusir oleh tokoh ‘ia’ dan Lettie. Ursula membuat semua anggota keluarga menyukainya, tetapi bagi beberapa orang Ursula merupakan monster dan ia jahat. Sering banget kan, nemuin orang seperti Ursula Monkton? Bagi beberapa orang ia terlihat seperti orang yang baik, cantik, manis, dan benar-benar flawless, tapi beberapa orang lainnya benar-benar gak bisa ditipu dan menganggap Ursula hanyalah seorang penjilat dan Ursula melakukan hal tersebut untuk—istilahnya—cari bala, dan orang macam itu tak ubahnya seperti monster. Yang buat magis tentu saja keluarga Hempstock, hanya ada nenek, ibu, dan Lettie sendiri, tanpa ayah dan kakek. Lalu ada kolam bebek yang dikira Lettie sebagai samudra. Kolam itu yang akhirnya membuat tokoh ‘ia’ mengetahui segalanya, maksudnya benar-benar segalanya. Saking terpukaunya dengan cerita ini, saya sampai nggak nyadar kalau penulis nggak nyebutin nama dari tokoh utama. Karena nulisnya pake sudut pandang pencerita, dan tokoh-tokoh pembantu memanggil tokoh utama dengan ‘Kau’ jadinya saya benar-benar melupakan nama dari tokoh utama.

Hal kedua yang bikin saya terpukau adalah, tentu saja, gaya penulisannya. Untuk cerita yang sifatnya magis, yang biasanya disukai anak-anak kecil, gaya penulisannya cukup susah ditangkap, pembaca bener-bener kudu baca lagi sebenarnya makhluk jahat ini maunya ngapain tinggal di bumi. Dan ternyata jawabannya cuma semudah ‘ingin bersenang-senang’. Nah, kalau bagi saya, gaya penulisan yang dipake penulis justru bikin buku ini lebih ajaib, lebih dramatis, lebih magis, dan tentu lebih horor.

DSC_0311

Untuk sasaran dari buku ini, saya pun juga nggak ngerti sih sebenarnya. Mungkin buku ini buat anak-anak, buku ini kan ajaib dan benar-benar menggambarkan dunia fantasi, tapi bukankah buku ini memberikan cerita yang seram? Anak-anak bisa takut ketika membaca bagian Lettie bertemu dengan monster. Bukankah di buku ini juga ada adegan bunuh diri yang dilakukan dengan trik yang sederhana? Bagaimana kalau ada anak-anak yang meniru? Tapi, saya rasa buku ini bagus juga untuk memperluas imajinasi anak-anak, untuk membuat mereka awas dengan orang-orang sekitar. Atau mungkin saja buku ini memang untuk pembaca yang seusia saya. Tapi, bukankah tema yang diangkat benar-benar terlalu kekanak-kanakan? Terlalu imajinatif? Bukankah buku ini nggak sesuai dengan kondisi lingkungan yang sebenarnya di mana para dewasa harus lebih perhatian terhadap hal tersebut. Tapi bukankah kita masih sering membaca buku fantasi seperti Harry Potter, Alice in Wonderland, cerita-cerita Grimm Bersaudara, dan sebagainya, dan cerita-cerita tersebut nggak bisa membuat kita nggak terkesima, kan? Nggak peduli seberapa tuanya kita.

Kalo ada waktu yang benar-benar lowong, pas santai-santai, di kafe yang sepi sambil minum coklat panas duduk dekat jendela, buku ini kayaknya benar-benar pas buat bacaan. Maksudnya, kalau mau jadiin buku ini buat dapetin suatu pelajaran, kayaknya buku ini benar-benar nggak sesuai. Buku ini pas-nya ya cuma buat bacaan santai aja, buku di mana kita akhirnya benar-benar asyik sama ceritanya, terpukau sama alurnya, merinding kengerian, dan benar-benar tenggelam di samudranya Lettie, samudra yang berada di ujung jalan setapak.

No comments:

Post a Comment