Saturday 7 December 2013

The Time Keeper-Mitch Albom

Berabad-abad yang lalu, di fajar terbitnya sejarah manusia, hiduplah seorang anak dan keluarganya dan teman-temannya. Anak lelaki yang bernama Dor ini senang berlarian, bersama temannya Alli dan Nim. Selain lincah dan aktif, Dor ternyata juga cerdas, Dor sangat suka menghitung. Ia menghitung dengan hitungannya sendiri, menunjuk dengan ruas-ruas jarinya. Dari sekian hal yang dapat dihitung, Dor paling suka menghitung pergantian siang dan malam, ketika matahari terbit lalu tenggelam hingga terbit lagi. Dari Dor lah, manusia mengetahui tentang mengukur sesuatu, termasuk mengukur waktu. Dor mulai menanda-nandai ketika matahari berputar mengitari bumi, ia menggunakan ranting kayu yang kurus dan meletakkannya di hamparan pasir di depan rumahnya dan mulai menandai saat-saat tertentu ketika matahari mulai bergeser sedikit demi sedikit.

Dor akhirnya menikah dengan Alli yang selalu bersamanya sejak kecil, mereka memiliki tiga orang anak—satu laki-laki, dan dua perempuan—mereka semua pun tinggal di rumah lumpur milik orang tua Dor dan menjadi keluarga besar yang bahagia. Tetapi Dor tetap melanjutkan kesenangannya, menghitung dan mengukur, sedangkan teman kecilnya Nim telah menjadi raja di wilayahnya. Nim memiliki banyak budak, sedikit demi sedikit Nim memperluas wilayah kerajaannya dengan menyerang wilayah-wilayah kecil di sekitarnya. Wilayah itu pun masuk daerah kekuasaan Nim dan penduduknya dijadikan budak Nim untuk membangun menara yang tinggi. Nim membangun menara yang sangat tinggi agar kelak ia dapat menembus langit, melawan dewa-dewa dan berkuasa dari langit.

Lalu Nim teringat akan kecerdasan temannya, Dor. Dor yang pandai menghitung dan pandai mengukur. Nim pun mengunjungi Dor dan mengajak Dor untuk tinggal di menaranya dan tunduk dalam kekuasaannya. Karena berat bagi Dor untuk meninggalkan keluarganya, terutama istrinya Alli dan ketiga anaknya, Dor pun menolak. Dor akhirnya pergi jauh dari rumah orang tuanya, ia pindah hanya dengan membawa serta istrinya, mereka pun meninggalkan orang tua Dor dan ketiga anak mereka yang sangat manis. Mereka pergi ke dataran tinggi dan membangun rumah dari jerami. Dan mereka memulai hidup baru dari nol lagi. Dan Dor masih tetap berkutat dalam kesenangannya mengukur setiap pergeseran matahari dan bulan. Saking asyiknya Dor dengan kegiatan mengukurnya, ia tidak memperhatikan kesehatan Alli. Alli pun meninggal karena sakit, dan jarak rumahnya dengan tabib masih terlampau jauh, sehingga Alli pun tak tertolong lagi. Dor pun teringat menara Nim dan tujuan Nim membangun menaranya, Dor pun akan melakukan hal yang sama. Dor pun akhirnya memanjat dan memanjat menara Nim, ia hendak membunuh dewa-dewa dan menghentikan semuanya agar tidak ada yang berubah, sehingga Alli tetap hidup.

Dor terus memanjat, memanjat, dan memanjat menara milik Nim, lalu ia sadar bahwa ia telah berada di tempat lain. Tapi tempatnya bukan di langit, tapi di sebuah gua, di mana ia bisa mendengar banyak lolongan yang memohon dan meminta-minta. Tapi Dor sendirian di gua itu, dan lolongan itu tak kunjung berhenti.

Dan lolongan tersebut berasal dari manusia. Yang meminta dan memohon. Meminta dan memohon agar mereka tidak kehabisan waktu. Dor dikirim ke gua itu agar ia dapat mendengar permohonan orang-orang yang selalu mempermasalahkan waktu, waktu yang berjalan terlalu cepat, terlalu lambat, waktunya habis, dan sebagainya. Dor dikirim ke gua itu agar dapat memetik pelajaran mengenai waktu.

DSC_0048

Ini cerita tentang makna waktu

Begitulah kalimat pembuka yang dipilih ketika pembaca mulai membuka bab 2. Kalimat pembuka tersebut cukup menjanjikan kalau saya bilang, cukup menjanjikan bahwa ada sesuatu yang serius yang akan disampaikan pada pembaca (oh well, sejak kapan bukunya Mitch Albom nggak serius?)

Diawali dengan kisah Dor yang cukup menyentuh, hingga akhirnya Dor dikirim ke bumi. Lalu Dor dipertemukan oleh dua manusia, Sarah dan Victor yang tidak memiliki hubungan apapun, yang satunya ingin mempercepat waktu dan yang lainnya ingin memperlambat waktu. Lalu Dor mulai memberikan pelajaran dan makna tentang waktu, sesuatu yang nggak akan bisa diputar kembali, dihentikan, dipercepat, diperlambat, dan dirubah menjadi apapun oleh manusia. Waktu terus berjalan, dan harapan agar dapat mengendalikan waktu benar-benar terasa konyol dan sia-sia. Seenggaknya begitulah yang saya dapatkan setelah saya membaca buku ini.

Seperti tipikal buku Mitch Albom yang lain, yang memberikan cerita dan moralnya pada pembaca untuk saling menghargai. Kali ini, di buku ini, topik yang diambil adalah waktu. Manusia sekarang sangat sibuk, mereka selalu mengukur waktu ketika mereka memulai kegiatan mereka, waktunya yang terlalu singkat, terlalu lambat, terlalu lama, terlalu cepat, andai waktu bisa diputar lagi, andai bisa mempercepat waktu, dan sebagainya. Dari buku ini, penulis ingin menyampaikan bahwa nggak ada yang bisa dilakukan manusia untuk merubah waktu, dan itu merupakan hal yang sia-sia. Waktu memang dibuat sedemikian rupa, dibuat sangat terbatas, sehingga setiap manusia dapat menghargai setiap hal-hal kecil yang terjadi di sekeliling mereka, menghargai apa yang dilakukan, bersama siapa, di mana, dan sebagainya juga.

Ditulis dengan bahasa yang sangat lugas dan dewasa, tapi juga nggak terlalu sulit untuk dibaca oleh anak-anak yang jauh lebih muda. Atau mungkin buku ini lebih ditujukan kepada anak-anak muda dan remaja? Sehingga mereka lebih bisa menghargai waktu? Malah bisa juga buku ini diceritain ke anak-anak kecil (inget, ceritain aja, jangan anak kecilnya disuruh mbaca buku ini) biar sekalian ngerti buat menghargai waktu.

Lagi-lagi saya bertanya-tanya, kenapa waktu? Kenapa bisa tiba-tiba ada orang yang ngambil topik waktu dan menceritakan tentang makna waktu sebegini bagusnya? Sebegini ngena? Mungkinkah penulis mendapatkan inspirasi setelah melihat patung sosok ‘Sang Penjaga Waktu’?

Apapun itu, buku ini bener-bener bikin saya speechless, rasanya bener-bener terus diingatkan bahwa waktu terus berjalan, nggak bisa berhenti, dan waktu bener-bener sangat terbatas. Nggak bisa dibeli.

No comments:

Post a Comment