Sunday 15 December 2013

Antologi Rasa-Ika Natassa

Keara. Cantik. Shopahollic. Pekerja kantoran yang doyan banget menghabiskan duitnya sendiri buat belanja baju, sepatu, tas, semua pernak-pernik yang wajib dimiliki wanita kece, makanan, pokoknya semuanya yang bisa membuat dirinya puas dan senang. Saking cantik dan menariknya, senyumnya bisa membuat lelaki manapun khilaf dan membuat straight lelaki gay. Penggemar berat John Mayer dan beberapa musisi klasik. Dibalik sifatnya yang manja, feminin, dan memiliki alergi terhadap makanan murah, Keara menggeluti dunia fotografi. Rela berjalan berkilo-kilometer di bawah terik matahari hanya untuk menjepret semua objek yang memang patut diingat. Juga penggemar berat minuman beralkohol.

Harris. Sekantor dengan Keara. Cowok yang paling dekat dengan Keara. Sahabat Keara yang tentu saja juga demen minuman beralkohol. Rela banget ngikutin Keara ke manapun, jadi portir Keara waktu penyakit gila belanjanya kumat, ngikutin Keara memotret objek menarik, apapun. Ganteng. Ceweknya banyak, walaupun bukan pacarnya. Dapat cap ‘Penjahat Kelamin’ karena hobinya yang suka pilih-pilih cewek cuma buat ditiduri. Isi iPod selain lagu-lagu: bokep, bokep, bokep. Penggemar berat F1 sampai rela menguras isi tabungan buat liat balapan F1 yang diadakan di Singapura.

Ruly. Sekantor dengan Keara. Dan Harris, tentunya. Manis. Suka futsal dan berolahraga. Nggak pernah mabuk, clubbing, minum minuman beralkohol, apalagi sampai nidurin cewek. Cowok baik-baik.

Dan Denise. Cewek manis, lemah lembut, ramah, keibuan. Sudah bersuami.

Keara mencintai Ruly. Harris mencintai Keara walaupun ia tahu Keara mencintai Ruly. Dan Ruly? Ruly malah mencintai Denise yang telah menikah. Dan keempatnya bersahabat. Selain fakta bahwa Denise telah memiliki suami, ketiganya sama-sama menyimpan fakta dan rahasianya sendiri yang tidak diceritakan oleh siapapun. Keempatnya bersahabat sejak hari pertama mereka berada di kantor yang sama. Keempatnya juga sama-sama pernah ditugaskan di daerah terpencil bersama-sama, tinggal serumah selama beberapa bulan membuat mereka menjadi sahabat senasib-seperjuangan. Hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta.

Kehidupan Keara pun serasa terjungkir balik. Setelah ia tahu bahwa Ruly, cowok yang dicintainya, malah mencintai cewek lain. Ditambah lagi, ketika ia ke Singapura untuk menemani sahabatnya Harris menonton balapan F1, sahabatnya itu malah menidurinya ketika ia sedang frustrasi dan mabuk. Lalu Panji, cowok yang terkenal playboy yang tiba-tiba mendekati Keara, cowok itu harusnya membuat Keara bertekuk lutut dan mempermainkannya seperti ia mempermainkan cewek-cewek lainnya, sesuai tebakan Keara. Keara memanfaatkan aksi Panju itu untuk mengalihkan pikirannya dari Ruly, tetapi Panji malah jatuh cinta pada Keara. Dan Keara masih tidak bisa mengenyahkan Ruly dari pikirannya.

Ada beberapa hal yang bikin saya suka sama cerita ini. Oke, koreksi. Suka banget.

Temanya sih sebenarnya mainstream banget—tentang ciiiintaaa—jadi mungkin nggak jauh beda sama novel-novel teenlit buat anak-anak SMA yang ababil yang kadang mikirnya kebanyakan tentang cinta dan bukannya tentang pendidikan mereka sendiri. Yang bikin cerita ini berbeda sama novel-novel teenlit sebenernya cuma tokohnya yang udah dewasa banget, udah kerja, dan settingnya ya di dunia kerja. Nah, karena tokohnya yang udah dewasa banget, jadi walaupun buku ini menceritakan tentang kisah cinta—yang, sejujurnya saja, mbulet—tapi, drama yang ada di kisah cinta ini nggak se-hiperbola drama kisah-kisah cinta yang ada di novel-novel teenlit. Jadi drama yang nggak—kalo kata anak jaman sekarang—lebay merupakan kisah drama yang enak banget buat dibaca dan memang enjoyable. Banget. Kisah drama yang lebay justru bakalan bikin kisah-kisah ini sama kayak ftv-ftv, karena kadang, ketika saya lihat drama-drama yang lebay, respon saya malah ‘masa sih di real life ada kayak beginian? Lebay, deh.’ Oke, jadi buku ini tokohnya dewasa dan nggak lebay.

DSC_0049

Seperti yang udah saya jelaskan sebelumnya—walaupun sedikit, sih—kisah cinta ini sedikit mbulet (menanggapi ceritanya yang menggambarkan kalo si ini suka itu, si blablabla suka si ini, si itu suka sama yang lain, dan seterusnya, dan seterusnya). Dan walaupun kisahnya mbulet, heran banget ternyata penggambarannya bener-bener bisa banget kayak kisah yang real, maksudnya sama kayak aku ngeliat dramanya temenku sendiri dan bukan drama yang ada di ftv-ftv ataupun novel-novel kacangan lainnya. Mungkin aja karena humor dan celetukan yang ada di novel ini nggak kaku, jadi kesannya seperti membaca buku harian milik sahabat saya sendiri.

Kalo dibandingkan sama novel-novel teenlit lainnya, novel ini ‘nggak sopan’ yang ditunjukkan dengan cerita tokoh-tokohnya yang mabuk-mabukan, minum minuman beralkohol, clubbing, berciuman (on the lips) dengan siapapun, lalu tentu saja making love (yang jelas masih dianggap hal tabu—di jaman yang udah modern kayak gini—di novel-novel cinta kebanyakan). Dan, sejujurnya saya suka sama ceritanya. Ini dunia udah maju banget, modern banget, dan kita masih nggak menemukan kisah cinta yang nggak melibatkan hubungan fisik? Kuno banget. Bukan berarti saya juga begituan kalo saya pacaran sih, tapi hal-hal tabu seperti yang udah saya contohkan itu udah menyebar banget dan pastilah pelakunya banyak banget. Novel ini, dengan segala hal-hal tabu yang diceritakan di dalamnya, menurut saya cheesy tetapi nggak seringan atau seenteng novel-novel kebanyakan yang pelakunya ketemu, jatuh cinta, berantem, baikan, lalu the end, kisah selesai. Lalu nasty tetapi juga jauh banget dari kisah yang vulgar dan menjijikkan. Saya suka banget sama penulis yang bikin hal-hal tabu seperti making love jadi terlihat sebagai hal yang biasa dan udah umum dilakukan oleh pasangan muda-mudi. Sejujurnya, hal-hal yang kayak gitu malah bikin novel ini lebih crunchy, terkesan playful, dan kece abis!

Dan yang paling saya suka dari buku ini, tentu saja bahasanya. Bahasa yang digunakan, anak muda banget, plus gayanya anak muda jaman sekarang yang mencampur adukkan Bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya, kalo di buku ini, sih, bahasa asing yang digunakan dalam percakapan antar tokoh adalah Bahasa Inggris, so anak muda jaman sekarang. Nggak kaku, nggak baku, dan bikin nggak susah buat membaca. Sebenarnya bahasa asing lainnya juga dipake, dan itu terbatas cuma dipake buat judul per bab, dan hal itu bikin saya nggak ngerti, maksudnya kenapa harus pake bahasa asing yang lain? kenapa nggak Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris aja? Memang kesannya jadi kayak proverb asing gitu, sih. Tapi kayaknya nggak penting juga sih membahas judul bab.

Jadi, buku ini nggak cuma memberikan cerita dari sudut pandang cewek yang bernama Keara aja, kedua tokoh utama, Harris dan Ruly juga menjadi pencerita di buku ini. Jadi, pembaca bakalan lebih ngerti suasana, kondisi, kenangan, dan semua sejarah yang dialami sama tokoh pencerita. Walaupun tiap tokoh menceritahkan kisahnya masing-masing dengan cukup mendalam, kayaknya pembaca nggak akan dibuat bingung dengan kisah, pembaca juga nggak akan kehilangan fokus ketika loncat dari tokoh ini ke tokoh yang lainnya. Toh, semua tokoh yang menjadi pencerita memiliki keterkaitan, yaitu Keara. Semuanya sama-sama bercerita tentang Keara. Jadi, intinya, buku ini sih ceritanya tentang Keara walaupun yang jadi pencerita ada beberapa orang.

Walaupun saya menilai buku ini benar-benar kece, siap-siap aja dengan endingnya yang agak-agak nggak jelas, dan nggak solutif (maksudnya, nggak menyelesaikan masalah). Endingnya nggantung banget. Pembaca akan dibuat bertanya-tanya tentang hubungan lanjutannya Keara dan Ruly yang dibiarkan nggak tuntas. Tetapi, seperti yang dosen saya bilang, buku yang baik sebenarnya buku yang akhir ceritanya menggantung, karena bikin pembacanya penasaran. Untung banget buku ini ceritanya kece, jadi ending yang menggantung ini rasanya nggak jadi masalah. Saya sih berharap ada kisah lanjutan, yang benar-benar menuntaskan masalahnya Keara.

No comments:

Post a Comment