Saturday 30 November 2013

Perang-Putu Wijaya

Sudah ditakdirkan oleh dewa-dewi di kayangan bahwa Perang Baratayuda atau yang bisa saja disebut sebagai Perang Saudara antara Pandawa dan Korawa harus terjadi. Dewa-dewi kayangan sendiri yang memutuskan. Tak hanya itu, mereka juga telah memutuskan bahwa Pandawa dari Amarta yang akan menjadi pemenang di pertarungan mengalahkan saudara-saudaranya sendiri, Korawa dari Astina. Walaupun perang ditakdirkan masih lama meletus, tetapi gonjang-ganjing, ribut-ribut persiapan perang sudah santer dilakukan oleh kedua belah pihak.

Di tengah keributan masalah Perang Baratayuda, masalah-masalah tetap sepele maupun masalah-masalah yang pelik tetap terjadi di Amarta dan Astina. Para raksasa tetap merusak hutan dan melahap isi bumi yang nampak oleh mereka, gempa bumi meluluh-lantakkan daratan Amarta dan terpaksa membangun kembali negara mereka yang telah hancur.

Sementara itu juga, Panakawan, abdi dalam dari Pandawa, juga bergumul dengan masalah-masalahnya sendiri. Semar harus sabar dan tegas menghadapi ketiga anaknya, Petruk, Bagong, Gareng yang nakalnya bukan main. Setiap hari Semar selalu memberi wejangan mengenai hidup dan semuanya yang berlangsung di dalamnya kepada anak-anaknya dalam berbagai kesempatan, tapi memang dasar anak-anak nakal Petruk, Bagong, atupun Gareng tetap saja acuh dengan nasihat bapaknya.

Seperti kebanyakan sastrawan yang dimiliki oleh Negara Indonesia, novel yang ditulis oleh Putu Wijaya ini berisi sindiran-sindiran dan—kurang lebih—teguran tentang hidupnya manusia. Settingnya di daerah-daerah Amarta dan Astina yang—kalo secara maksa, sih—kurang lebih mencerminkan mengenai Negara Indonesia, Pandawa yang kurang lebih menggambarkan pemerintah-pemerintah Negara Indonesia, perilaku manusia, apa yang selalu dipikirkan manusia, apa yang selalu diinginkan manusia, dan termasuk pesimisme masyarakat Indonesia terhadap bangsa dan negaranya sendiri.

Kalau dalam teater, buku ini dibagi jadi dua babak. Babak pertama kebanyakan bercerita mengenai Amarta, Astina, Perang Baratayuda, Pandawa, dan semuanya di kerajaan. Kalo menurut kacamata saya sih, Amarta ini persis banget sama Indonesia. Amarta ini—sepenangkapan saya, sih—bentuknya kerajaan dengan pemimpinnya adalah Pandawa dan Yudistira—si sulung dari Pandawa—adalah pemimpinnya. Yudistira digambarkan sebagai pemimpin yang lembut, tegas, selalu mendengarkan suara rakyatnya, pokoknya tipikal pemimpin yang diinginkan rakyatnya—well, sebenarnya beda sekali sih dengan pemimpin Negara Indonesia pada waktu itu. Walaupun memiliki pemimpin yang baik, toh Amarta tetap diserang oleh berbagai masalah ataupun hal negatif. Nah, masalah-masalah yang menimpa di Amarta ini, saya kira, juga persis sama dengan masalah yang menimpa Indonesia, walaupun cuma analoginya, sih, tapi bener-bener nggambarin masalah-masalah di Indonesia. Sebagai contohnya adalah gempa yang meratakan tanah Amarta, semua rakyat susah, tetapi Pandawa malah sibuk membangun istana Abimanyu yang notabene masih bayi. Nah, sama kayak Indonesia yang sempat ditimpa musibah tetapi petingginya malah sibuk dengan urusan lain. Well, saya sebenernya nggak tahu sih, pas waktunya—tahun 1990 an—ada kejadian kayak gitu atau nggak, bisa saja penulis hendak menyampaikan bahwa jangan sampai suatu Negara memiliki pemimpin seperti itu, yang hanya memikirkan golongannya sendiri, kepentingan rakyatnya malah dinomor-sekian-kan. Contoh lain adalah raksasa-raksasa yang nggak kapok menghabiskan isi hutan. Raksasa-raksasa itu juga dari Amarta, pihak Pandawa pun juga sudah menghajar raksasa-raksasa tersebut, tapi rasanya raksasa tersebut juga tak kapok-kapok. Nah, kalo menurut saya, raksasa-raksasa ini juga menganalogikan rakyat-rakyat Indonesia yang menjarah hasil sumber daya alam Indonesia secara semena-mena dan ilegal. Sudah dihukum, tapi tetap nggak kapok-kapok, tetep aja diulangi. Sama seperti raksasa-raksasa yang menghabiskan hasil hutan untuk mengenyangkan perut mereka, orang-orang yang menjarah sumber daya alam secara tidak tahu aturan juga melakukan itu untuk menyambung hidup. Jadi, Amarta ini bisa dibilang sebagai analogi dari Negara Indonesia.

DSC_0042

Hubungannya dengan Astina juga menggambarkan Indonesia dengan pihak lain. Kalo dilihat dari segi latar belakangnya Korawa yang dulunya bersaudara dengan Pandawa, trus ujung-ujungnya mereka berperang, bisa aja digambarkan dengan perang saudara, perang antar suku, dan perang dengan wilayah lainnya yang notabene masih dalam satu negara. Nah, kalo dilihat dari fokus yang berbeda, yaitu Amarta dan Astina sebagai negara yang berbeda, kedua negara tersebut rakyatnya saling menghujat, rakyat Amarta saling menghujat negara Astina, rakyat di Astina juga gitu, rakyat seakan-akan sudah didoktrin untuk saling membenci. Di negara sendiri juga gitu, anggapan bahwa Negara A itu busuk nggak karu-karuan kayaknya sudah melekat dari lahir.

Belum lagi kelakuan Panakawan yang seringnya juga mencerminkan manusia-manusia pada umumnya, cerita tentang Panakawan seringnya sih menuturkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasanya berkecamuk (seilah, bahasanya) di otak manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu biasanya diwakilkan oleh Petruk, Gareng, dan Bagong. Nah, si bapak, Semar biasanya juga akan memberikan jawaban yang kece banget menurut saya. Seringnya jawabannya Semar yang bikin pembacanya merespon ‘wah, iya ya, bener juga’. Kalo menurut saya, sih, jawaban ataupun cerita yang disebarkan Semar bikin pembacanya buat introspeksi, mengingat-ingat, dan berkaca. Juga mengingatkan manusia untuk lebih sadar lingkungan, sadar sesama, dan sadar keadaan.

Babak kedua dari buku ini, cerita tentang Panakawan lebih mendominasi, cerita tentang Perang Baratayuda maupun Pandawa jadi lebih sedikit banget. Cerita tiap bab kadang nggak nyambung dengan bab sebelumnya, kadang juga malah menceritakan wayang yang secara umum (ada dalangnya, dalangnya gimana, penontonnya gimana, pertunjukan wayangnya di mana, dalam rangka apa, dsb). Jadi, babak kedua ini bisa dibilang nggak ada sambungannya juga dengan babak pertama, agak sedikit bikin bingung sih sebenernya, karena nggak ada fokus tertentu di babak ini. Isi babak kedua lebih menceritakan tentang kehidupan manusia lebih banyak. Cerita yang paling ngena mungkin cerita di bab 16, yang mengisahkan tentang anak-anak raksasa yang bosan dengan lakonnya yang selalu kalah. Kalo dianalogikan dengan manusia, ada pelajaran di situ mengenai latar belakang dan asal-usul manusia, bahwa mungkin nggak seharusnya manusia meninggalkan asal-usul dan hakikatnya. Belajar untuk lebih maju dan lebih pintar, boleh, boleh banget, tapi nggak seharusnya lupa bahkan meninggalkan hakikatnya. Kalo emang ditakdirkan jadi raksasa, ya jadi raksasa aja, jangan jadi manusia. Dan cerita mengenai Bagong yang tiap kali bercermin malah melihat raksasa. Ceritanya, Petruk digambarkan seolah-olah ia adalah seorang pemimpin, ia memiliki apapun, minta apapun tinggal minta dilayani. Dan itu gambaran yang tepat sekali terhadap pemimpin-pemimpin yang seharusnya dapat mewakili rakyatnya.

Walaupun mengangkat wayang sebagai tokoh utama, dan menyisipkan tentang Perang Baratayuda, saya rasa titik utama dari buku ini bukan wayangnya ataupun perangnya yang digembar-gemborkan, buku ini lebih memberikan cerita yang penuh dengan makna implisit yang seharusnya terbaca jelas oleh para pembaca. Ada pesan yang tersirat banget dibalik kisah-kisahnya yang sedikit kocak tapi juga menampar. Overall, buku ini mengajak pembacanya untuk berkaca lagi, mengoreksi diri, dan peduli dengan lingkungannya. Selalu ada masalah dalam hidup, tapi selalu ada solusi untuk tiap masalah. Bagus! Bagus banget, walaupun saya masih nggak ngerti implisit yang terkandung kalo tiap-tiap bab tadi disatukan. Tapi saya rasa, implisitnya tetap akan jelas kalau dibaca per bab aja.

No comments:

Post a Comment