Sunday 1 December 2013

65-Gitanyali

Gita akhirnya melanjutkan hidupnya. Ia akhirnya bekerja di sebuah perusahaan media cetak yang cukup terkenal di masanya. Dari pekerjaan itulah ia menemukan petualangan yang baru, ia berkenalan dengan beberapa publik figur untuk diwawancarai, pergi ke luar negeri, dan tentu saja menggaet lebih banyak cewek.

Buku lanjutan ‘Blues Merbabu’ ini garis besarnya sama saja dengan buku sebelumnya yang berisi perjalanan Gita setelah keluarganya yang pemimpin kader Partai Komunis satu-persatu ditangkap oleh aparat, ditahan, dan bahkan ada yang tidak diketahui lagi di mana rimbanya. Bedanya dengan buku sebelumnya, buku ini lebih terfokus pada kehidupan gita di dunia kerja, dari mulai ia bekerja untuk seorang seniman, menjual dan membeli lukisan, lalu menjadi wartawan yang melanglang buana. Walaupun beda fokus, saya tetep bertanya-tanya kenapa buku ‘Blues Merbabu’ dan ‘65’ tidak dijadikan satu buku saja, kenapa harus jadi dua buku. Walaupun beda fokus, sepertinya jalan ceritanya ya sama saja.

Dibandingkan buku sebelumnya, mungkin buku ini lebih punya cerita mengenai pekerjaan, dan pendidikan yang dijalani Gita. Judul buku rasanya kurang ngena banget, angka 65 cuma ditemui Gita ketika ia singgah di Bangkok, tinggal di sebuah penginapan yang bernomor 65. Setelah itu sudah, nggak ada lagi kemunculan angka 65. Saya nggak ngerti sih rasanya gimana, mungkin karena satu peristiwa di tahun 1965 lalu secara kebetulan Gita menginap di penginapan nomor 65, dan cuma itu saja yang terjadi mungkin bisa menimbulkan feel yang agak dalem kepada Gita, tapi kalo menurut saya sih kalo cuma muncul di penginapan saja ya rasanya biasa aja, kalo angka 65nya trus muncul berkali-kali, nah itu sih beda lagi. Mungkin bakalan jadi petualangan yang cukup kece. Jadi, saya rasa judul yang dipake bener-bener nggak pas sama jalan ceritanya.

DSC_0049

Cover depan menampilkan—lagi-lagi—sosok cewek yang sedang berjalan(?) jadi bisa ketebak kalo buku ini nggak beda dengan buku sebelumnya yang isinya bakalan mengenai petualangan Gita dengan cewek atau beberapa cewek. Ya, lagi-lagi Gita menceritakan mengenai petualangannya yang gonta-ganti cewek, ada empat cewek yang sepertinya punya feel yang cukup dalem dengan Gita. Kalo di buku sebelumnya Gita terkesan cuma nunjukin bahwa Gita emang sukanya tidur sama cewek dan nganggap cewek cuma sekedar dibuat teman buat having sex, di buku ini mungkin agak lain, Gita nampilin emosi dan ada semacam konflik yang terlibat dalam buku ini antara Gita dengan cewek-cewek yang rutin ditidurinya (OMG, lagi-lagi bahasaku). Kalo di buku sebelumnya kesannya Gita dan si cewek sama-sama lagi happy atau mungkin lagi overexcited atau mungkin lebih pas buat dibilang sama-sama lagi mabok, trus keduanya mojok, diem-diem, trus habis gitu have sex, walaupun di buku ini sebenernya juga kayak gitu sih, tapi ada tambahan masalah yang serius antara Gita dengan cewek-cewek yang ditidurinya. Yang bikin saya heran ya, kesan yang ditimbulkan adalah Gita gampang banget buat nidurin cewek, rasanya Gita gampang banget bikin cewek bertekuk lutut. Seganteng itukah seorang Gitanyali?

Sama dengan buku sebelumnya, sedikit banget yang nyeritain PKI. Ada, tapi dalam porsi sedikit banget, yaitu ketika Gita sudah mulai kuliah di Glasgow, Skotlandia, saat ia mengikuti sebuah pesta untuk orang Indonesia, lalu ada yang memberikan pidato mengenai bahayanya orang komunis, menimbulkan konflik tersendiri bagi Gita. Sama dengan buku sebelumnya, saya habisin buku ini cuma dalam sehari.

Overall, kalo menurut saya bukunya nggak seru banget. Untung banget buku ini merupakan hadiah dan saya nggak ngeluarin duit sepeser pun.

No comments:

Post a Comment