Sunday 20 October 2013

Frankenstein-Mary Shelley

Victor Frankenstein merupakan pemuda dengan kejeniusan yang tinggi. Sejak kecil, ia selalu terkesima dan penuh rasa ingin tahu terhadap ilmu pengetahuan. Victor merupakan sulung dari tiga bersaudara. Keluarganya merupakan keluarga terpandang di Jenewa, ayah dan ibunya menganggap bahwa Victor kelak akan menjadi pemuda yang dapat membanggakan keluarganya. Victor yang jenius selalu belajar dan melahap buku pengetahuan apapun yang ia dapatkan, baginya tak ada yang lebih menarik hatinya daripada ilmu pengetahuan dan mister-misteri yang tersembunyi dibaliknya. Demi memuaskan rasa hausnya akan ilmu pengetahuan, ayah dan ibunya bahkan sampai rela menyekolahkan Victor hingga tingkat perguruan tinggi agar kelak Victor dapat meneliti, menemukan, atau bahkan menciptakan suatu bentuk pengetahuan baru yang dapat lebih melambungkan nama keluarganya. Victor pun melanjutkan sekolahnya hingga perguruan tinggi terkemuka di Perguruan Tinggi Ingolstadt, di bawah bimbingan Profesor Krempe yang angkuh dan Profesor Wald yang terbuka, nafsu Victor dalam menciptakan suatu penemuan baru semakin terpacu.

Hingga suatu ketika, Victor mendapatkan ide untuk menciptakan suatu jenis spesies manusia yang tak tertandingi. Ia hendak menciptakan manusia buatan, yang ia hidupkan sendiri dengan organ-organ rumit seperti pada diri manusia normal. Victor memutuskan untuk membuat manusia raksasa yang memiliki tinggi badan dua setengah meter dan organ-organ lainnya yang serba besar. Terdorong dengan ide untuk menciptakan manusia buatan, siang dan malam Victor bekerja tanpa henti demi melihat manusia buatannya hidup. Hingga suatu hari, ketika Victor terbangun di asramanya di Ingolstadt, ia dikejutkan oleh suatu makhluk, makhluk yang tinggi besar, rupa pucat lagi mengerikan. Tanpa berpikir dua kali, Victor langsung meninggalkan kamarnya karena ketakutan dengan makhluk yang menyambutnya ketika ia bangun. Ia terlambat menyadari, bahwa makhluk yang berada di kamarnya adalah tak lain makhluk ciptaannya sendiri. Ia terkejut menyadari bahwa manusia ciptaannya ternyata berupa pucat dan seburuk rupa iblis.

Victor pun terpaksa kembali ke kamarnya karena kondisinya yang mulai melemah akibat bekerja tak kenal waktu. Ia berharap ia tak lagi menemukan makhluk buruk rupa ciptaannya lagi. Harapannya terkabul, makhluk itu pun seakan lenyap, ia tidak berada di kamarnya ataupun di laboratoriumnya tempat ia menciptakan manusia raksasa tersebut. Victor pun akhirnya beristirahat dengan tenang untuk menguatkan kondisi tubuhnya. Hingga beberapa bulan berselang, Victor mendapat surat dari sang ayah di Jenewa, ayahnya mengabarkan bahwa adik bungsunya William tewas ketika bermain bersama saudaranya. Dalam suratnya, ayah Victor mengabarkan bahwa William tewas dicekik dan keluarganya dirudung duka yang mendalam, Victor pun diminta untuk segera pulang, menemui, dan menghibur anggota keluarga lainnya yang tengah berduka.

Sesampainya Victor di tanah kelahirannya, ia memutuskan untuk langsung menelusuri tempat kejadian tewasnya William. Di tengah penelusurannya, Victor malah dikejutkan oleh kehadiran sosok tinggi besar yang tak asing lagi baginya. Ia lalu merunut kejadian mulai dari lenyapnya makhluk ciptaannya hingga tewasnya William, dan terakhir ia dipertemukan kembali dengan ciptaannya di tempat William tewas dicekik, William pastilah dicekik oleh makhluk buruk rupa ciptaannya sendiri. Victor pun menyadari bahwa tewasnya William terjadi karena makhluk yang ia ciptakan, dan makhluk itu pun pasti tidak akan berhenti menebarkan musibah kepada manusia.

Di lain kesempatan, makhluk ciptaan Victor akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan hari-harinya setelah ia benar-benar hidup. Ketika ia akhirnya memutuskan untuk menjelajah dunia manusia yang sangat luas, untuk menebarkan persahabatan dan kasih sayang kepada manusia, tapi malah kebencian yang diberikan oleh manusia. Makhluk itu pun akhirnya bersumpah akan membuat Victor merasakan penderitaan seperti yang ia alami.

Semua orang tahu tentang Frankenstein, monster raksasa berkulit hijau yang diciptakan oleh seorang profesor gila dengan dua paku menancap di pelipisnya, tapi berapa banyak sih yang tahu cerita asli dari si monster yang disebut ‘Frankenstein’ ini? Berapa orang sih yang tahu kalo ‘Frankenstein’ itu bukan nama monsternya?

Yup, buku ini berhasil membuka mata saya tentang kisah ‘Frankenstein’, dan yang terpenting adalah siapa sebenarnya yang ‘Frankenstein’. Kebanyakan film menggambarkan bahwa monster yang diciptakan oleh dokter gila itu namanya ‘Frankenstein’, si Frankenstein ini akhirnya diketahui keberadaannya oleh penduduk sekitar, dan penduduk tersebut bersama-sama menyusun strategi untuk memusnahkan si monster sekaligus penciptanya, entah yang gubuknya dibakar, atau dikejar-kejar sampai nggak ketahuan si monster berada di mana, dan sebagainya.

Di luar dugaan, kisah ini nggak hanya menghadirkan cerita tragis yang disebabkan oleh monster, kisah ini juga nggak luput oleh kesedihan, yang secara mengejutkan dialami oleh si monster—well, saya lebih tersentuh dengan cerita menyedihkan si monster daripada cerita menyedihkan yang dialami oleh Victor—yang ternyata memiliki sifat yang lembut dan penuh kasih sayang, dan ya saya jadi ikut sedih membaca kisah si monster yang selalu dibenci oleh manusia padahal ia memiliki niat yang baik. Sedangkan untuk Victor Frankenstein sendiri, yang walaupun bertubi-tubi mengalami tragedi, sejak awal cerita hingga cerita selesai tetep aja nggak bikin saya merasa simpatik. Sikap Victor yang langsung jiijik ketika ciptaannya menyambutnya saat ia bangun, menunjukkan bahwa ia orang yang plin-plan, orang yang sedikit munafik, dan itu benar-benar sifat yang ‘nggak banget’ di kalangan manusia pada umumnya. Victor seakan-akan menyalahkan bahwa sifat kejam yang dimiliki monster itu murni berasal dari diri monster itu sendiri, dan ia sama sekali tidak menyadari sikapnya dan akibat dari sikapnya yang ia berikan kepada ciptaannya. Dan sekali lagi, Victor Frankenstein bukanlah tokoh favorit saya di buku ini, walaupun ia tokoh utama.

Jadi, yang paling saya suka dari buku ini adalah, walaupun ini cerita fantasi dan bukan drama romantis, gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini benar-benar mengingatkan saya dengan buku-buku karangan Jane Austen, entah karena diterbitkan pada awal-awal tahun 1810-an atau apa, gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini terlampau halus dan ‘nggak banget’ untuk digunakan dalam karya fantasi, apalagi kisah yang menceritakan tentang monster. Tapi, bukannya jadi nilai minus, saya malah suka dengan penggunaan bahasa pada buku ini, kesannya malah jadi sweet dan unik sekali, nggak terkesan kasar. Walaupun menceritakan tentang monster yang identik dengan dunia anak-anak, saya rasa buku ini nggak cocok sekali jika ditujukan untuk anak-anak. Tidak hanya konten cerita yang ada di buku ataupun bahasa yang digunakan yang akan membuat anak-anak jadi tidak mengerti, buku ini setelah dibaca ternyata bersifat ‘darker’ daripada perkiraan saya, dan tentu saja ‘darker’ daripada covernya, dan ke-darker-an buku ini nggak baik dibaca anak-anak yang harusnya positive side-nya dikembangkan. Sebenarnya kesan gelap dan suram sudah bisa dilihat sejak pembaca melihat cover depannya yang serba hitam dan cuma dihiasi oleh judul buku dan nama pengarang yang berwarna merah yang juga agak gelap. Cover bukunya saja sudah memberitahu pembaca bahwa kisah ini nggak sekedar kisah petualangan aja, ada yang kisah yang lebih ngena dibalik cover buku ini.

DSC_0002

Sempat bosan juga setelah membaca cerita pertama yang diceritakan dalam sebuah surat perjalanan, sempet berpikir bahwa cerita monster pastilah ceritanya dibikin dalam bentuk surat perjalanan atau catatan harian atau sejenisnya (saya baca kisah Dracula lebih dulu, dan kisah tentang Dracula memang dituliskan dalam bentuk surat perjalanan dan catatan harian), ternyata surat perjalanannya hanya sebagai pembuka, dan ternyata ceritanya berlanjut seperti novel-novel pada umumnya.

Jadi, ada beberapa hal yang bisa saya dapatkan dari buku ini. Yang pertama adalah, tentu saja, Frankenstein itu bukan nama monsternya, tapi nama si jenius yang terobsesi menciptakan sesuatu yang tak tertandingi. Kedua, si monster ternyata memiliki sifat yang lembut dan penuh kasih sayang. Yang ketiga dan yang terakhir dan yang paling penting adalah bahwa manusia selalu melihat bentuk fisik makhluk lainnya, walaupun mereka selalu menggaungkan ‘fisik bukan nomor satu’, tapi tetap saja mereka akan jijik melihat si monster yang ternyata baik hatinya.

No comments:

Post a Comment