Sunday 6 October 2013

And The Mountains Echoed-Khaled Hosseini

Abdullah sangat mencintai adik perempuannya, Pari. Ibu mereka meninggal ketika melahirkan Pari, dan ayah mereka, Saboor, menikah kembali dengan seorang wanita yang masih bertetangga dengan mereka, Parwana. Dengan Parwana, ayah Abdullah dan Pari mendapatkan dua anak laki-laki. Keluarga tersebut terlalu miskin, bahkan untuk memberi makan pada dirinya sendiri mereka masih kesusahan. Hingga pada suatu hari, Saboor membawa Pari dengan gerobak tuanya, berdalih pada Abdullah bahwa ia akan bekerja di Kabul, melewati ribuan mil dan keringnya gurun, dengan membawa Pari ikut serta, dan hanya membawa Pari. Abdullah yang tidak mau berpisah dengan Pari pun mengikuti ayahnya walaupun tak diijinkan. Ayahnya pun juga berusaha membuat Abdullah supaya tidak mengikuti mereka lagi dan berbalik pulang. Tetapi Abdullah tetap tidak mau berpisah dengan Pari, bahkan setelah ayahnya mengusirnya bahkan melemparinya dengan kerikil agar Abdullah pulang. Abdullah pun akhirnya diijinkan untuk ikut.

Sesampainya di Kabul, mereka bertiga menemui pasangan suami-istri kaya raya, Suleiman Wahdati dan Nila Wahdati. Mereka merupakan pasangan yang kaya raya, rumahnya bak istana dalam dongen, tapi tanpa seorang anak, hanya mereka berdua dan beberapa pengurus rumah yang tinggal di sana. Suleiman merupakan sosok pria yang pendiam, dan lebih terlihat angkuh. Sedangkan istrinya, Nila, merupakan wanita yang senang bercerita dan ramah bahkan kepada keluarga Abdullah. Ternyata kedatangan Saboor ke kediaman Wahdati tidak untuk bekerja, melainkan untuk menyerahkan Pari ke Keluarga Wahdati.

Nila Wahdati yang sebelumnya pernah mengunjungi rumah Saboor. Nila telah melihat seisi rumah Abdullah, termasuk Pari yang sangat manis. Nila pun berniat untuk mengambil Pari sebagai anaknya, dan memberikan sejumlah uang kepada keluarga Saboor. Karena terdesak keadaan ekonomi, Saboor mengiyakan saja permintaan Nila tanpa menanyakan apapun pada Abdullah. Pari pun akhirnya menjadi bagian dari Keluarga Wahdati.

Selang beberapa tahun kemudian, Pari bersama ibu tirinya, Nila, pindah ke Paris. Sedangkan Tuan Suleiman yang terkena stroke malah ditinggal sendirian bersama dengan beberapa pengurus rumah. Di Paris lah, Pari menghabiskan sisa hidupnya. Ia menyelesaikan studinya hingga meraih gelar professor di bidang matematika, dan ibunya kembali menjadi penyair yang akhirnya bunuh diri. Pari menikah dengan Eric, yang menekuni dunia film, dan mereka memiliki tiga orang anak. Sedangkan Abdullah, ia akhirnya hidup di California, Amerika Serikat, menikah dengang wanita Afghanistan, memiliki kedai makanan Afghanistan, ‘Abe’s Kabob House’, dan memiliki seorang putri yang diberi nama Pari sama seperti adiknya.

Dan pada akhirnya, yang terpikirkan saat membaca buku ini adalah, apakah Abdullah bertemu kembali dengan adik perempuan yang amat ia sayangi, Pari. Setelah sekian lama terpisah, apakah mereka bisa saling mengingat dan kembali menyayangi seperti saat mereka di Shadbagh, desa kediaman mereka berdua di Afghanistan.

Buku ini tak hanya mengisahkan tentang Abdullah dan Pari dan juga hidup masing-masing setelah mereka terpisah. Lebih luas tentang itu, buku ini juga mengisahkan orang-orang yang berada di sekeliling mereka, bahkan orang-orang yang keduanya tidak terlalu dekat sekalipun. Cerita mengenai orang-orang lain itu pun juga disajikan dalam sudut pandang orang itu juga, dan ditulis dalam tiap bab. Walaupun memiliki tokoh yang berbeda-beda sebagai pencerita, tokoh tersebut menceritakan tentang satu hal yang sama: bahwa masing-masing tokoh memiliki beberapa orang yang sangat terikat pada hidup mereka dan betapa mereka saling mengasihi dan menyayangi. Bagaimana rasa cinta kasih sayang tokoh-tokoh yang diceritakan tersebut bergema ke seluruh semesta dan menular pada tokoh yang lain.

DSC_0300

Dua bab pertama tentu saja menceritakan tentang Abdullah dan keluarganya, bagaimana ia sangat mencintai adiknya, Pari, bagaimana ayahnya sangat pandai bercerita seakan tak pernah kehabisan bahan cerita, tentang ibu tirinya yang hanya menyayangi anaknya sendiri, adik tiri Abdullah, dan tentu saja tentang Pari yang cantik, yang menyukai warna kuning, yang selalu bermain dengan anjing cacat, dan yang selalu mengumpulkan bulu dari beraneka macam burung. Baru baca dua bab awal saja saya sudah merasa iri, senang, terkagum-kagum dengan hubungan kakak-adik Abdullah dengan Pari yang menurut saya tak akan bisa terlepas. Beberapa orang pasti akan mengira bahwa penulis mungkin menggambarkannya sedikit berlebihan mengenai hubungan kakak-beradik itu, mungkin mereka akan bertanya-tanya, apa mungkin bisa kayak gitu, dan sebagainya. Well, kalo dilihat dari perbedaan usia Abdullah dan Pari, sepertinya wajar kalau Abdullah begitu menyayangi Pari (studi kasusnya banyak). Di bab ini, penulis sukses bikin saya iri banget. Hampir nangis di bagian ketika ayah Abdullah memisahkan Abdullah dengan adiknya, menyuruh Abdullah pulang sementara Abdullah tetap gigih buat ikut, dan Pari juga meneriakkan nama Abdullah seakan nggak mau dipisahkan dari abangnya.

Bab-bab selanjutnya menceritakan tentang orang-orang yang berhubungan dengan mereka berdua, baik yang sangat mereka kenal maupun nggak kenal sama sekali. Dan mereka juga menceritakan mengenai orang-orang yang sangat erat dengan mereka dan bagaimana mereka sangat menyayangi orang tersebut. Karena dasarnya saya adalah orang yang cengeng, dan mudah tersentuh oleh apa yang saya baca, dan biasanya yang bikin saya tersentuh itu bagian yang paling saya sukai, saya suka sekali dengan cerita Markos Varvaris, hubungannya dengan ibunya, dengan Madaline, dan juga Thalia. Terutama cerita Markos Varvaris dengan ibunya, endingnya sungguh sangat menyentuh. Bikin iri juga, soalnya saya nggak pernah semanis itu sama ibu saya sendiri (saya sendiri bertanya-tanya kapan bisa semanis itu. Haha)

Sebagian isi buku kira-kira sudah saya ceritakan, isi buku ini pokoknya tidak lepas dari seseorang yang sangat erat dalam kehidupan seorang tokoh, dan tentang rasa kasih sayang tokoh kepada orang tersebut. Well, selain menyajikan tentang kasih sayang sesama manusia, penulis seraya mengingatkan saya bahwa, ke mana pun saya akan pergi pasti akan ada seseorang yang akan mencari-cari kabar saya dan merindukan saya (oke, sedikit narsis, sih), well lagi-lagi dilihat dari cerita Markos. Sebenarnya susah juga apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis dalam buku ini, pokoknya yang bisa saya tangkap adalah, bahwa tak peduli sekotor dan seberagam apapun dunia ini sekarang, tak peduli orang dari mana pun, jenis, ras, agama, suku apapun, selalu ada cinta yang mereka miliki untuk sesama mereka, sekecil dan se-tak-kasat-mata pun itu, selalu ada cinta dan kasih sayang terhadap sesama, dan bahwa cinta mereka bergema di semesta.

Ah, cinta, selalu jadi bahasan menarik dalam buku. Dan tema cinta yang ada di buku ini benar-benar jadi favorit saya. Maksud saya, kalo dibandingkan dengan cinta-cinta yang lain, yang lebih mengarah kepada cinta yang aku-sangat-mencintaimu-maukah-kau-menjadi-milikku-dan-tidur-denganku, tema cinta yang ada di buku ini benar-benar manis dan menggugah. Dan tentu saja sangat menyentuh. Saya rasa, nggak akan ditemukan kesulitan dalam memahami buku ini karena tema utamanya memang cuma cinta pada sesama manusia. Bahasa yang digunakan, walaupun terkesan mellow dan sweet, dan tentu saja ada sisi romantisnya, tetep nggak akan membuat pembaca nggak ngerti.

Sangat kagum dengan Pari yang jadi professor muda dan di bidang matematika (berhubung saya juga belajar di jurusan yang memper-memper dengan matematika, saya jadinya iri), dan sangat berterima kasih pada penulis yang memasukkan beberapa kalimat berbahasa perancis, translationnya juga ada, lho, jadinya saya bisa sedikit-sedikit pamer, gitu deh. Hahaha.

Selamat membaca, selamat jatuh cinta, ingat bahwa akan selalu ada seseorang yang mencari-cari kabarmu, dan bahagia dengan kesuksesanmu.

No comments:

Post a Comment