Saturday 30 March 2013

The Girl With The Dragon Tattoo—Stieg Larson

Mikael Blomkvist tidak menyangka bahwa penyelidikannya yang telah ia lakukan dengan cermat dan sedetil mungkin terhadap perbuatan kotor Perusahaan Wenerstrom menjadi senjata makan tuan baginya. Penyelidikannya yang terang-terangan membeberkan kebusukan Wenerstrom dianggap menjadi sebuah penyelidikan yang tidak berdasarkan fakta, dan oleh Wenerstrom dianggap sebagai tindakan yang mencemari nama baik perusahaannya. Akibatnya, Blomkvist harus menerima hukuman penjara selama beberapa bulan, denda yang cukup tinggi, reputasi buruk, dan bahkan pemberhentian secara tidak terhormat sebagai editorial plus pemegang saham tertinggi sebuah majalah ekonomi yang dipercaya di daratan Swedia, Millenium.

Di tengah kegundahannya itulah, tiba-tiba ia menerima sebuah telepon dari seseorang bernama Dirch Frode yang mengaku sebagai seorang pengacara dari pengusaha industri terkemuka, Henrik Vanger. Henrik menawarkan upah yang tinggi yang cukup untuk membayar dendanya apabila Blomkvist membantunya memecahkan masalah keluarganya yang sudah bertahun-tahun tak terselesaikan. Kasus tersebut adalah untuk menemukan keponakan tersayang Henrik, Harriet Vanger, yang ternyata sudah puluhan tahun lamanya menghilang dari Hedestad, tempat Keluarga Vanger tinggal. Harriet Vanger telah menghilang selama empat puluh tahun, dan ia terakhir terlihat pada saat terjadi kecelakaan besar yang terjadi dekat kediaman Vanger dan bersamaan dengan acara reuni Keluarga Vanger. Sejak menghilangnya itu, Harriet diduga dibunuh. Dan dugaan Henrik, Harriet dibunuh oleh salah seorang atau beberapa dari keluarganya sendiri. Dugaan Henrik yang membuat anggota keluarga Vanger lainnya menjadi tersangka pembunuhan membuatnya dibenci oleh hampir semua anggota keluarga. Dan seperti janji Henrik kepada Blomkvist yang ditawarkan, Henrik akan memberi upah dalam jumlah tunai yang sangat banyak apabila Blomkvist—setidaknya—bersedia melakukan penyelidikan terhadap menghilangnya Harriet dengan sungguh-sungguh. Dan akan ada jumlah tambahan lagi apalagi Blomkvist dapat menyelesaikan kasus tersebut. Dan satu bonus lagi yang tentu saja tidak akan bisa ditolak Blomkvist, Henrik berjanji akan membeberkan semuanya tentang Wenerstrom—yang notabene pernah bekerja di bawah kekuasaannya—beserta semua kebusukannya di akhir periode penugasan Blomkvist.

Dengan waktu setahun, Blomkvist pun memenuhi permintaan Henrik Vanger. Berbulan-bulan setelah Henrik dan Blomkvist pertama kali bertatap muka, Blomkvist pun menemukan beberapa petunjuk seperti sebuah nama-nama yang tidak diketahui beserta lima digit nomor yang diduga nomor telepon milik nama-nama tersebut tertera di buku harian Harriet, ia juga menemukan beberapa foto yang mengejutkan di mana Harriet terakhir kali terlihat. Ia hendak melanjutkan penyelidikannya, tetapi ia merasa ia tidak bisa bekerja sendirian. Blomkvist pun berusaha meminta seorang partner penyelidik kepada Dirch Frode. Dan Frode, tanpa ragu menyebutkan seseorang bernama Lisbeth Salander.

Lisbeth Salander merupakan cewek yang bisa digambarkan sebagai perempuan berusia dua puluh lima tahun super aneh, antisosial, dan tak banyak bicara. Tetapi Lisbeth merupakan hacker cerdik, tak terlacak, dan genius. Lisbeth juga memiliki kemampuan fotografi yang membuatnya mampu mengingat detil sekecil apapun. Dan sama seperti Blomkvist, Lisbeth memiliki kemampuan sebagai jurnalis penyelidik, hanya saja Lisbeth bisa menulis lebih detil daripada Blomkvist. Dari Lisbeth lah, Frode memiliki segala informasi tentang Blomkvist, dan membuat Henrik memilih Blomkvist untuk menyelidiki kasus Harriet.

Daaaaan, bersama Lisbeth akhirnya Blomkvist dapat menyelesaikan kasus Harriet. Spoiler buat yang belum baca atau nonton filmnya nih, Harriet tidak dibunuh. Dan memang ada keterlibatan dengan anggota Keluarga Vanger yang membuat Harriet menghilang.

2013-03-30 09.36.29

Sejujurnya, teman-temanku, saya lebih dulu melihat filmnya daripada membaca bukunya. Itupun, film yang terbaru yang dibintangi oleh Rooney Mara dan bukan yang dibintangi Noomi Rapace. Filmnya, sejujurnya, cukup membuat syok, terkejut, takut, dan secara keseluruhan oke. Ada beberapa detil yang ditambahkan dalam film, seperti misalnya foto Harriet saat menghadiri Pawai Hari Anak, bagaimana mukanya yang cantik jelita terlihat ketakutan ketika melihat sesuatu di seberang jalan, lalu juga beberapa foto pembunuhan terhadap beberapa orang yang namanya dicatat Harriet di buku hariannya, detil-detil tambahan seperti itulah yang bikin saya sedikit terkejut dan merinding ngeri ketika melihat film ini. And I must say, that I so love the detail. Belum lagi beberapa adegan seks yang dilakukan Lisbeth, saya benar-benar ngerasa sedang melihat film porno ketika adegan tersebut tiba-tiba muncul.

Lalu, akhirnya saya baca bukunya. Apakah lebih bagus? Atau malah lebih buruk? Saya berterima kasih kepada sutradara pembuat film tersebut untuk memvisualisasikan semua yang ada di buku yang mungkin nggak bisa saya bayangkan. Dan seperti yang sudah saya bilang, the movie is thrilling me out, and it was pretty OK. Dan lalu saya baca bukunya. Dan lalu saya ngerasa kalo filmnya nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan bukunya. Kalo filmnya serem, saya bisa bilang bukunya lebih nyeremin lagi, entah itu karena faktor imajinasi saya atau memang penulis udah mendeskripsiin detailnya secara gamblang atau apapun, saya rasa tingkat sadisticnya lebih kerasa di buku.

Oke, jadi mari kita membandingkan buku dengan filmnya. Yang pertama jadi sorotan saya, well tentu saja, adegan seksnya. Kalo di film, sutradara bener-bener ngasih liat ke penonton betapa kejinya pengacara Bjurman, betapa intimnya Lisbeth dan Blomkvist, dan itu yang emang benar-benar terlihat jelas banget (Oh My God, I feel like I’m going to vomit). Beda dengan di buku, penulis cukup menuliskan topik utamanya aja, maksudku kayak ‘setelah Bjurman melampiaskan nafsu bejatnya pada Lisbeth’ pokoknya seperti itu saja (dan saya berterima kasih sekali karenanya). Dan yang paling disayangkan dari filmnya adalah, kurangnya informasi mengenai penyelesaian kasus Blomkvist dengan Wenerstrom. Entah apa karena saya yang kurang memperhatikan film atau apa, yang saya tahu waktu itu Lisbeth meminjam sejumlah uang dari Blomkvist, menyamar jadi wanita cantik, keluar negeri, dan seterusnya yang bikin saya nggak nyambung sebenernya dia itu ngapain. Sedangkan di bukunya, Blomkvist dan Lisbeth benar-benar melancarkan strategi untuk membalas Wenerstrom. Well, satu kasus oke sih, tapi kalo ada dua kasus yang sama-sama oke dalam satu cerita kenapa juga nggak ditampilin? Sebenarnya, kalo dirunut lagi, ada banyak adegan yang diilangin oleh sutradara, dan kebetulan sekali hal yang diilangin itu bisa dibilang hal yang seru banget. Dan ya, saya merasa kecewa dengan filmnya setelah saya membaca bukunya.

Sebenarnya tokoh utama yang diceritakan oleh narator nggak saklek Blomkvist dan Lisbeth aja, ada beberapa tokoh kunci yang kadang-kadang jadi tokoh utama yang diceritain oleh narator. Ada banyak tokoh yang diceritain oleh narator, dan sejujurnya saya nggak kebingungan dengan banyaknya orang yang jadi topik utama si narator. Pertama kali saya bawa bukunya, saya juga bertanya-tanya isi buku ini apa aja emangnya, kenapa tebel banget. Mungkin butuh waktu cukup lama buat saya nyelesaiin buku ini (haloooooo semester enam, yang mau TA, yang mau TA), tapi saya langsung sadar ketika saya udah di halaman terakhir, saya harus segera cari buku keduanya, saya harus ngikutin kisahnya Blomkvist dan Lisbeth sampai selesai. Apalagi endingnya, baik di film ataupun di buku, sama-sama nggantung.

No comments:

Post a Comment