Tuesday 28 February 2017

Hening-Shusaku Endo

Silence_novelHening oleh Shusaku Endo

Mulai dibaca: 14 Februari 2017
Selesai dibaca: 26 Februari 2017

Judul: Hening
Judul asli: Chinmoku (Silence)
Penulis: Shusaku Endo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Bahasa: Indonesia
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tahun terbit: Januari 2017 (cetakan ketiga)
Tebal buku: 304 halaman
Format: Paperback
ISBN: 978-602-033-717-3
Harga: Rp. 57.800 (Gramedia.com)

Rating:4/5

Berita tersebut sampai kepada Gereja di Roma. Christovao Ferreira, yang dikirim ke Jepang oleh Serikat Yesus di Portugal, akhirnya menyerah dan menjadi murtad setelah mengalami hukuman penyiksaan di dalam “lubang” di Nagasaki. (hal. 25)

Setelah mendengar kabar bahwa gurunya yang dikirim ke Jepang untuk menyebarkan Kristen telah menjadi murtad, Pastor Sebastian Rodrigues bersama Pastor Garrpe ikut berangkat ke Jepang untuk mencari tahu kebenaran kabar tentang gurunya tersebut. Melalui kabar yang dibawa dari Jepang, semua orang dan penduduk yang menjadi Kristen dipaksa oleh pejabat setempat untuk mengingkari keyakinan mereka, kalau tidak mau mengingkarinya mereka akan disiksa dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Di Jepang, Rodrigues dan Garrpe disambut dengan suka cita oleh para petani Kristen di Tomogi  yang sudah lama menunggu kedatangan seorang Pastor. Mereka diberi tempat persembunyian dan diberi sedikit makanan oleh para petani tersebut. Tapi, mereka juga menyaksikan sendiri perlakuan kejam para pejabat terhadap petani tersebut. Dua orang petani yang teguh mempertahankan keyakinan mereka diikat pada sebuah pancang yang didirikan di pinggir laut. Mereka dihantam terus menerus oleh ombak yang dahsyat selama berhari-hari. Tetapi mereka terus berdoa kepada Tuhan. Walaupun Tuhan membungkam mulutnya dan tak menyelamatkan mereka. Tapi petani tersebut tetap teguh pada keyakinan mereka, mereka terus berdoa hingga akhirnya mereka menuju ke surga Tuhan. Menyaksikan penderitaan petani tersebut, membuat Rodrigues kembali mempertanyakan eksistensi tuhannya. Kenapa Tuhan hanya diam saja, mengapa Ia bungkam melihat umatnya disiksa padahal mereka mempertahankan keyakinan mereka pada-Nya?

DSC_0095

Rasanya saya belum terlalu banyak membaca buku-buku yang dihasilkan oleh penulis dari Negeri Sakura. Yang terbaru adalah Akiyoshi Rikako yang bukunya memiliki plot twist edan, dan saya suka bukunya. Lainnya? Ada Soji Shimada, lagi-lagi buku tentang pembunuhan, plot twistnya juga edan, saya juga suka buku itu. Lalu ada Ryunosuke Akutagawa dengan buku legendarisnya, ‘Kappa’, dan Yasunari Kawabata dengan ‘Rumah Perawan’nya. Lalu ada Hiro Mashima, Aoyama Gosho, Tsugumi Ohba, yah kalau karya mereka masih bisa dikategorikan sebagai buku, sih. Bagaimana dengan Haruki Murakami? Nol besar, saya belum pernah, sama sekali belum pernah membaca buku karangan Murakami. But I will.

Lalu ada buku ini.

Info yang pertama kali saya dapatkan adalah bahwa Silence adalah film yang akan tayang di bioskop antara tahun 2016-2017. Saya baca sinopsis filmnya, tentang seorang Pastor yang dikirim ke Jepang untuk mencari gurunya yang katanya sudah jadi murtad. Poster filmnya, saya akui, sangat menggugah dan memancing rasa penasaran saya, ada Liam Neeson dalam pakaian compang-camping dan rambut awut-awutan sedang menatap langit tengah berdiri di pinggir laut, tampak sedang berdoa dan memohon belas kasihan. Saya pikir, baru kali ini sepertinya Liam Neeson membintangi film bertema religi, biasanya ia  hadir sebagai sosok orang tua pemberani yang jago berantem, apa ya, yang membuat Pak Liam tertarik untuk menjadi bintang film religius ini? Diselidiki lebih dalam, ternyata film ini diangkat dari sebuah buku yang ditulis oleh penulis Jepang, akhirnya barulah minat saya untuk membaca bukunya semakin meningkat.

Cerita awalnya memang Pastor Rodrigues pergi ke Jepang untuk mencari gurunya yang kabarnya telah mengingkari keyakinannya dan menjadi murtad, tapi setelah dibaca lebih jauh lagi ada cerita yang lebih menyayat hati dibalik pencarian Rodrigues. Buku ini nggak hanya memberikan cerita yang dangkal mengenai pencarian yang dilakukan oleh seorang murid yang patuh terhadap gurunya yang dikabarkan telah ingkar, buku ini bercerita tentang kekuatan, keteguhan, dan ketetapan hati seseorang dalam memegang iman mereka walaupun berada di tengah masa-masa penuh penyiksaan.

Mengenai Ferreira yang hendak dicari ketiga pastor ini setibanya di Jepang, Valignano memberikan laporan sebagai berikut: Sejak tahun 1633 semua berita dari misi bawah tanah di sana terhenti dengan tiba-tiba dan drastis. (hal.37)

Sampul bukunya saya rasa sudah menggambarkan cukup banyak isi dari buku ini sendiri. Latar belakang putih, dengan tulisan judul yang kecil dan sederhana berada di atas lingkaran merah. Kalau dilihat dari jauh, sampulnya mirip bendera Jepang, maka dari situ udah kelihatan bahwa latar tempat yang digunakan dalam buku ini adalah di Jepang. Lalu sosok pria yang kurus sedang membawa salib yang tinggi sendirian, menggambarkan bahwa ia sedang mengalami penderitaan. Sosoknya yang tetap memegang salib yang bobotnya—bisa jadi—dua kali bobot tubuhnya menggambarkan bahwa sekalipun ia berada dalam masa-masa penuh penyiksaan ia tetap berpegangan erat pada imannya.

DSC_0093

Yang bikin saya terenyuh tentu cerita tentang petani-petani miskin yang kerap disiksa agar mengingkari Kristianitas. Ujian iman mereka bukan lagi sekadar tentang harta, tahta, atau wanita, tapi berkaitan dengan nyawa mereka. Saya ngeri sendiri, lho, membayangkan siksaan yang harus mereka hadapi karena tidak mau mengingkari iman mereka. Dalam buku ini, sebenarnya, para petani tersebut disuruh oleh pejabat setempat untuk menginjak fumie (di mana fumi berarti menginjak, dan e berarti gambar), yaitu sebuah benda (biasanya merupakan batu dengan ukiran, atau kayu bergambar, atau juga kain yang dilukis) dengan gambar sosok yang dikasihi oleh umat Kristen, yaitu Yesus Kristus dan Bunda Maria.

“Kami menerima laporan bahwa kalian mempraktikkan agama terlarang ini. Bagaimana tanggapan kalian?”
Ketiganya menjawab bahwa mereka penganut Buddha yang taat dan menjalani hidup sesuai ajaran para pendeta Buddha di Kuil Danna.
Langkah berikutnya adalah, “Kalau begitu, injak-injaklah
fumie ini.” (hal.101)

Perintah pejabat kepada petani yang beragama Kristen untuk menginjak fumie adalah untuk membuktikan apakah orang tersebut benar menganut Agama Kristen atau tidak. Melalui buku, perintah tersebut hanya digunakan sebagai formalitas, artinya petani tersebut tetap dapat memegang kepercayaan mereka tapi mereka harus menginjak fumie tersebut sebagai ‘formalitas’. Tetapi, sekalipun itu hanya sebuah formalitas dan dikatakan bahwa menginjak fumie tidak akan membuat mereka menjadi murtad, petani tersebut tetap menolak untuk menginjak gambar orang yang akhirnya mereka kasihi, penolakan itulah yang akhirnya berujung kepada penyiksaan. Tapi, seperti yang sudah saya katakan berulang kali, petani tersebut terus berdoa, melantunkan puji-pujian kepada Tuhan, di tengah penyiksaan mereka. Sekalipun Tuhan hanya membungkam mulutnya.

Dua batang pohon, yang dibuat berbentuk salib, ditancapkan di tepi air. Ichizo dan Mokichi diikatkan di sana. Malam nanti saat air laut pasang, tubuh mereka akan terendam sampai ke dagu. (hal. 104)

Tidak ada yang bisa menggoyahkan iman petani-petani tersebut sekalipun mereka diancam dengan penyiksaan yang melemahkan fisik sampai menghilangkan nyawa mereka. Bagi petani tersebut, mereka telah memilih Kristen sebagai pegangan hidup mereka, dan mereka tak akan lagi mengubah keyakinan mereka. Hal yang berseberangan terjadi pada hati Pastor Rodrigues—dan Pastor Ferreira. Kedua pastor tersebut memiliki misi untuk menebarkan Kristianitas di Jepang, mereka seharusnya menjadi sosok seperti panutan mereka, yang rela menghadapi apapun bahkan nyawa mereka demi misi mereka dan menjadi pelindung bagi umat Kristen di Jepang, tapi rasanya semenjak kedatangan mereka ke Jepang, Kristianitas tidak tersebar dengan baik dan penyiksaan terhadap orang-orang beragama Kristen lah yang semakin menjadi.

“Selama dua puluh tahun aku bekerja keras menjalankan misiku.” Dengan suara datar tanpa emosi Ferreira mengulangi kata-kata yang sama itu. “Satu hal yang aku tahu pasti adalah agama kita tidak bisa berakar di negeri ini.”
”Bukannya tidak bisa berakar,” Rodrigues berseru dengan suara keras, sambil menggelengkan kepala. “Masalahnya, akar-akar itu dicabuti”
(hal. 234)

Pastor tersebut tentu rela mati menjadi martir, mereka rela disiksa seburuk apapun asalkan mereka tetap menjadi Kristen, tapi sanggupkah mereka jika melihat umat-umat mereka, petani-petani tak berdaya yang rela memberikan perlindungan dan sedikit makan dalam pelarian mereka, yang selalu disiksa karena mempertahankan Kekristenan mereka dan melindungi orang yang menyebarkannya.

Sikap Tuhan yang dianggap Pastor Rodrigues selalu diam dan tidak menyelamatkan makhluknya inilah yang sebenarnya sudah menggoyahkan hati Bapa Rodrigues. Karena melihat penyiksaan yang diberikan kepada petani-petani itulah, Pastor Rodrigues kerap mempertanyakan keyakinannya terhadap Tuhan. Bagi Pastor Rodrigues, Tuhan hanya bisa bungkam, tidak memberikan pertolongan padahal umatnya rela menderita dan mengorbankan nyawa mereka untuk-Nya. Pada akhirnya, sifat welas asihlah yang menggoyahkan iman Bapa Rodrigues. Pejabat setempat, melalui buku ini, mengatakan bahwa petani-petani tersebut telah berulang kali menginjak fumie mereka benar-benar akan mengingkari keyakinan mereka jika pemimpin mereka mengingkari imannya. Oleh, karena itu pejabat tersebut tidak menyiksa Pastor Rodrigues tidak secara langsung tapi mereka menggoyahkan iman sang pastor dengan membuatnya menyaksikan penderitaan yang dialami oleh petani-petani yang pernah melindunginya.

“Kau lebih mementingkan dirimu sendiri daripada mereka. Kau terlalu memikirkan penyelamatanmu sendiri. Kalau kau mau meninggalkan keyakinanmu, orang-orang itu akan dikeluarkan dari dalam lubang.” (hal. 266)

Nah, walaupun mengangkat tema religius mengenai agama tertentu, buku ini juga hanya bisa dikonsumsi oleh orang-orang dengan keyakinan tertentu juga. Kisah buku ini bisa dinikmati secara universal, maksudnya semua kalangan tak peduli dari suku ataupun agama manapun, tetap bisa menikmati buku ini. Karena siapapun, pada akhirnya tetap harus memegang teguh iman dan kepercayaan mereka, karena dari situlah kita mendapatkan ajaran mengenai sifat baik terhadap sesama.

Setelah diperiksa, jenazah San’emon dimakamkan di Kuil Muryoin di Koshikawa. Dari Muryoin datang pendetabernama Genshu. Jenazah San’emon dikirim ke sana dengan kendaraan, dan dikremasi. Nama Buddha San’emon setelah meninggal adalah Myusen Joshin Shinshi. (hal. 304)

*San’emon adalah nama Jepang dari Pastor Sebastian Rodrigues yang diberikan oleh gubernur setempat.

No comments:

Post a Comment