Sunday 20 March 2016

Four: A Divergent Collection-Veronica Roth

18126198Four: A Divergent Collection oleh Veronica Roth

Mulai dibaca: 25 Januari 2016

Selesai dibaca: 08 Februari 2016

Judul: Four: A Divergent Collection

Penulis: Veronica Roth

Bahasa: Indonesia

Penerbit: Mizan Media Utama

Penerjemah: Esti Budihabsari

Tahun terbit: Januari 2015

Tebal: 288 halaman

Format: Paperback

ISBN: 978-979-433-859-9

Harga: Rp. 59,000 (bukupedia)

Rating: 3/5

Awalnya aku menulis DIVERGENT dari perspektif Tobias Eaton, seorang bocah lelaki Abnegation yang mengalami masa sulit dengan ayahnya dan mendambakan bisa bebas dari faksinya. Aku mengalami kemacetan setelah menulis tiga puluh halaman karena naratornya tak cocok dengan cerota yang ingin aku kisahkan. (Pengantar Penulis, hal 14)

Tobias Eaton berasal dari Faksi Abnegation. Setiap hari ia akan pergi sekolah dan meminggirkan semua egonya untuk memberi sedikit kepuasan pada dirinya sendiri dan mengutamakan kepentingan orang lain terlebih dahulu. Pakaiannya serba abu-abu, hidupnya sederhana dan tidak pernah bermewah-mewahan, meskipun ayahnya merupakan orang terpenting dalam faksi. Tobias hanya tinggal dengan ayahnya, ibunya meninggal setelah mengalami keguguran. Sayangnya, ia dan ayahnya tidak terlalu akur. Buruknya, ayahnya selalu memberinya hukuman fisik. Tak jarang Tobias mendapatkan sabetan sabuk ayahnya hanya karena kesalahan kecil yang membuat ayahnya kesal bukan main. Di usianya yang keenam belas, ia akhirnya dihadapkan pada hari pemilihan di mana ia akhirnya bisa memilih faksi mana yang akan ia tinggali. Tobias tahu jika ia memilih faksi lainnya ayahnya akan marah besar, tapi setidaknya ia tidak akan lagi hidup serumah dengannya atau menerima hukuman fisik sekecil apapun. Tapi di tempat tinggal barunya Tobias mengalami banyak  hal yang kotor, licik, dan korup. Tempat tinggal barunya sangat penuh dengan korupsi, nepotisme, kecurangan, dan permainan licik lainnya.

P_20160320_055339 (1)

Setelah kelar membaca trilogi Divergent, saya memutuskan untuk memungkas seri tersebut dengan novella-nya yang menggunakan sudut pandang si cowok macho (macho beneran, nih), Tobias Eaton. Cukup lama, menurut saya, untuk menyelesaikan satu buku setebal 288 halaman ini. Bukan, bukan karena cerita dalam buku ini membosankan, hanya saja saya sedang super sibuk (gaya banget).

Oke, jadi kesan pertama setelah mengikuti sedikit alur cerita di buku ini adalah, Four atau Tobias Eaton tampak begitu lemah dan menyedihkan. Ia hadir sebagai sosok remaja laki-laki yang penyendiri, murung, dengan kehidupan yang menyedihkan. Berbeda dengan Four yang  kita baca di buku seri Divergent, atau di film, di mana Four merupakan cowok yang jago berantem, melempar pisau, dan nggak takut dalam menghadapi bahaya apapun, sedangkan di buku ini kita seakan ditunjukkan sisi lain dari diri Tobias Eaton yang akhirnya mengubah namanya menjadi Four. Saya menyukai sosok Four yang badass itu, tapi membaca dan mengetahui bahwa Four ternyata juga memiliki sisi lemah dan cengeng justru membuatnya terlihat even more adorable. I think his weak side makes him look cuter. Buku ini menunjukkan bahwa laki-laki pun masih manusia biasa, semacho dan sejagoan apapun ia, laki-laki masih tetap memiliki sisi feminin.

Untuk sesaat mata ayahku menusuk bagaikan pisau di bayangan cermin, dan lanngsung saja kemarahanku hilang digantikan oleh ketakutan yang melumpuhkan. (hal. 37)

Jadi, buku ini dibagi menjadi empat bab, yaitu The Transfer, The Initiate, The Son, dan The Traitor. Dalam bab The Transfer inilah kita melihat sisi lemah dari Tobias Eaton, karena di bab ini lah kita diceritakan mengenai kehidupan Tobias sebelum memilih faksi. Bab The Transfer juga menceritakan bagaimana sosok Four yang kita kenal sekarang itu terbentuk, karena di bab ini kita juga diceritakan bagaimana kejamnya perilaku yang ia terima dari orang yang seharusnya melindungi dan mendukungnya.The Initiate atau Inisiasi merupakan bab yang menceritakan kehidupan baru dari Tobias Eaton di faksi barunya. Bab ini menceritakan proses dan kegiatan apa saja yang harus dilakukan dan dilalui Four agar bisa secara sah diakui sebagai anggota kelompok. Dalam bab The Initiate, karakter Four yang pemberani mulai terbentuk. Four perlahan mulai meninggalkan sifat lamanya yang cengeng dan tidak egois, dalam bab ini ia mengandalkan instingnya untuk terus bertahan di rumah barunya, ia berlatih sangat keras, mengalahkan lawannya dalam kegiatan berkelahi. Karakter Four makin kuat karena ia mulai memunculkan sifat egoisnya. Bab The Son merupakan bab yang mengejutkan karena Four akhirnya mengetahui bahwa salah seorang yang harusnya paling dekat dengannya membohonginya selama bertahun-tahun. Bab The Traitor tentu saja merupakan bab di mana Four mengetahui adanya pihak-pihak yang curang dan korup dalam politik di faksi barunya.

Well, tak hanya memberikan cerita mengenai kehidupan Four saja, dalam buku ini kita juga diberikan sedikit cerita tentang hubungan yang mulai terjalin antara Four dengan—well, tentu saja—Tris. Nah, nah, dalam bab-bab ini lagi-lagi saya melihat karakter lain dari Tobias ketika ceritanya berhubungan dengan Tris. Ketika berinteraksi dengan Tris, sejujurnya saya seperti membaca novel roman remaja yang tokoh cowoknya culun banget—nggak kutu buku, sih—dan tergila-gila dengan cewek terkeren se-sekolahan, nah terkesan seperti novel karangan John Green. But, I still love him. The scenes make him look much more adorable. Soooo, cute.

Bukan sosok berpakaian hitam seperti yang kuperkirakan, melainkan kilasan sosok berpakaian abu-abu yang melayang jatuh di udara. (hal. 273)

Okay, enough fangirling about Tobias ‘Four’ Eaton already. Jadi siapa yang mau melihat buku ini difilm-kan? Dengan Theo James tetap memerankan tokoh Tobias Eaton, tak peduli jadi selemah atau seculun apa. Kalau saya, jelas mau banget melihat Theo James berperan lagi sebagai Four yang lemah dan culun. Tapi, mengingat usia Theo James yang terus bertambah, rasanya saya harus sedikit melupakan keinginan saya, karena rasanya nggak mungkin deh buku ini difilm-kan.

But still, to those who want this book adapted into movie, let’s cross our finger.

2 comments: