Tuesday 5 January 2016

Melihat Api Bekerja-M. Aan Mansyur

25325367Melihat Api Bekerja oleh M. Aan Mansyur

Mulai dibaca: 24 November 2015

Selesai dibaca: 30 November 2015

Judul: Melihat Api Bekerja

Penulis: M. Aan Mansyur

Ilustrator: Muhammad Taufiq (emte)

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: April 2015

Tebal: 155 halaman

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

ISBN:978-602-031-557-7

Harga: Rp. 42.400 (Pengenbuku)

Rating: 3/5

Saya jarang membaca buku kumpulan puisi. Sekalinya baca, baca buku kumpulan puisi modern. Sekalian mengikuti arus literasi di Indonesia. Saya pun juga kebingungan gimana harus menilai buku ini.

Kau keriangan yang tidak capai bergolak dalam darahku. Kau keseimbangan yang berhati-hati dan tak menginginkanku berhenti. Kau matahari yang memerahkan punggungku.

Kau rumah yang membuatku lupa pulang. Kau petang dan burung-burung yang mencari sarang. Kau senyum yang kusembunyikan dari kemarahan ibu. (Belajar Berenang)

Untitled

Puisi pertama yang akan ditemukan oleh pembaca adalah puisi yang berjudul ‘Belajar Berenang’. Dari puisi tersebut, yang bisa saya tangkap adalah bahwa si penulis sedang mendeskripsikan tokoh ‘Kau’. Karena ilustrasi yang ada di samping puisinya adalah sesosok perempuan, maka saya menyimpulkan bahwa tokoh Kau yang dimaksud oleh penulis adalah perempuan, entah siapapun itu atau apa hubungan si penulis dengan tokoh Kau itu. Melalui puisi ini, penulis seakan menceritakan pengalamannya menyelami dan mendalami tokoh Kau. Kau secara implisit digambarkan oleh penulis sebagai sosok—wanita—yang menyenangkan dan berpendirian teguh (dari bait pertama paragraf pertama yang diartikan secara sembarangan oleh saya), yang pemalu tapi penuh ingin tahu (bait kedua paragraf pertama), yang moody (bait keempat paragraf kedua), yang mampu memberi kekuatan kepada si penulis (bait kelima paragraf ketiga), yang membahagiakan (bait keenam paragraf pertama), dan benar-benar nggak bisa dilupakan (bait kesembilan paragraf kedua). Deskripsi-deskripsi dari tokoh Kau dijabarkan oleh penulis secara implisit, penulis memberikan deskripsi mengenai sosok Kau lewat hal-hal atau benda-benda yang berputar mengelilinginya yang bisa menggambarkan karakter tokoh Kau. Walaupun terlihat seperti puisi-puisi kebanyakan yang menggambarkan keadaan secara implisit, saya kagum dengan kreatifitas penulis yang menggunakan penggambaran berbeda dari penulis puisi kebanyakan.

Kau setapak berundak-undak di belakang rumah dan bayangan pohon-pohon yang menyembunyikan daun tua dan hewan melata. (bait pertama paragraf kedua)

***

Orang-orang melintas membawa kendaraan. Mereka menyalakan radio dan tidak mendengarkan apa-apa. Mereka pergi ke kantor tanpa membawa kata kerja. Mereka tergesa, tapi berharap tidak tiba tepat waktu.

Jalanan keruh sekali setelah pukul tujuh pagi. Satun-satunya jalan keluar adalah masuk. Tutup pintu. Biarkan jalanan tumbuh dengan hal-hal palsu.

Aku ingin mandi dan tidur siang berlama-lama. Aku mencintai kemalasanku dan ingin melakukannya selalu. Pada malam hari, aku ingin bangun dan mengenang orang-orang yang hilang.

Sudah tanggal berapa sekarang? (Menyaksikan Pagi dari Beranda)

Ini adalah puisi lainnya yang menggambarkan keadaan di sekeliling penulis berdasarkan pengamatannya. Dari puisi tersebut penulis seakan menceritakan pada pembaca bahwa ia benar-benar menyukai doing nothing. Ia menceritakan kepada pembaca bahwa ia sangat menikmati kegiatan bermalas-malasan dan bersantai. Tapi setidaknya, ia tidak munafik. Ia menceritakan kejujurannya yang pemalas. Berbeda dengan pekerja-pekerja yang ia amati setiap hari melintas di jalan membawa kendaraan dan membuat jalanan keruh setelah pukul tujuh, yang tampak sebagai pekerja yang giat tapi sesungguhnya malas pergi bekerja (bait kedua). Dari puisi ini penulis menceritakan pengamatan yang ia lakukan di pagi hari melalui berandanya. Jalanan penuh sesak hingga macet dipenuhi oleh orang-orang yang bekerja tapi sesungguhnya malas. Penulis menceritakan bahwa tiap pagi, melalui berandanya ia melihat orang-orang munafik memenuhi jalanan.

***

P_20160105_183415

Rasanya saya nggak pernah membaca buku kumpulan puisi lagi sejak entah juga, ya, saya nggak ingat. Terakhir kali baca buku kumpulan puisi pas masih duduk di bangku sekolahan sepertinya, itupun buku pelajaran sekolah Bahasa Indonesia. Sebagai pembukaan, atau mungkin perkenalan bagi saya untuk memulai kembali membaca buku kumpulan puisi, rasanya buku ini oke juga untuk menyegarkan ingatan saya mengenai puisi. Sejujurnya saya juga nggak terlalu menikmati puisi, tapi saya menyukai kalimat yang lembut dan terasa indah waktu dibaca.

P_20160105_183458

Mari lupakan ciri khas puisi yang ada dalam benak kita, yang tiap paragraf selalu berganti alinea, memiliki rima dan irama tertentu, dan maknanya dari tiap kalimatnya jelas dan dapat dengan mudah ditangkap. Kalau menurut saya, apa yang ada di buku ini adalah kumpulan puisi modern yang sudah berkembang dan benar-benar mengikuti arus zaman. Oke, sebenarnya, saya malah berpikir bahwa apa yang ada dalam buku ini bukan puisi, saya lebih menganggap yang ada di buku ini adalah sekumpulan, entahlah, sajak mungkin, mungkin karena saya masih memikirkan ciri-ciri puisi yang tertulis di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Apapun itu lah, apa yang diberikan oleh penulis melalui buku ini, walaupun berbeda dengan ‘puisi’ yang ada di buku pelajaran, puisi-puisi yang ada di buku ini tetap nggak meninggalkan romantisme dari puisi-puisi yang ada di bayangan kita. Tapi romantis di sini bukan berarti puisi-puisi yang ada di buku ini menggambarkan tentang cinta, romantis di sini menggambarkan tentang pemilihan kata yang digunakan oleh penulis. Seperti biasa, penulis memanjakan pembacanya dengan kata-kata yang lembut dan manis sehingga puisi-puisinya nampak semakin berirama dan puitis.

P_20160105_183434

Mengenai puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Penulis menyampaikan pesan-pesannya secara implisit. Bagi saya, perlu pemikiran ekstra agar bisa menangkap dan memahami apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan atau sedang ia ceritakan melalui puisi-puisinya. Beberapa memang terlihat absurd dan berputar-putar, tapi beberapa lainnya seperti ditulis apa adanya berdasarkan pengamatan atau hal-hal inspiratif yang melintas di kepala penulis, seperti contohnya puisi ‘Menyimak Musik di Kafe’ yang menggambarkan sebuah tempat nongkrong di mana penulis menemukan berbagai macam orang, dengan suasana kafe yang hangat, dan lagu yang selalu mengalun menemani anak-anak nongkrong, dan yang mengingatkannya akan seseorang.

Panggung dan alat-alat musik di sudut kafe istirahat setengah jam. Pukul 2 tiba dan seorang perempuan menyanyikan agu favoritmu. Aku menikmati tiga hal dari lagu itu. Gempa waktu, rasa sakit, dan sesuatu yang belum kutahu namanya. (Melihat Musik di Kafe)

Saya mengagumi kreatifitas penulis yang memasukkan banyak hal untuk menggambarkan sesuatu atau sebuah kondisi, kenangan, seseorang, apapun. Hal tersebut menggambarkan bahwa penulis adalah seorang dengan pengamatan yang jeli yang mampu menangkap berbagai hal sebagai sesuatu yang menarik. Tetapi penulis lebih sering mendeskripsikan orang-orang. Ada banyak orang yang menarik dan menggelikan yang digambarkan dalam puisi ini. Penulis cukup sering menulis tentang orang-orang yang ‘palsu’, mungkin orang-orang semacam itu memang menggelikan dan memang perlu ditampar dengan puisi-puisi menohok.

Aku tidak percaya kepada orang-orang yang senang memamerkan kebahagiaan keluarga mereka. Hiburan dan liburan. Pakaian dan kota-kota asing. Senyuman, pelukan, dan berlembar-lembar foto keluarga. Mereka kaca buram yang mudah pecah. Buah-buahan yang tidak dikupas. Barang-barang mewah yang takut ketinggian. Ketika kesedihan menyentuh hidup mereka, semesta adalah kesalahan. Tidak akan kuceritakan derita siapa pun kepada mereka.

Tidak ada yang mampu mereka lakukan selain berpura-pura—dan memberi hal-hal yang tidak dibutuhkan. Kutipan-kutipan atau kisah sedih tentang usaha melewati kehidupan yang berbahaya.

Alasan utama mereka bahagia adalah tidak peduli. Mereka tidak mau tahu jika kau masih punya alasan lain. (Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia)

Apapun itu, puisi-puisi yang ada di buku ini lebih seperti sebuah cerita. Dalam bayangan saya, jika puisi-puisi dalam buku ini dibacakan, atau dipentaskan, mungkin pembacaan puisi ini akan lebih terdengar seperti cerita sore hari yang biasa kita dengarkan, atau lebih terdengar seperti seorang pemuda dalam film yang mengingat-ingat tentang kekasihnya dalam perjalanan ke suatu tempat melalui kereta.

Si penyair menghadapi kita sebagai pendengar, bukan pembaca yang sibuk mencari-cari sebab-akiba dalam urutan kalimat. Aan telah memilih untuk kembali menjadi juru cerita, menjadi sahibul hikayat. (Mendengarkan Larik-larik Aan Mansyur oleh Sapardi Djoko Damono, hal. 17)

Saya memberikan apresiasi yang spesial kepada penulis dan puisi-puisi dalam buku ini, yang ternyata salah satu puisinya akan digunakan dalam sekuel dari film-roman-paling-hits-di-jaman-90an, AADC 2 (iya, salah satu puisi di buku ini digunakan dalam sekuel Ada Apa Dengan Cinta). Tak lupa juga saya mengapresiasi kepada ilustrator yang telah menggambarkan ilustrasi-ilustrasi yang nggak kalah absurd-nya sekaligus juga indah. Ilustrasi-ilustrasi yang ada di buku ini, somehow, membantu saya mendalami dan menjiwai puisi-puisinya.

P_20160105_183514

P_20160105_183544

No comments:

Post a Comment