Saturday 7 February 2015

Emma-Jane Austen

Emma Woodhouse tinggal sendiri bersama ayahnya di Hartfield. Setelah kakaknya, Isabella Woodhouse, menikah dengan pria mapan dan hidup di London yang bermil-mil jauhnya dari Hartfield, dan pembantunya juga menikah dengan seorang pria terhormat, Emma benar-benar harus mengurus ayahnya dan Hartfield sendirian. Hidup sendirian bersama ayahnya membuat Emma menjadi wanita muda yang cantik dan sangat independen, Emma bahkan berpikir bahwa ia tak akan pernah menikah. Tetapi kehidupan sosial di sekitar Hartfield membuatnya harus ikut berbaur dengan orang-orang sekelilingnya, ia bertemu dengan orang-orang baru pula, dan banyak dari mereka yang memiliki kepribadian yang sangat menarik. Menjadi gadis yang cukup dikenal di lingkungannya membuat Emma mudah terlibat dalam percakapan. Hingga akhirnya ia merasa seakan-akan sedang jatuh cinta, dan pemikirannya sedikit tergoyahkan.

DSC_0008

emma-53ed78054b49d

cover terjemahannya yang diterbitkan oleh Penerbit Qanita (source: http://mizanstore.com)

Walaupun tetap mengandalkan wanita yang anggun dan berparas ayu sebagai tokoh utama, rasanya ada perbedaan yang sangat mencolok dari tokoh Emma. Emma digambarkan sebagai sosok wanita yang benar-benar tangguh, dan suka mengutarakan pendapatnya secara blak-blakan. Rasanya ada aura tomboy yang memancar dari sosok Emma. Emma seakan-akan menunjukkan bahwa ia dapat mengatasi semua hal tanpa bantuan siapapun. Walaupun saya melihat Emma sebagai sosok yang tangguh dan ‘independen’, sifatnya sebagai wanita yang berasal dari keluarga yang cukup terpandang masih melekat padanya. Emma merupakan wanita yang cerdas, anggun, dan tangguh, kalau diumpamakan seperti paket makanan, Emma merupakan paket komplit.

Membaca buku ini rasanya seperti melihat buku gambarnya anak SD yang sudah punya macam-macam gambar dengan warna-warna yang juga beragam. Cerita yang ada di buku ini nggak melulu tentang tokoh utamanya, berbeda dengan buku-buku penulis yang sudah saya baca (padahal baru baca dua buku). Di buku ini kita juga mendapatkan cerita tentang dan dari tokoh-tokoh lainnya, walaupun nggak begitu rinci dan dalam, tapi cerita tentang tokoh lainnya—yang kadang-kadang juga diceritakan oleh tokoh lainnya lagi—cukup untuk memberikan informasi mengenai tokoh pendukung yang diceritakan. Nggak bikin bingung, sih, pembaca tetap bisa fokus pada tokoh utama dan kejadian-kejadian yang dialami si tokoh utama, kalau menurut saya nih cerita mengenai tokoh pendukung ini justru membuat cerita tentang Emma lebih menonjol. Mungkin cerita-cerita mengenai tokoh pendukung itu tujuannya supaya kita benar-benar memihak kepada Emma. And it works! Saya benar-benar kagum pada sosok Emma!

Selain karena tokoh utama yang digambarkan sebagai sosok wanita tangguh, yang bikin saya suka banget sama buku ini adalah latar yang digunakan di cerita ini rasanya benar-benar klasik. Kita diberi tahu bagaimana wanita yang hidup di Inggris di jaman itu, tipikal wanita yang suka jalan-jalan sore lalu mampir di rumah tetangganya untuk minum teh dan bergunjing. Lalu jangan lupa dengan kebiasaan mereka yang senang mengadakan pesta dan memiliki ego untuk mengadakan pesta yang lebih besar daripada tetangga mereka, rasanya benar-benar nggak mau kalah. Saya rasa sangat klasik dan menyenangkan sekali. Tiap percakapan yang ada di buku, saya selalu membayangkan aksen Inggris mereka yang sangat kuno. Benar-benar nyenengin deh, rasanya.

Oke, sekarang saya mau bahas topik utama dari buku ini. Sebenarnya topiknya nggak jauh beda dengan dua buku karya Jane Austen yang sudah saya baca, tentang seorang wanita yang akhirnya jatuh cinta dengan pria mapan, lalu menikah, dan hidup bahagia. Dan dari buku Jane Austen yang sudah saya baca yang paling saya sukai adalah ketika akhirnya si tokoh wanita jatuh cinta. You know you’ll find the same story about woman who finally in love with a guy, but still you’ll never got bored with that same old stuffs. It’s Jane Austen we’re talking about, and she wrote such a classic,romantic, and everlasting love story. Jadi, apa perbedaanya kisah Emma dengan kisah Elizabeth atau kisah Fanny Price? Saya sebenarnya nggak mau spoiler, tapi susah banget buat kasih informasi yang mudah dipahami kalo nggak menceritakan secara detail. Jadi gini, kalo di buku yang sudah saya baca saya akan ngerti bahwa si tokoh utama akan end up dengan siapa. Ketika kita diberi tokoh utama—yang kebanyakan adalah seorang wanita—lalu muncul tokoh pria yang sedikit aja lebih mencolok daripada tokoh-tokoh pria lainnya, kita bisa segera tahu bahwa si wanita tokoh utama akan berakhir dengan si pria itu. Nah,di buku ini kita kudu membaca sampai bab—hampir—akhir untuk mengetahui dengan siapa Emma akhirnya menikah. Saya sampai terkecoh dua kali ketika menebak siapa pria terhormat yang akan menikahi Emma.

Membaca buku ini rasanya seperti dibawa berputar-putar ke sana ke sini, padahal tujuannya adalah titik awal tempat kita memulai perjalanan. Sangat klasik, unik, dan—sumpah—menggemaskan.

No comments:

Post a Comment