Thursday 3 December 2015

Looking for Alaska-John Green

tumblr_inline_n8bnjsppPz1qb7t48Looking for Alaska oleh John Green

Mulai dibaca: 21 Oktober 2015

Selesai dibaca: 28 Oktober 2015

Judul asli: Looking for Alaska

Judul terjemahan: Mencari Alaska

Penulis: John Green

Penerjemah: Barokah Ruziati & Sekar Wulandari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Agustus 2014

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Tebal: 288 halaman

ISBN: 978-602-030-732-9

Harga: Rp 46.750 (Bukupedia)

Rating: 4/5

Miles ‘Pudge’ Halter merupakan remaja laki-laki yang unik, di kala semua cowok memutuskan untuk memilih berolahraga, atau bermain game, atau berbagai aktivitas keren lainnya sebagai hobi, Miles malah memilih ‘menghapal kata-kata terakhir dari orang-orang terkenal’ sebagai hobinya. Mungkin karena itu ia tidak memiliki teman di sekolahnya, sehingga ia memutuskan pindah. Tapi, ia selalu beralasan bahwa kepindahannya ke Culver Creek, yang ternyata juga tempat ayahnya bersekolah, adalah karena ia ingin menemukan Kemungkinan Besar.

“Jadi pria ini,” kataku, berdiri di ambang pintu ruang tamu, “Francois Rebelais. Dia penyair. Dan kata-kata terakhirnya adalah, ‘Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar,’ itulah alasanku pergi. Agar aku tak harus menunggu sampai mati untuk mulai mencari Kemungkinan Besar.” (hal. 11)

Untung baginya, karena sepertinya ia tak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan apa yang ia inginkan itu. Melalui teman-teman barunya, Miles mengalami kejadian jail dan mengasyikkan a la anak SMA. Ia bertemu dengan Chip Martin, yang juga teman sekamarnya, yang meminta untuk selalu dipanggil ‘Kolonel’ dan memberinya nama ‘Pudge’, yang juga mengajarinya merokok untuk pertama kali dan mengajarkannya beberapa keusilan anak SMA lainnya.Lalu ada Takumi yang jago nge-rap. Dan ada Alaska. Alaska Young. Gadis itulah yang benar-benar membuat dunianya jungkir balik, entah karena Alaska merupakan gadis yang cantik dan seksi, ataukah karena segala keanehan yang tidak pernah ditutupi oleh pemiliknya, ataukah karena hal-hal ajaib lainnya yang ditunjukkan pada Miles. Tetapi, ketika pertemanan mereka menjadi semakin erat, tiba-tiba sebuah peristiwa yang sangat tak terduga terjadi, meninggalkan Miles yang bertanya-tanya menantikan apa yang dijanjikan kepadanya akhirnya dipenuhi. Tapi janji itu tak akan pernah dipenuhi.

P_20151202_112040

Apakah Anda bertanya-tanya setelah membaca cukilan cerita di atas? Hahaha, baguslah. Sama. Saya pun bertanya-tanya ketika pertama kali membuka buku ini.

Dan lagi-lagi cerita mengenai dunia anak SMA dan segala kegalauannya dan warna-warninya. Tapi, I swear, buku yang ini lebih berwarna dan lebih kece. Yah, kalau dibandingkan dengan buku karangan John Green yang sebelumnya saya baca, ‘Paper Towns’. Tapi pada dasarnya, dari kedua buku itu, seenggaknya penulis menunjukkan karakter anak-anak SMA, yaitu rentan stres dan mudah terpengaruh. Dari kerentanan itulah, anak-anak SMA selalu kelihatan sedang galau, tetapi sesungguhnya kerentanan itulah yang—sepertinya—sering menjadi setir bagi mereka dalam berbuat ngawur, entah yang tawuran lah, menjahili temannya sampai kelewatan lah, mabuk-mabukan sampai mengonsumsi obat-obatan terlarang lah, sampai yang bunuh diri. Sadarilah, kawan-kawan patah hati yang dialami oleh anak SMA tidak bisa dihibur hanya dengan ‘kamu yang sabar ya, bro’, atau ‘kamu move on aja dong, sob’, dan sebagainya.

Itulah yang kutakutkan. Aku kehilangan sesuatu yang berhargam dan aku tak dapat menemukannya, padahal aku membutuhkannya. Rasa takut seperti ketika seseorang kehilangan kacamata lalu pergi ke toko kacamata dan mereka memberitahunya bahwa dunia kehabisan kacamata dan ia harus hidup tanpanya. (hal. 182)

Emm, sebenarnya dari membaca judulnya, saya berpikir bahwa buku ini akan memiliki cerita yang sama seperti buku ‘Paper Town’, (bagi yang belum pernah membaca buku itu, maaf ya, mungkin ada sedikit spoiler untuk buku tersebut) seorang cowok tergila-gila dengan seorang cewek kece dan ‘liar’, lalu cewek itu tiba-tiba menghilang karena ia sangat menyukai misteri, tapi ia meninggalkan beberapa petunjuk pada si cowok, si cowok mati-matian mencari si cewek liar, lalu kau tebak sendiri bagaimana akhirnya. Beberapa alur dan situasinya mungkin sedikit mirip dengan buku ‘Paper Town’, but I swear, this story completely different from Margo’s story in ‘Paper Town.

Oke, jadi buku dibuka dengan kata ‘Sebelum’ berukuran cukup besar. Halaman berikutnya, kita melihat ada sebuah hitungan mundur yang pasti membuat pembaca bertanya-tanya mengenai hitungan apakah ini? Rasanya seperti hitungan mundur menuju sebuah kejadian yang sangat layak untuk ditunggu-tunggu. Nah, diantara hitungan-hitungan mundur itulah, pembaca diajak untuk mengarungi dunia baru Miles Halter, yang akhirnya dipanggil Pudge, yang dikelilingi oleh berbagai keajaiban dunia anak SMA yang—sepertinya—tidak pernah ia alami sebelumnya. Pembaca diajak berjalan-jalan melihat keakraban yang semakin terjalin diantara keempat anak-anak muda tersebut, yang saling berbagi bermacam-macam ide jahil, bermacam-macam cerita menyedihkan, pengalaman cabul, dan sebagainya. Hingga akhirnya pembaca sampai di akhir dari hitungan mundur yang benar-benar mengejutkan. Saya sendiri nggak menyangka bahwa peristiwa yang menanti saya di ujung hitungan mundur itu adalah peristiwa yang bikin saya melongo, bukan, bukan karena peristiwanya bikin bingung atau membosankan atau bagaimana, tetapi emang benar-benar mengejutkan, lebih karena di luar dugaan, sih. Well, sejujurnya, saya suka dengan kejutan yang diberikan oleh penulis, efek yang dirasakan oleh pembaca pasti semacam mengagetkan begitu, rasanya seperti kau diajak bersenang-senang dulu menyelami indahnya persahabatan anak SMA lalu tiba-tiba sebuah peristiwa yang heboh banget mengubah sesuatu  bahkan semuanya yang ada dalam persahabatan itu.

Looking_for_Alaska_original_cover

41yeOAxN5WL._SY344_BO1,204,203,200_

Setelah peristiwa mengejutkan itu, bab setelahnya berubah menjadi bab ‘Sesudah’, lalu hitungan mundurnya juga berubah, menjadi hitungan yang menandakan berapa hari sejak peristiwa menghebohkan itu terjadi. Beberapa tokoh masih nampak tidak bisa melupakan kejadian heboh tersebut, dan berlarut-larut dalam kesedihan mereka, tapi kejahilan dan kenakalan a la anak SMA terus berlanjut. Dan sesungguhnya, membaca cerita di bagian ‘Sesudah’ membuat saya sedikit kebosanan, karena nggak ada cerita yang lain lagi selain kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh anak remaja.

Oke, saya pengen banget membahas tentang gadis kita, Alaska. Sebenarnya susah sekali bagi saya untuk tidak membandingkan Alaska Young dengan Margo Roth Spiegelman. Bagi saya kedua gadis tersebut memiliki sifat yang hampir mirip, well mirip banget malahan. Mereka berbuat sesuka hati mereka, dan membuat mereka nampak sebagai remaja wanita yang ‘liar’ dan seenaknya sendiri, mereka berdua dikelilingi oleh teman-teman yang sangat menyayangi mereka berdua, and the deepest part is, even though they are appear as a happy teenage girls, both of them hiding completely serious problem, not a lot of problems like a lot of teenage girls’ve been hiding, but Main Problem, one big problem. One big serious problem. Menurut saya, masalah Margo nampak sangat depresif, tidak didukung oleh orang yang paling dekat di hidupnya seperti menjerumuskannya ke jurang gelap bernama kesepian, and it’s a terrible feeling. However, masalah yang disembunyikan Alaska sebenarnya juga nggak kalah serius, karena menyangkut nyawa orang, orang yang paling dekat dengannya, malahan. Alaska merasa bersalah, dan merasa seakan selalu disalahkan juga oleh orang yang paling dekat dalam hidupnya. That thing drives her insane, she always feel bad, and always has need to fix that. Tapi sayangnya, ketika menyangkut nyawa orang, apapun yang kamu lakukan setelahnya tetap nggak bisa mengembalikan nyawa orang tersebut. Sebab itulah yang selalu ditutupi oleh Alaska dari siapapun. Berhubung anak SMA sifatnya masih labil, hal kecil saja dapat menjadi pemicu dalam berbuat ngawur. Dan itulah yang dialami oleh Alaska Young.

“...Dia terbaring di lantai, memegangi kepalanya dan kejang-kejang. Aku ketakutan. Seharusnya aku menghubungi 911, tapi aku hanya berteriak dan menangis sampai akhirnya dia berhenti mengejang. Kupikir dia tertidur dan apa pun yang menyakitinya sudah tidak sakit lagi. Jadi aku hanya duduk di lantai bersamanya sampai ayahku pulang satu jam kemudian. Aneurisme—perdarahan di otak. Hari terburuk.`” (hal. 154)

Di akhir cerita, sebenarnya saya mengharapkan bahwa Miles akan bertemu kembali dengan si sosok misterius layaknya Quentin yang bertemu kembali dengan Margo, apalagi setelah Miles menemukan beberapa kata yang menurutnya adalah sebuah petunjuk mengenai keberadaan sosok misterius tersebut. Tapi bagaimanapun juga ‘Paper Town’ dan buku ini merupakan dua buku yang berbeda, dengan cerita yang sangat berbeda, walaupun begitu topiknya masih sama sih, ya, mengenai warna-warni dunia remaja dan segala kelabilan dan dampak dari perilaku mereka.

Oh, ya, berbicara mengenai kesamaan Alaska dengan Margo, saya jadi berpikir bahwa penulis selalu menggunakan pakem yang sama ketika menciptakan sosok wanita utama di bukunya, dan bahwa sosok Margo maupun sosok Alaska adalah zona aman dan nyaman si penulis. Entahlah, melihat bahwa penulis telah menelurkan cukup banyak buku, jika saya berasumsi bahwa semua buku tersebut menghadirkan kembaran lain dari Alaska atau Margo, mungkin saya membutuhkan waktu sejenak untuk membaca karya lain dari penulis.

Mengenai terjemahan yang sering dikhawatirkan oleh penggemar John Green, terutama di Indonesia, menurut saya tidak ada masalah dari buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama ini. Terjemahannya menurut saya oke banget, buktinya emosi saya ikut teraduk-aduk ketika membaca versi terjemahan buku ini, walaupun beberapa kalimat jenakanya rasanya nggak pas ketika diterjemahkan, terutama ketika bagian Takumi nge-rap itu, tapi menurut saya versi terjemahan ini patut dicoba juga.

Nah, sulit bagi saya untuk tidak membayangkan buku ini menjadi film. Suatu saat, saya yakinnya sih begitu, pasti saya akan melihat versi layar lebar dari buku ini. Dan tentu saja, saya penasaran dengan pemeran sosok Alaska Young.

tumblr_n08m0dx3HF1r4ueyro1_500Kaya Scodelario, yang katanya akan memainkan peran sebagai Alaska Young di film Looking For Alaska

Oke, lagi-lagi saya menyinggung buku sebelumnya yang juga sudah diangkat ke layar lebar, Paper Town. Pembaca Paper Town pasti penasaran dengan sosok pemeran Margo ketika diumumkan bahwa buku tersebut akan difilmkan, dan ternyata sutradara memilih supermodel muda yang—sebagian dari kita tahu bahwa model ini—sifatnya emang gokil, Cara Delevigne. Sesungguhnya saya sukaaaaa banget sama model yang satu ini, sifatnya emang gokil dan emang cocok banget untuk memerankan Margo. Tapi menurut saya sosok Alaska lah yang lebih cocok diperankan oleh Cara, dan tentu saja saya sangat berharap bisa melihat Cara lagi memerankan karakter abg cewek labil karangan penulis yang satu ini.

1379966013CARA_DELEVINGNEcopyKarakter Cara yang sedikit gila cocok untuk berperan jadi Alaska

Kata-kata penutup dari saya tentang buku ini: buku ini lebih seperti penggabungan dari dua buku karangan penulis yang sudah saya baca. Topiknya, latarnya, tokohnya sama seperti Paper Town, tapi suasananya sedikit mengingatkan saya pada buku The Fault in Our Stars. Kece banget, dan sangat mengaduk-aduk.

No comments:

Post a Comment