Wednesday 26 August 2015

Paper Towns–John Green

paper townPaper Towns oleh John Green

Mulai dibaca: 30 Juli 2015

Selesai dibaca: 17 Agustus 2015

Judul: Paper Towns (Kota Kertas)

Penulis: John Green

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Penerjemah: Angelic Zaizai

Tebal:350 halaman

Tahun terbit: 2014

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

ISBN: 978-602-03-0858-6

Harga: Rp. 54.400,00 (Pengenbuku.net)

Rating: 3/5

Margo menyukai misteri sejak dulu. Dan dalam semua hal yang terjadi setelahnya, aku tidak pernah bisa berhenti berpikir bahwa jangan-jangan lantaran terlampau menyukai misteri, dia pun menjadi misteri. (hal. 15)

Sejak menemukan mayat seorang pria yang tewas bunuh diri di Jefferson Park pada usia sembilan tahun, Quentin merasa bahwa Margo menyukai misteri. Margo sering menghilang. Sendirian. Ke luar kota. Ke tempat yang sangat jauh dari rumahnya. Dan hanya meninggalkan sedikit, sangat sedikit petunjuk. Lalu beberapa hari kemudian, ia akan muncul kembali di rumahnya.Dan tak ada yang mengerti bahkan tahu mengapa Margo melakukan hal itu. Puncaknya adalah ketika beberapa hari sebelum kelulusan mereka. Margo mengajak Quentin untuk ‘nongkrong’ sebentar malam itu, pergi ke rumah beberapa teman SMA, memberi kejutan kecil pada mereka, menyusup masuk ke wahana, dan paginya Margo menghilang. Tanpa meninggalkan petunjuk apapun. Satu pun. Tapi Quentin menemukannya, Q menemukan petunjuk-petunjuk yang sepertinya sengaja ditinggalkan Margo untuknya. Dan petunjuk-petunjuk tersebut jelas mengarah pada lokasi Margo berada.

P_20150825_214155

Terpengaruh oleh buku sebelumnya ciptaan si penulis, dan filmnya yang juga masih baru tayang tahun lalu, akhirnya saya melanjutkan membaca buku-buku lain karya si pengarang. Cerita ‘The Fault in Our Stars’ mengenai anak remaja dengan kanker stadium lanjut yang akhirnya merasakan indahnya jatuh cinta, walaupun tema yang disuguhkan sangat mainstream, cerita dalam buku TFIOS memberikan kesan yang mendalam bagi saya, ceritanya sangat mengharukan. Dan sangat depresif. Visualisasi yang ditampilkan dalam film yang rilis di Indonesia pada tahun 2014 juga sukses membuat saya menangis saking menyedihkannya. Nah, berawal dari buku itulah, dan kabar yang beredar bahwa buku yang satu ini juga akan diangkat ke layar lebar, maka saya pun lanjut membaca buku ‘Paper Towns’.

paper_towns_xxlgThe movie poster (source: http://www.impawards.com/2015/paper_towns_xxlg.html)

 

Disandingkan dengan buku yang sebelumnya saya baca, buku yang satu ini memiliki fokus yang serupa. Masih bercerita seputar warna-warni dunia remaja, yang terasa indah waktu jatuh cinta, terasa menyedihkan saat ditinggal seseorang yang disayang, atau yang merasa sangat depresi karena tidak ada yang memahami kita, seputar itu lah, semuanya saya rasa ada di buku ini. Diceritakan melalui kacamata Quentin yang berjuang mati-matian dalam menemukan gadis pujaannya, menurut saya penulis menginginkan agar pembaca lebih memahami tokoh Margo. Quentin sangat tergila-gila dengan Margo, sehingga ketika Margo akhirnya menghilang, Quentin mati-matian mencarinya karena ia merasa bahwa jika ia tidak menemukan Margo, ia tidak akan bertemu Margo untuk selamanya. Dalam perjalanannya mencari Margo, Quentin terus-menerus menceritakan tentang Margo, betapa galaunya ia ketika ditinggal Margo, bla-bla-bla, pokoknya buku ini benar-benar menceritakan tipikal remaja labil masa kini, lah.

Aku memukul tanah dengan pangkal tinjuku, dan kemudian menghantamnya lagi dan lagi, tanah berhamburan di sekeliling tqnganku sampai aku mengenai akar pohon, dan aku terus menggebuk, rasa sakit menjalar naik ke telapak dan pergelangan tanganku. Aku belum menangisi Margo sampai saat itu, tapi sekarang akhirnya aku menangis, meninju tanah dan berteriak karena tidak ada siapa-siapa yang mendengarnya: aku rindu dia aku rindu dia aku rindu dia aku rindu dia. (hal. 181)

Buku ini rasanya membuat saya lebih memahami sifat-sifat remaja masa kini yang mudah galau. Kalau saya lihat dari Quentin dan Margo, faktor pubertas jelas menjadi faktor penentu yang signifikan terhadap labilnya remaja masa kini. Merasakan jatuh cinta yang manis banget, memiliki sahabat yang benar-benar dekat, berhadapan dengan pengganggu tingkat kakap, urusan-urusan di sekolah yang semakin njlimet, faktor orang tua juga yang rasanya jadi semakin nggak sejalan dengan kita, mudah sekali bagi remaja terutama yang berusia sekitar 15-17 tahun mengalami masa-masa galau. Mungkin setelah membaca buku ini, kalau saya menemukan ada remaja yang lebay-nya minta ampun, saya jadi akan menjadi lebih maklum. Well, thanks to Quentin, and Margo. And friends.

Dan satu hal lagi yang saya tangkap dari buku ini, masih seputar remaja masa kini dan kelabilannya, menurut saya remaja-remaja tanggung itu cenderung menarik perhatian. Quentin selalu berusaha menarik perhatian cewek yang disukainya, dan Margo si Misteri juga berusaha mendapatkan perhatian dari—entahlah—apapun, dengan menjadi Misteri dan menghilang tanpa memberi kabar apapun.

Walaupun penceritanya adalah Quentin, which is membuat dia menjadi tokoh utama, tapi rasanya saya lebih tertarik untuk membahas sosok yang diceritakan oleh Quentin, Margo Roth Spiegelman. Sama seperti Quentin, saya pun sebenarnya bertanya-tanya mengapa Margo selalu suka—bukan, saya bukan bermaksud bilang ‘mengapa Margo selalu suka misteri’, misteri memang mengasyikkan dan mendebarkan, saya yakin semua orang suka misteri secemen apapun dia, dan semua orang selalu berusaha untuk menjadi sebuah misteri, sekarang kita kembali ke mengapa Margo sepertinya suka sekali—menghilang. Okay, karena saya nggak boleh spoiler, maka saya akan mengemukakan pendapat pribadi saya, yang kebanyakan juga dipengaruhi oleh informasi yang ada di buku ini. Yang jelas, menurut saya, Margo ingin menarik perhatian, menarik perhatian orang tuanya, pacarnya, sahabat-sahabatnya, ia ingin tahu reaksi orang-orang terdekatnya ketika ia menghilang, ia senang ketika orang lain kebingungan ketika ia menghilang, ia ingin agar orang-orang memintanya untuk kembali, ia ingin ketika ia kembali ia akan disambut dengan tangisan kegembiraan. Nah, sekarang, mengapa ia sampai harus menarik perhatian? Pilihannya hanya ada dua, Margo adalah seorang attention-whore atau ia kurang perhatian. Karena berdasarkan gambaran penulis, Margo tak nampak seperti attention-whore, maka saya lebih menganggap bahwa Margo kurang perhatian. Karena ia mempunyai pacar dan sahabat-sahabat yang menyayanginya, maka mungkin saja ia kurang diperhatikan oleh orang tuanya. Kalau Margo kurang diperhatikan dan ia sampai suka menghilang—bahkan ke luar kota—sendirian, pastilah ia merasa sangat depresi.

Ya, saya merasa ada cerita yang sangat depresif dari sosok Margo Roth Spiegelman. Ia memiliki hidup yang menyenangkan, tetapi sesungguhnya ia kesepian. Dan ia depresi. Awalnya saya mengira bahwa Margo adalah gadis yang pemberani, yang terlampau menyukai tantangan, dan saya sempat berpikir bahwa saya ingin menjadi Margo. Tetapi lalu saya meneruskan membaca buku ini sampai tandas lalu menyadari betapa menyedihkan si Margo ini. Dari Margo Roth saya menarik kesimpulan bahwa remaja berusia 15-17 tahun ternyata juga mudah sekali mengalami depresi, dan karena faktor kedewasaan mereka saya pun menyimpulkan bahwa tindakan mereka untuk mengatasi depresi tersebut seringnya terlalu ceroboh, kesannya benar-benar ‘semau gue’. Remaja usia 15-17 tahun itu cenderung rapuh mudah terganggu oleh banyak sekali hal yang seringnya sifatnya sepele. Sama seperti kertas.

maxresdefaultOne of the reason I want to watch this movie so bad is because of this girl: Cara Delevingne

Dia berhenti melangkah dan menutup telepon tapi memeganginya sejenak. Aku bisa melihat ujung jemarinya memerah muda karena eratnya cengkeramannya, kemudian dia menjatuhkan ponsel ke tanah. Jeritannya singkat tapi memekakkan telinga, dan setelahnya aku menyadari untuk pertama kalinya kesenyapan Agloe yang mengenaskan.

“Dia seolah berpikir tugasku untuk menyenangkannya, dan bahwa seharusnya itulah keinginan terbesarku, dan ketika aku tidak menyenangkan dia—aku dikucilkan. Dia mengganti kunci. Itulah hal pertama yang dikatakannya. Ya Tuhan.” (hal. 341)

Nah, sekarang melompat ke judulnya. Saya tergelitik sekali dengan judulnya yang artinya Kota-kota kertas. Sebenarnya apa maksudnya sih? Menurut pendapat saya, sih, berdasarkan dari apa yang saya baca, judulnya menunjukkan sesuatu yang sangat rapuh dan mudah lecek. Masih pendapat saya, berdasarkan buku ini, kota kertas menunjukkan bahwa semuanya adalah hal yang bersifat sementara, semuanya mudah sekali hancur. Seperti kertas.

Sebenarnya ceritanya sih, bagus-bagus aja. Gaya bahasa yang digunakan ringan dan santai—entah karena memang penulisnya gaya berceritanya yang santai atau karena penerjemahnya yang mengalihkan bahasanya menjadi lebih santa—sehingga mudah sekali diikuti. Walaupun santai dan tokohnya adalah anak SMA, tapi buku ini bisa ditujukan ke semua kelompok usia. Kelompok usia di bawah 15 tahun yang membaca buku ini bisa mempersiapkan diri menghadapi dunia yang lebih depresif. Kelompok usia 15-17 tahun mungkin bisa memahami bahwa ketika galau melanda hendaknya berbuat yang tidak ceroboh. Sementara kelompok usia tua diharapkan lebih maklum terhadap tingkah laku remaja labil masa kini, yang sudah punya anak mungkin saja jadi lebih bisa memahami anak-anak mereka, lebih memerhatikan dan mengawasi mereka, membebaskan mereka, dan sebagainya.

Jalan ceritanya, walaupun lucu tapi secara keseluruhan terasa garing bagi saya. Entahlah, mungkin karena lamanya si Quentin menunjukkan lokasi Margo yang benar-benar pasti. Well, sebenarnya saya sendiri jengkel juga, sih, ternyata pemecahannya semudah itu. Dan yang membuat lama hanya masalah kejelian si pencari. Walaupun begitu, sebenarnya saya berharap lokasi Margo itu ditemukan dengan Quentin menyelesaikan—entahlah—semacam kode, mungkin.

In the end, it feels like being depressed is actually a choice. You yourself decide how to handle it. As long as it doesn’t put yourself in danger, I think  what you do to wipe away that depression is fully your choice, your decision.

No comments:

Post a Comment