Tuesday, 29 July 2014

My Idiot Brother-Agnes Davonar

Angel adalah siswi di salah satu SMA di Jakarta, ibunya adalah ibu rumah tangga dan ayahnya bekerja di lepas pantai. Angel memiliki seorang kakak laki-laki yang nasibnya tidak seberuntung Angel. Sejak masih bocah, Hendra, kakak Angel, mengalami sindrom yang menyebabkan ia keterbelakangan mental. Angel yang cantik, mulai masuk SMA dan mengenali bahwa ada banyak orang-orang yang selalu berusaha untuk menjatuhkannya. Salah satunya adalah Agnes. Angel tidak mau terbawa dengan orang lain yang selalu menomor satukan Agnes, yang selalu memuja Agnes, hal itulah yang membuat Agnes selalu berusaha untuk membuat Angel terpuruk.

Suatu hari sepulang sekolah, Agnes mengetahui bahwa Angel memiliki kakak laki-laki. Kakak laki-laki Angel bertingkah seperti anak kecil, padahal badannya sangat besar. Kakak laki-laki Angel yang memiliki cacat mental dijadikan bahan ejekan Agnes untuk lebih menjatuhkan Angel. Agnes sukses membuat Angel malu dengan kakaknya. Semua orang tentu terpengaruh dengan ucapan Agnes, kecuali satu orang. Anak baru pindahan dari Singapur bernama Aji tiba-tiba mulai muncul di lingkungan sekolah mereka. Aji selalu menghabiskan waktunya bermain basket saan istirahat sekolah, olahraga yang juga digemari oleh Angel. Ketampanan dan kerendahan hati Aji membuat Angel terpesona, juga Agnes. Agnes yang tidak rela melihat Aji yang lebih dekat dengan Angel melakukan segala cara agar mereka tidak bersama-sama. Dengan menggunakan kakak Angel yang cacat mental, Agnes memperkenalkan Hendra kepada semua orang termasuk Aji, yang malah berujung pada kecelakaan yang mengenaskan.

Rasanya penulis yang satu ini selalu mengambil setting yang monoton. Pembaca tentu tidak asing dengan buku yang berjudul ‘Surat Kecil untuk Tuhan’ atau ‘Ayah, Mengapa Aku Berbeda?’, tokohnya tentang seseorang yang memiliki kelainan, kan? Saya belum membaca kisah itu, sih, tapi saya sudah melihat cuplikan kedua film tersebut. Dan setting yang seperti itu sepertinya masih menjadi andalan penulis dalam menciptakan buku ‘My Idiot Brother’. Kisah ini pun sebenarnya hampir sama dengan kisah sebelumnya, seseorang yang cacat lalu jadi bahan bualan, lalu tokoh yang cacat ini membalik keadaan, dan seterusnya.

DSC_0501

Seharusnya kisah yang ada dalam buku ini menjadi kisah yang menyentuh, yang mengharukan, dan membuat air mata pembacanya. Dan sepertinya this book has no power on me. Saya sama sekali nggak menangis, jangankan menangis tersentuh pun sepertinya tidak. Sebagai informasi aja, sih, saya menghabiskan kisah ini hanya dalam waktu dua jam. Dua jam saja, Saudara-saudara. Sebenarnya ceritanya disajikan dengan bahasa yang luwes, bahasa sehari-hari yang selalu digunakan oleh orang pada umumnya, tetapi entah kenapa bagi saya yang membaca, kisah ini jadi terlihat seperti kisah yang lebay terlalu mendramatisasi, dan terbaca sebagai kisah yang—well, I hate to say this—bodoh (there I said it). Entah karena bahasa yang digunakan dan pilihan kata-katanya yang sama sekali tidak indah, atau banyaknya kesalahan penulisan yang terdapat pada kisah ini, atau apapun, pokoknya saya sama sekali nggak dapat feel untuk buku ini. Buku ini benar-benar flop!

Nah, yang paling membuat saya jengkel dengan buku ini adalah mengenai sudut pandang pencerita. Sudut pandangnya sih jelas dari sudut pandangnya si Angel, tetapi seharusnya kan kalo dari sudut pandang orang pertama yang diceritakan hanya sebatas hal-hal yang terjadi di sekelilingnya yang benar-benar melibatkan dirinya atau kelima panca inderanya, di buku ini Angel sepertinya punya banyak mata dan telinga, sehingga Angel mengetahui semua yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendukung. Entahlah, jadinya aneh sekali. Mempertanyakan keputusan penulis yang tidak menggunakan sudut pandang orang ketiga, sehingga tidak membingungkan pembacanya. Selain itu, ada banyak sekali penulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam berbahasa, well, bukannya saya kolot atau apa, sih, tapi kan kita sudah diajarkan gimana aturannya kalo menulis sebuah kalimat, nama orang, nama tempat, dsb, iya, kan? Malu banget, gitu loh, kalau sampai penulis—apalagi yang sudah menelurkan banyak buku—masih sampai tidak pakai aturan kayak gitu. Belum lagi banyaknya kata-kata yang salah ketik, atau hilang, sehingga keterangannya tidak lengkap.

Duh, buku ini benar-benar Fail, dengan huruf kapital F. Bagaimana dengan filmnya, ya?

No comments:

Post a Comment