Tuesday 11 August 2015

Kambing dan Hujan-Mahfud Ikhwan

25724235Kambing dan Hujan

Judul: Kambing dan Hujan

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Bentang Pustaka

Penyunting: Achmad Zaki

Tahun terbit: Mei 2015

ISBN: 978-602-291-027-5

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Keterangan: Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014

Harga: Rp. 55.200 (pengenbuku.net)

Rating: 3/5

Semenjak bertemu secara tidak sengaja di sebuah bus yang menuju ke Surabaya, Mif sudah menentukan gadis mana yang akan ia nikahi. Begitu pula dengan Fauzia, sejak ia bertemu kembali dengan Mif—yang ternyata adalah tetangganya sendiri di Centong—ia sudah menentukan lelaki mana yang ingin ia jadikan pendamping hidupnya. Bersama-sama mereka telah merencanakan masa depan mereka dan keluarga mereka. Tetapi walapun memiliki keyakinan yang sama, aliran yang dianut keduanya berbeda, dan hal itulah yang juga menghambat rencana indah mereka. Sebenarnya jika ingin dirunut lagi, masalah tersebut berakar pada bapak masing-masing. Pak Kandar yang merupakan bapak Mif adalah orang terpenting kaum Muhammadiyah, sedangkan Pak Fauzan adalah bapak Zia yang juga orang paling dihormati oleh kelompok Nahdliyin, mereka tak pernah terlihat bersama-sama seakan-akan ada benteng dingin yang kokoh di antara kedua ayah yang paling ditinggikan di kampung tersebut. Tapi siapa yang mengira bahwa ternyata keduanya dahulu adalah sahabat karib yang sangat saling menyayangi.

DSC_0003

Inilah novel yang dipilih oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemenang I Sayembara Novel 2014. Novel yang berlatar fenomena yang awam ditemui di Indonesia ini menceritakan kisah romantis pasangan muda yang tengah berpacaran, namun ketika hendak memantapkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, halangan terbesar merintangi jalan mereka, dan rintangan tersebut datang justru dari pihak terdekat mereka.

Novel ini menggambarkan keadaan religi yang sangat bisa ditemui di Negara Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, orang-orang pasti paham bahwa Agama Islam di Indonesia terpecah menjadi kelompok-kelompok yang, walaupun basisnya tetap sama (Tuhan yang disembah sama, Nabi yang diikuti juga sama, Kitab yang dijunjung juga sama), tetapi prinsip dan aturan kelompok-kelompok tersebut berbeda-beda. Contoh kelompok Agama Islam yang paling dikenali di Indonesia adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Penulis memberikan gambaran singkat mengenai perbedaan dari kedua kelompok tersebut, dan betapa kedua kelompok tersebut memiliki anggota yang sangat taat terhadap aturan kelompoknya, dan mereka juga mencemooh kelompok lainnya, kelompok yang satunya pun juga sama, maka tak jarang kedua kelompok tersebut—seperti yang diceritakan dalam buku—sering terlibat adu mulut bahkan perkelahian.

Dan perbedaan itu pun dapat membuat dua sahabat yang dulunya saling menyayangi dan melindungi. Akibat perbedaan itu, kedua sahabat tersebut tak pernah lagi saling berbicara. Jangankan berbicara, saling menyapa ataupun bertegur sapa saja enggan. Dan hal itu pun berimbas pada hubungan anak masing-masing.

Walaupun lebih konflik yang paling disorot adalah mengenai hubungan Mif dan Fauzia, saya rasa Mif dan Zia hanya berperan sebagai pembuka dan pengantar topik utama yang sebenarnya ingin diceritakan oleh penulis. Mif dan Zia mungkin digambarkan sebagai tokoh yang ditimpa masalah yang pelik, tapi sebenarnya mereka hanya pucuk daun pohon beringin. Akar masalahnya sendiri ada di bapak masing-masing yang sudah menancap terlalu dalam, dan terlihat susah untuk disingkirkan. Mif dan Zia seakan-akan menjadi pihak yang membuka atau memberikan masalah utama dari buku ini kepada pembaca, dan mereka pun juga berperan sebagai pihak yang menutup konflik dan menjadi sebuah solusi dari perpecahan ayah masing-masing yang tengah mengadakan perang dingin. Walaupun di mata saya Mif dan Zia bukanlah pemeran utama, ada beberapa hal yang membuat saya jatuh hati pada pasangan muda ini. Baik Mif dan Zia, walaupun dibesarkan di tengah keluarga yang sangat menaati peraturan agama, mereka tetap menjalin hubungan asmara bahkan sebelum menikah. Walaupun begitu mereka tetap tidak melupakan kewajiban mereka sebagai ciptaan Tuhan, sembayang dan mengaji, juga menyebarkan ilmu tidak pernah lupa mereka lakukan. Kedua tokoh digambarkan memiliki sifat yang jujur dan apa adanya, maksudnya tidak berlebihan dan hiperbola seperti tokoh-tokoh dalam novel roman yang kebanyakan. Mif dapat dengan mudah memikat hati saya dengan sifatnya yang sangat dewasa, sabar, pengertian sekaligus selalu ingin tahu. Rasa ingin tahunya yang sangat tinggi, rasa hausnya akan cerita yang sebenarnya mengantarkan ia mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Sementara Zia sukses membuat saya nyinyir dan iri dengan sifatnya yang masih manja, juga kesabarannya, plus gigihnya ia memperjuangkan kelangsungan hubungannya dengan Mif. Saya rasa, Zia ini lah sosok yang bisa disebut sebagai pendamping idaman. Sudah sholehah, ibadah tidak pernah lupa, sabar iya, gigihnya iya, ngalemnya pasti juga bikin suaminya gemas terus.

Melalui cerita cinta Mif dan Zia, yang harus memperbaiki jembatan persahabatan antara kedua bapak masing-masing yang dulunya pernah sangat kokoh, novel ini sesungguhya juga menceritakan fenomena yang ada di Indonesia, yaitu adanya kelompok-kelompok Agama Islam di Indonesia. Kelompok yang sering disebut biasanya kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok Muhammadiyah. Kalo kelompok NU masih mempertahankan tradisi dan ajaran-ajaran yang lama, kelompok Muhammadiyah bisa dibilang sebagai kelompok yang lebih modern. Walaupun usianya masih muda, kelompok Muhammadiyah rasanya cepat sekali berkembang, sehingga anggotanya pun jadi semakin banyak dan jadilah kesannya kelompok NU dan Muhammadiyah saling berebut untuk menambah anggota mereka dan lebih mengembangkan kelompok mereka masing-masing. Perbedaan yang sering disorot dari kedua kelompok ini misalnya penetapan tanggal 1 Ramadhan atau mulainya Puasa Ramadhan dan penetapan tanggal 1 Syawal atau Hari Lebaran. Kelompok NU akan keukeuh menetapkan tanggal-tanggal penting tersebut berdasarkan penampakan bulan, sementara kelompok Muhammadiyah memiliki hitungannya sendiri. Nah itu baru beberapa perbedaan dari kedua kelompok Agama Islam terbesar di Indonesia, dan masih banyak lagi perbedaan dari kedua kelompok tersebut. Yang ingin diceritakan penulis adalah, bagaimana kedua kelompok tersebut bisa saling mendebat, mengolok, bahkan juga tak segan dan tak sering langsung saling menghantam akibat masih keukeuh saling mencela akidah yang diterapkan pada masing-masing kelompok, padahal jika anggota kedua kelompok mau sedikit saja menahan diri untuk tidak saling mencela dan saling menghormati aturan dan kebiasaan yang diterapkan pada masing-masing kubu tentulah perdebatan yang sampai melibatkan baku hantam bisa dihindari atau paling tidak terminimalisasi. Saking parahnya perdebatan antara dua kubu kelompok dominan tersebut bahkan bisa sampai membuat kedua sahabat yang—dulunya—saling menyayangi menjadi seakan-akan keduanya membentuk sebuah benteng kokoh tebal yang tak seorang pun tahu bagaimana caranya menembus benteng tersebut. Mungkin penulis ingin menunjukkan betapa buruknya akibat yang dihadirkan oleh rasa saling tidak menghormati, saling keras kepala, dan tidak mau menahan diri. Kalau tidak ada yang mau mengalah, mungkin imbasnya bisa sampai ke anak-cucu hingga seterusnya.

Saya rasa buku ini memang layak diberikan penghargaan sebagai Pemenang I Sayembara Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Kalau dinilai berdasarkan pesan moral, buku ini punya pesan moral yang bagus, pesan moralnya mampu menyadarkan manusia mengenai dampak buruk akibat terlalu mementingkan kelompok. Kalau dinilai berdasarkan latar kejadiannya, latarnya sangat merakyat dan sangat humanis, malah rasanya nggak ada yang berbau khayal atau imajiner sama sekali. Seakan-akan cerita yang dihadirkan adalah hasil pengamatan penulis, lalu dijabarkan dengan sebenar-benarnya. Dari segi cerita, ceritanya bagus, bahasanya mudah sekali ditangkap dan dimengerti, ditambah dengan bahasa ejaan kuno yang membuat semakin menarik, hanya saya saya menyayangkan hilangnya bahasa daerah yang sering digunakan terutama oleh masyarakat yang masih tinggal di desa.

Sebenarnya, inti masalahnya bisa lebih cepat ditemukan oleh pembaca, tapi penulis menambahkan bahan-bahan lainnya untuk memperdalam konflik. Efektif, sih, konfliknyajadi terlihat sangat dalam dan runyam, tapi akibatnya ceritanya jadi lebih berbelit-belit pula, menurut saya. Sebenarnya saya mengharapkan penjelasan yang lebih banyak juga, sih, mengenai kelompok NU dan Muhammadiyah itu sendiri. Menyayangkan ending-nya yang, walaupun sangat menyenangkan, sangat mudah ditebak dan dengan segala peristiwa-peristiwa yang terlalu mudah untuk sekadar dibilang sebuah ‘kebetulan’.

Suka banget sama judul bukunya. Saya sempat lupa dan nggak ngeh sama sekali dengan hubungan antara kambing dengan hujan. Sebelum mendapatkan penjelasan yang benar-benar jelas, saya membaca dan mencermati isi cerita berharap bisa menemukan sendiri arti dari judul buku ini. Rupanya jawabannya semudah satu tambah satu, dan saya lupa jawabannya karena terlalu berkutat dengan cerita lainnya.

Is,bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan—sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan. (Hal. 222)

No comments:

Post a Comment